Rintik-rintik salju turun deras dari langit. Jalanan besar atau kecil sudah dipenuhi es tebal, petugas kebersihan harus bekerja ekstra untuk itu. Hal yang biasa dilihat saat bulan Februari. Musim salju belum usai membuat pemandangan diselimuti warna putih oleh kepingan es.
Kaca jendela yang berembun sesekali dicoreti gambar abstrak oleh jari-jari tangan seseorang. Menunggunya hingga mengembun lalu kembali menggerakkan kembali tangannya di sana. Baki stainless berisi makanan kali ini tidak menarik. Begitu juga potongan brokoli dalam mulut yang tidak dikunyah, dibiarkan sampai pipinya mengembung.
"Kau harus menghabiskan makan siangnya."
Pergerakkannya terhenti seketika. Mendongak untuk menangkap entitas manusia yang menggeser kursi dan duduk berseberangan dengannya. Tatapan kosong Yoongi dihadiahi senyuman lebar. Tidak membalas ia memilih mengambil sendok yang diabaikan beberapa menit lalu. Menyuap nasi dan menggerakkan rahang. Mengunyah perlahan.
Hari ini ia mendapati nasi merah, potongan brokoli, wortel, jagung dan ditambah daging ikan tuna tanpa tulang yang sudah dikukus. Sebagai pencuci mulut diberikan empat potong apel dan sebotol susu rendah lemak. Yoongi menghentikan kunyahannya setelah satu tangan menjulur lalu meletakkan satu bungkus kecil roti gandum di dekat tempat makannya.
Pemiliknya seorang bocah berumur empat tahun yang sebagian wajahnya terhalang tinggi meja, namun Yoongi bisa melihat kedua mata bulat menatapnya serius tanpa mengedip. Tidak berkata apapun. Saling berpandangan dalam diam sebelum satu suara menginterupsi mereka.
“Koo?”
Tujuannya hanya satu tapi yang menoleh dua orang. “Ke kakek dulu ya sebentar. Nanti papa menyusul ke sana, oke?”
Yoongi sepenuhnya beralih pada anak kecil berambut seperti mangkuk terbalik yang bergerak seiring kepalanya mengangguk patuh. Berlari kecil dengan tas berbentuk pisang di punggung menuju seorang pria lain yang berdiri di depan pintu masuk—Yoongi yakin sosok itu tengah tersenyum padanya.
“Dia memang sering penasaran, terlebih umurnya semakin bertambah.”
Rupanya ada hal yang lebih menarik bagi Yoongi. Ia mengangkat sebungkus roti yang tadi disodorkan. “Ini untukku?”
“Ya, kau bisa memakannya.”
“Tolong sampaikan terima kasihku.”
Pria di depannya kembali tersenyum. Sekilas ada guratan pilu yang terbelenggu. Sarat keinginan merengkuh erat dalam dekapan sembari menumpahkan banyak kerinduan. Ia mengalihkan pandangan ketika matanya memanas. Tidak menepis saat getir perlahan menyebar di dada. Menghembuskan nafas berat, dilanjutkan satu kalimat balasan.
“Tenang saja, akan kusampaikan.”
Yang mendengarnya mengangguk lega. Yoongi kembali memfokuskan diri ke makan siangnya yang sudah separuh habis. Pada suapan brokoli kesekian kalinya ia mengernyit—memikirkan kalau sayur ini dimasak terlalu lama hingga teksturnya berubah agak lembek. Namun tidak masalah ia tetap menyukainya.
Menyebarkan pandangan, memperhatikan setiap meja terisi pria atau wanita yang mengenakan seragam seperti dirinya tengah sibuk dengan makan siang. Merasa tidak nyaman juga canggung, Yoongi sadar dirinya sedang ditatapi terang-terangan membuat ia kembali fokus disatu titik yang sama. Kepalanya sedikit dimiringkan. Menatap telak.
“Maaf. Abaikan saja aku.”
Pria itu tertawa canggung. Mungkin menyadari tingkahnya membuat risi seseorang. “Aku memang sering datang ke sini.” Ucapnya lagi sekaligus memberi sedikit informasi.
“Kau siapa?”
Entah kenapa yang ditanya terlihat begitu semangat. Menjulurkan tangan kanannya. Satu cengiran terukir lebar.
“Park Jimin.”
Agak ragu, Yoongi melirik tangan dan wajah pria itu secara bergantian. Terdiam sekian detik—memikirkan sebuah balasan. Ada satu nama, tidak peduli benar atau salah tapi memang hanya itu yang tersisa. Yoongi menjabat ulurannya, sensasi hangat menyebar di telapak tangan.
“Yoongi.”
Tersenyum hingga maniknya agak menyipit.
“Senang bertemu denganmu, Jimin.”
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
I.S.W.Y [MINYOON]✔
RomanceMenurut Yoongi-sekadar mengandalkan kepercayaan di tengah isi kepala yang mulai hancur lebur-percuma. Bagi Jimin, sekalipun dunia dongeng nyatanya tidak ada, ia bisa ciptakan dunianya sendiri. Termasuk bahagia yang dimaksud. Based on: A Moment To Re...