operasi

235 66 3
                                    

"Hitoka-chan?"

Hitoka tak menjawab, ia menenggelamkan wajahnya pada kedua lutut. Tak sanggup menjumpai sahabatnya.

(Name) menggaruk kepalanya bingung. Hitoka masih belum mau menemuinya. Mereka masih berada di kamar Hitoka. Hanya saja, tirai putih di sekitar kasur Hitoka dibentangkan, sehingga (Name) tidak dapat melihat sosok sahabatnya itu.

"Aku ada salah kah?"

"T-tidak!"

(Name) menghela nafas lega, setidaknya Hitoka sudah mau menjawab ucapannya.

"Jadi, ada masalah apa?" (Name) bertanya dengan lembut. Berusaha sabar menghadapi Hitoka.

Mama Hitoka tiba-tiba datang, ia melihat apa yg sedang terjadi. Sambil menghela napas, ia pun membisikkan sesuatu di telinga (Name). Bola mata (Name) membulat kaget mendengarnya.

"Tante percayakan padamu," bisik Mama Hitoka.

"Hitoka, Mama berangkat dulu ya!"

Mama Hitoka pergi, menyisakan (Name) dan Hitoka yang diserang kecanggungan. (Name) tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak ingin memperburuk perasaan Hitoka.

"N-nee Hitoka-chan, keluarlah. Aku tidak akan menertawakan mu," ujar (Name). Hitoka tak menjawab.

"Kau... Janji?" Tanya Hitoka.

"Janji!" Tegas (Name).

Tirai putih itu mulai terbuka. Setelah terbuka sepenuhnya, (Name) hanya bisa menelan ludah. Hitoka terlihat sangat khawatir. (Name) tertegun.

Rambut Hitoka yang tadinya dibawah telinga, kini menjadi pendek seperti rambut anak laki-laki. Hitoka terlihat sangat tidak percaya diri. (Name) tahu, rambut Hitoka rontok karena pengaruh obat-obatan yang ia konsumsi.

"Rambut ku... Rontok," lirih Hitoka sambil tersenyum pahit.

"Wakatteru," sahut (Name).

"Aku jadi jelek ya? Ahahaha, syukurlah," Hitoka malah tertawa.

"Kenapa?" (Name) bertanya.

Hitoka memainkan poninya dengan telunjuk.

"Kalau sudah begini, para gadis itu tidak akan merundungku lagi kan? Aku kan sudah jelek sekarang, mereka tidak perlu iri padaku lagi,"

Hati (Name) teriris mendengar ucapan Hitoka itu. Apakah sejatinya Hitoka masih trauma dengan bullying yang pernah dihadapinya? (Name) merasa sangat kesal pada dirinya sendiri karena tak dapat berbuat apa-apa.

"Baka, sebelum rambutmu rontok begitu kau juga sudah jelek," ucap (Name) mengundang tawa Hitoka.

Setelah puas tertawa, Hitoka menatap keluar jendela. Masih pukul 9 pagi, udara belum terlalu menyengat.

"Kau tahu (Name)-chan? Lusa aku akan dioperasi," beritahu Hitoka.

"O-operasi?"

"Uun, operasi transplantasi sumsum tulang belakang. Mamaku yang jadi pendonor,"

"S-souka,"

Pembicaraan terhenti. Hitoka melangkahkan kakinya menuju jendela, lalu membukanya. Ia menghirup aroma musim panas dalam-dalam.

"Kau... Tidak takut?" Tanya (Name) ragu. Hitoka sontak tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Kenapa aku harus takut? Ini bukan pertama kalinya aku dioperasi," kekeh Hitoka.

"Dioperasi itu gak sakit kok, cuma kaya di infus," lanjut Hitoka.

(Name) terdiam. Sejujurnya ia khawatir dengan kondisi mental Hitoka. Ia khawatir jika Hitoka akan merasa takut untuk di operasi. Tapi, jika Hitoka sendiri sudah berkata seperti itu, ia tak mempunyai pilihan lain selain percaya pada nya.

𝐬𝐮𝐦𝐦𝐞𝐫 ✔︎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang