Hai mantan! part 3

1.1K 92 12
                                    

"Satu... Satu...satu...."

Nah, itu si Nyai Nai-nai emang kebangetan. Dia dari tadi ngitung nggak nambah -nambah. Satu aja terus. Itu pas jaman sekolah kalau pelajaran berhitung tidur di kelas kayaknya. Tipikal kaum rebahan .

Jadi, hari ini kami sedang di tempat gym. Katanya buat olahraga biar badan makin kece badai. Tapi dia dari tadi ngitung satu terus gak nambah -nambah. Ini perut yang katanya biar rata mungkin sekarang udah cekung ke dalam saking lamanya olahraga begini dengan itungan gak nambah - nambah.

"Nay! Itung hosh.. yangh.. be- ner dongh," kataku kesal dengan nafas tersenggal. Nggak berperi kemanusiaan emang si Naima tuh.

"Hehehe.... Peace, yang! Itu biar badan kamu makin seksi tahu. Lagian itungan gak penting juga," katanya dengan tertawa girang banget. Naima malah gelendotan manja di lengan kekar suaminya. Pak Jack, suami Naima sembari fokus ke layar i pad nya dengan sesekali membelai rambut Naima atau mencium pelipis Naima. Duh, romantis - romantisan ala pasangan ini bikin kaum broken heart macam saya panas dingin, blingsatan gak jelas.

Aku berhenti, kemudian meminum air mineral yang disodorkan oleh suami Naima. Biar tua begitu, dia perhatian dan baik banget. Bucin juga kalau dia mah. Wajar sih, Naima itu standar kecantikannya emang level langit. Body goals ibaratnya dia mah. Kaya cek, seksi cek, tinggi cek, putih cek, pinter masak cek, pokoknya manteb pol sahabatku yang satu itu. Cuma minus di otak saja, dia suka semena - mena sama suaminya. Bikin gregetan.

"Thanks ya, pak Jack," kataku kikuk. Aku memang belum bisa akrab banget sama Pak Jack suami Naima. Masih canggung.

"Hei! Jangan pak dong. Tua amat laki gue. Meski emang tua sih. Ih, tapi jangan pak deh manggilnya. Dih, kamu sih suruh semir juga. Itu uban udah kelihatan semua," sembur Naima menggebu.

Kami cuma terkekeh, dia emang begitu. Kalau ngomong gak pake akhlak. Segala uban dibahas sama suami depan sohibnya. Tengsin kan aku jadinya.

"It's no problem. Aku senang asal Nai senang."

Nah, jawaban lempeng dengan suara bas berat seksi begini bikin kaum sudra cinta macem aku makin tiarap tak berdaya. Pak Jack itu emang nggak tahu masalah aku dan bang Hamid. Dia hanya menyusul istri tercintanya dan mengekor kemanapun Naima pergi. Kecuali jika ada pertemuan penting.Mungkin sebenarnya dia tahu, hanya tidak mau terlalu ikut campur kayaknya.

Orang kaya mah bebas. Katanya menemani tapi masih dapet duit terus, karena sekalian tuh pak Jack buka bisnis baru disini.

"Jangan panggil pak. Just Jack. Nanti Nai marah," kata Pak jack sembari tersenyum lembut.

Aku cuma mengangguk, sayang banget aku nggak suka agegap macam Naima. Nggak kebayang, aku masih muda baru punya anak satu suami udah makin tua. Nanti pas anak smp dikira cucunya. Big No!

"Eh, i-iya Jack."

"Yuk ganti baju. Udah siang juga. Kita ke mall cari baju perang buat kamu sekaligus ke spa bentaran. Ni vagina uda perlu dikuras. Becek gara - gara tadi quicke di ruang ganti," ceplos Naima sembari menarik tanganku.

Aku dan Jeck sampai melotot kaget, Wajah Jack udah semerah tomat. Aku sampai kikuk sendiri dengernya.

"Nai!" Seru aku dan Jack bersamaan.

Naima justru terkekeh sembari mencium pipi Jack lalu berlalu menyeretku menuju kamar mandi.

"Kompak amat," katanya terkekeh.

Wajah Jack sampai memerah gitu, aku yang denger jadi malu sendiri. Emang gak ada akhlak ya sahabatku yang satu ini. Emang gak ada manusia sempurna di dunia ini. Cantik sih iya, tapi otak digadai kayaknya dia.

"Nai, ngomong pake filter kek. Gila kamu tuh, segala quicke dibahas," kataku gemas.

Dia malah tertawa makin keras.

"Dih, sama kamu ini," jawabnya santai. Aku cuma bisa geleng - geleng kepala.

# ## _____&&&&&&&&&__________###

Setelah dari tempat gym, kami sekarang di mall. Selesai dari spa kami memutuskan mengelilingi butik mencari jubah perang melawan mantan kalau istilah Naima.

Tentu saja ditemani beberapa bodyguard karena pak Jack ada urusan bisnis katanya. Ada untungnya juga, aku jadi gak malu banget karena udah pasti semua dibayari Naima. Siapalah aku si pengangguran yang lagi patah hati.

"Wah, ini heels cantik banget. Cocok nih sama kamu ys
yang tingginya gak lebih tinggi dari meja kasir," celetuk Naima.

Aku menatapnya kesal, dan Naima cuma nyengir santai tanpa dosa.

"Ya ampun Nai! Itu tinggi banget. Itu sepatu apa egrang?"

Aku menatap sepatu di tangan Naima ngeri. Heels setinggi 15 cm dengan hak runcing banget. Ngeri haknya patah saking gak kuat nahan body ku atau malah kakiku yang patah karena keseleo. Aku jelas menggeleng keras. Gila apa dia!

"Nai, jangan aneh - aneh deh," tolakku keras.

"Dih, kalau mau gaet cowok bule kamu harus terbiasa pakai begini," ujar Naima ngotot.

"Nai, kan perjanjiannya kita mau bikin bang Hamid balik sama aku lagi," protesku.

Naima memutar bola matanya malas, aku tahu sebenarnya dia marah banget. Tapi bagaimana lagi, aku masih cinta banget sama Bang Hamid. Gak rela dia bahagia sama selingkuhannya.

"Oke. Biar si Hamidun klepek - klepek. Kamu harus lebih upgrade dan tampil paripurna setiap saat di banding cewek sundal itu. Biar Hamidun nyesel ninggalin kamu,"

Aku mengangguk, jelas aku langsung menyambar heels itu dan memakainya. Ini memang kelihatan cantik di kakiku. Apalagi kaki jenjangku kelihatan dengan dress dibawah lutut pilihan Naima. Aku memang selalu puas dengan pilihan Naima sebenarnya.

"Nai yakin nggak patah ya? Ini kecil banget loh haknya. Bisa buat nyate kayaknya," kataku ngeri melihat hak sepatu sekecil lidi ini menopang berat badanku. Kuatkah?

"Eh, jangan salah. Ini sepatu mehong ya. Bisa kebeli dua tuh buat beli mobil bobrok kebanggaannya si Hamidun!"
Aku meloto kaget mendengar jawaban Naima. Ya ampun! Berapa ratus juta harga sepatu ini, pantes saja dipakai nyaman banget. Haduh kalau kena tanah sayang banget.

"Nai, nggak deh. Nggak usah beli heels ini. Duh, mahal banget Nai," bisikku lirih dan panik sebenarnya.

"Dih, pokoknya kamu nurut saja. Kalau mau balas aku, kamu cukup jadi wanita berkelas, no bucin - bucin apalagi jadi goblok gara - gara cowok."

Aku cuma memejamkan mataku, ngeri banget. Dari ujung rambut sampai ujung kaki bernilai milyaran kayaknya. Aku berasa upik abu bertransformasi jadi cinderella.

"Nai, aku ngerepotin kamu banget," kataku dengan mata berkaca -kaca.

Naima memelukku erat.
"Kamu harus bahagia, sama kaya aku yang bahagia," jawab Naima.

"Eh, atau kamu aku kenalin sama temen bisnis Jack aja. Aku juga ketemu Jack waktu belajar move on dari bang Sandi. Toh kami bahagia. Yang tua justru sangat mengerti kita. Aku aja nggak bisa jauh dari Jack sekarang," kata Naima dengan mata berbinar.

"No!" Tolakku keras. Astaga! Masa aku pacaran sama om - om kaya berambut putih? Aku berasa jadi cabe - cabean.

"Dih, ayolah, dari pada sama Hamidun. Kamu modal duit banyak tapi diselingkuhi juga. Nggak seberapa ganteng lagi."

"Nggak," tolakku tegas.

"Pokoknya iya. Kamu belum ngerasain sih goyangan orang - orang begitu justru lebih bringasan dan bikin kita ketagihan."

"Nyai Naima mulut di filter!"
Aku cuma melotot kejam sembari meninggalkan sahabat gesrekku itu.

Duh, malu banget. Dia ngomong begitu keras banget sampai orang - orang melihat aneh ke arah kami.

Astaga! Cobaanku berat amat ya!


Jangan lupa komen, vote dan follow aku yaa dear...

Hai mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang