Dokter yang tadi memeriksanya dan mengajukan beberapa pertanyaan santai—agak tidak penting juga ditanyakan, pikir Yoongi—tengah berbicara dengan Jimin di depan pintu kamar yang tidak tertutup. Suara mereka terlalu kecil untuk bisa Yoongi dengar. Melihat raut wajah Jimin sedikit menegang juga dahi yang dikerutkan dalam membuatnya meneguk saliva berat. Apa itu kabar buruk?
Setelahnya Jimin mengubah raut wajah terlampau cepat. Senyum itu lagi. Muncul ketika ia menutup pintu dan berjalan menghampiri untuk memosisikan duduk di sebelah, menepuk puncak kepala Yoongi dua kali.
Yoongi merebahkan tubuhnya, menaikan selimut sampai perut. “Apa yang kalian bicarakan tadi?”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Wajahmu berkata lain.”
Entah sengaja mengabaikan untuk menghindari topik pembicaraan atau memang ingin mengambil suatu barang di atas nakas dan disodorkan pada Yoongi.
“Ini ponselmu. Biasanya kau banyak menulis di sana.”
Yoongi mengedip berkali-kali, diteliti setiap inci benda pipih di tangannya. Seingatnya ia belum pernah memakai ponsel seperti ini, terlihat lebih canggih dari telepon genggam yang pernah dimiliki. Mungkin keluaran terbaru. Menggulirkan jari di layar yang nyatanya tidak terkunci dan mengeklik aplikasi memo. Benar apa kata Jimin, ia menemukan puluhan catatan yang berisi dua atau tiga kalimat. Membuka satu per satu secara urut dari tanggal terlama.
“Ah, dokter tadi namanya Kim Namjoon.” Yoongi berucap sendiri pada layar ponsel. “Kim Namjoon, berusia 29 tahun. Bertemu dengannya setiap 3 kali seminggu. Dia baik sekali dan masih teman dekat Jimin.”
Mulutnya membulat. Menaik turunkan kepala setiap membaca deretan kalimat. Jimin masih memperhatikan dalam diam lalu memilih mengusap lengan Yoongi lembut hingga empunya menoleh.
“Lanjutkan besok, ya? Sekarang waktunya kau istirahat agar obatnya lebih cepat bekerja.”
Dengan sedikit tidak rela Yoongi menuruti, meletakkan kembali benda di tangannya ke nakas. Kantuk perlahan menghampiri, efek samping bulir obat yang ditelan beberapa menit lalu. Padahal masih ingin membaca seluruh memo di ponselnya. Menanamkan di kepala apa saja yang terlupa.
“Aku ingin mengajak bermain Koo dulu, boleh?” Tidak secepat itu ia menutup mata, melirik pada suaminya memasukan sebagian tubuh di selimut yang sama. Panggilan ‘koo’ berasal dari Yoongi sendiri saat memanggil anaknya. Jimin mengingatkannya tadi siang.
“Dia sudah tertidur. Kau bisa bermain dengannya besok.”
Yoongi menghela napas panjang, memilih mengatupkan kedua kelopak. Hanya bertahan dua menit sebab pergerakan Jimin yang tiba-tiba. Hembusan napas di pipi kiri dan tekanan berat di pinggang juga salah satu kaki pria itu menelusup disela-sela kaki miliknya. Yoongi mencerna lambat. Pelukan juga sentuhan intim membuat pikirannya buyar.
“Jimin?”
“Hm?”
“Kau—terlalu dekat.”
Sontak Jimin berjengit cepat. Terburu-buru menciptakan jarak. “Oh, maaf.” Merutuki dalam hati sebab tingkahnya yang terlalu agresif.
Kali ini Yoongi merasa tidak enak. Sedikit melirik ke samping pada Jimin yang memilih tidur terlentang. Ia menarik nafas sebelum mengangkat tangan kirinya.
“Pegang tanganku.”
“Kenapa?”
“Pegang saja.”
Sebagai pengganti pelukan pikir Yoongi namun Jimin menganggap hal lain.
“Untuk apa? Kita tidak sedang menyeberang jalan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
I.S.W.Y [MINYOON]✔
RomanceMenurut Yoongi-sekadar mengandalkan kepercayaan di tengah isi kepala yang mulai hancur lebur-percuma. Bagi Jimin, sekalipun dunia dongeng nyatanya tidak ada, ia bisa ciptakan dunianya sendiri. Termasuk bahagia yang dimaksud. Based on: A Moment To Re...