“Sedang apa, Yoon?”
Yang ditanya menoleh cepat. Tidak menyadari Jimin berdiri di ambang pintu sudah sekitar sepuluh menit. Terlalu fokus pada ponsel membuat Yoongi tidak memperhatikan sekitarnya. Setelah sarapan dan mencuri kecupan di pipi Jungkook sekilas ia segera kembali naik ke atas kamar—ada yang harus dilakukannya.
“Aku harus menambahkan catatan di ponselku.” Menggoyangkan benda pipih berwarna perak pada Jimin yang berjalan mendekat.
“Boleh aku tahu apa?”
Semburat merah kembali terlihat. “Tentu. Meski aku tidak ingat tapi aku meyakini hal ini.” Yoongi menjeda. Tersenyum hingga gusinya terlihat. Menunjukkan layar ponsel—menampilkan barisan kalimat yang baru saja diketiknya.
Aku mencintai Park Jimin.
Mencintai Park Jungkook
dan juga mencintai diriku sendiri.
“Maka dari itu aku harus sembuh, 'kan?”
Gelayar pilu kembali terasa di sekujur tubuh Jimin. Entah karena deretan kata-kata di layar, pertanyaan Yoongi, atau bahkan tatapan pria itu yang mengharapkan keajaiban. Perlu beberapa detik agar Jimin membuka suara dari lidahnya yang mendadak kelu.
“Iya, Yoongi, iya.” Menarik kedua tangan suaminya. Dikecupi setiap buku-buku jari sembari bergumam. “Kau harus sembuh. Harus.”
Genggaman terlampau erat. Meliputi gemetar takut dan ribuan sendu yang bersarang tengah dibalut apik dalam sebuah kepercayaan. Setidaknya mereka saling memiliki satu sama lain. Itu cukup meski terkadang ekspektasi jelas dibanting realita.
“Dua jam lagi, kita berangkat ke butik. Aku perlu menyelesaikan pekerjaanku dulu. Oke?”
Yoongi mengangguk patuh. Membiarkan kepalanya usap lembut sebelum pria itu angkat kaki dari kamar dan kembali menuju ruang kerjanya. Senyum Yoongi luruh seketika, memandang nanar pintu yang tertutup rapat. Ia mendudukkan diri di pinggir ranjang—membaca ulang setiap memo yang ada di ponselnya.
Dahinya berkerut dalam. Ibu jari menari lagi di atas layar. Mencurahkan tentang keluarga kecilnya, tingkah lucu si buah hati, sang suami yang jahil, dan apa pun yang teringat dalam dua hari ini.
Perlahan seolah cuplikan film berputar di kepala, memutar kembali kilasan-kilasan lampau, menyeruak bebas di pikirannya. Mengenai kencan di hari pertama, es krim vanila yang melumer di siang hari, ciuman basah diiringi erangan sisa-sisa penyatuan yang panas, juga tangis haru dengan entitas sangat mungil dalam pelukan. Terlalu singkat, terlalu acak, dan terlalu tiba-tiba.
Ponsel meluncur jatuh membentur lantai keramik. Netra yang berpedar kacau diarahkan ke setiap sudut ruangan. Kalut. Perasaan gelisah dan mual merangkak ke kerongkongan. Hantaman-hantaman tidak kasat mata melebarkan kepingan ingatan yang lebih luas. Menyeretnya kembali pada kenyataan yang ada.
“JIMIN!!”
Terpekik ketakutan. Memukul-mukul kepala ketika berusaha mencerna dengan cepat. Pintu terbuka lebih dulu, pergerakan Yoongi terhenti. Menatap Jimin yang air mukanya panik setengah mati sebelum menggerakkan tungkai untuk menghamburkan dalam pelukan.
“Maaf, maaf.” Pita suara Yoongi bergetar. Gumam terdengar sangat lirih. “Maaf, aku pergi terlalu lama.”
Jimin menyadari langsung. Ia menangkup rahang Yoongi untuk dikecupi wajahnya. Mencoba menenangkan. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”
“Jungkook baik-baik saja?” Sorot mata Yoongi masih kalut. Tidak fokus pada satu titik.
“Semua baik-baik saja, Sayang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
I.S.W.Y [MINYOON]✔
RomanceMenurut Yoongi-sekadar mengandalkan kepercayaan di tengah isi kepala yang mulai hancur lebur-percuma. Bagi Jimin, sekalipun dunia dongeng nyatanya tidak ada, ia bisa ciptakan dunianya sendiri. Termasuk bahagia yang dimaksud. Based on: A Moment To Re...