Di pagi berikutnya, Yoongi kembali mengecewakan Jimin. Masih tersisa sembab yang samar di mata, tetapi berhasil disembunyikan dengan senyum lebar. Yoongi benci hal itu. Terlalu berpura-pura, menganggap semua baik-baik saja padahal yang ada sedang rusak secara perlahan.
“Maaf.”
Satu kata sambutan dan cukup membuat Jimin mengeluarkan banyak ekspresi. Terluka menjadi salah satu yang paling kentara di sana. Yoongi tersenyum kikuk. “Mungkin aku bukan Yoongi yang kau harapkan.”
Jimin memilih mendekat, memeluk erat. Sekembalinya dari ruang kerja ia mendapati Yoongi sudah terbangun dari tidur dan berdiri di depan jendela kamar. Ketika iris mereka bertemu Jimin sudah menyadari di hadapannya adalah Yoongi yang kemarin. Pada kejadian sebelumnya hanya akan berlangsung dalam hitungan jam yang singkat tapi entah bagaimana dalam satu hari, Yoongi-nya tidak kunjung kembali.
“Ayo, sarapan.”
Hanya itu yang Jimin katakan meski tidak menampik rasa kecewa itu ada. Yoongi mengikutinya dari belakang sebelum tangannya digenggam untuk berjalan berdampingan. Sekilas ide jahil membuat Yoongi membuka suara ketika kaki menuruni tangga.
“Kita tidak sedang menyeberang jalan, Jim.”
Jimin menahan senyum. Melepaskan genggaman guna merangkul pundak dan sedikit menariknya lebih dekat. Bayangkan saja berjalan dengan bahu saling menempel tentunya agak kesulitan, tetapi Jimin tetap pada pendiriannya dan membiarkan Yoongi lolos setelah sampai di meja makan.
Diperlakukan istimewa menjadikan Yoongi bertanya-tanya. Ini berlaku karena dirinya sedang dalam keadaan sakit atau memang Jimin yang terlampau memujanya. Terdiam di atas kursi, memperhatikan bagaimana suaminya memastikan kembali sarapan pagi untuk dirinya siap dan sesuai takaran yang seharusnya. Diangguki patuh oleh dua wanita—diketahui mereka bertugas di dapur.
Yoongi memutar ingatan mengenai semalam. Sekuat apa pun seseorang menahan pilu pasti akan ada saatnya tumpah ruah, begitu juga Jimin. Suara rintihan tertahan meski dibekap telapak tangan sekalipun nyatanya sia-sia. Sedih sekali. Yoongi mencoba melupakan fakta di mana Jimin juga sakit karena dirinya.
Dentingan mangkuk dan marmer meja mengerjapkan lamunan. Jimin menyodorkan oatmeal dengan potongan buah dan segelas susu berendah lemak di sampingnya.
“Hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” ujar Jimin sambil menuangkan beberapa sendok madu ke dalam mangkuk miliknya. “Kuharap bisa membantumu mengingat semuanya.”
“Ke mana?”
“Ke duniamu.”
Yoongi melongo. Ini baru baginya. "Memangnya selain di bumi, aku tinggal di mana?"
Jimin mengulas senyuman. Menipiskan jarak untuk mencubit pelan pipi Yoongi. “Maksudku, ke butik. Kau pernah mengatakan tempat itu dunia kedua bagimu.”
“Butik?”
“Ya, milikmu. Setelah lulus dari pendidikan akhir kau memilih membuka butik sendiri. Sudah berjalan hampir 4 tahun. Perkembangannya cukup pesat sejauh ini.”
Yoongi hampir tersedak ketika meneguk air dari gelasnya. Lagi, tentang salah satu harapan terbesarnya menggeluti bidang fashion ternyata telah tercapai. Terharu tidak percaya, netranya berkaca-kaca. Senang sekali rasanya.
“Dan kau tahu, pertama kalinya kita bertemu juga di sana. Saat menemani kakakku fitting baju pengantin.” Jimin mengulum senyum malu, menunduk sesaat, lalu menatap Yoongi. “Anggap saja aku tertarik padamu saat pertama kali bertemu. Meminta nomor ponsel dan singkat cerita mengajakmu berkencan. Lebih tepatnya aku yang memaksa dan kau menyetujui karena lelah menghadapi tingkahku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
I.S.W.Y [MINYOON]✔
RomanceMenurut Yoongi-sekadar mengandalkan kepercayaan di tengah isi kepala yang mulai hancur lebur-percuma. Bagi Jimin, sekalipun dunia dongeng nyatanya tidak ada, ia bisa ciptakan dunianya sendiri. Termasuk bahagia yang dimaksud. Based on: A Moment To Re...