Matahari masih sangat bersemangat sepertinya. Siang ini teriknya benar - benar membuat keringatku mengucur deras, membuat aku terpaksa harus mandi lagi sebelum menuju cafe. Meskipun begitu, aku sudah memulai hari dengan penuh semangat, akhirnya setelah beberapa bulan yang lalu mulai hidup sehat, mengurus diri. Aku bisa tersenyum melihat penampilan baruku di depan cermin.
Aku tidak akan mendeskripsikannya, jelas nanti kalian mengira aku membual. Tapi yakinlah, bodygoals yang sejak lama aku impikan sudah aku miliki.
Aku memang resmi bekerja di cafe milik Naima yang baru buka beberapa bulan yang lalu. Aku menolak keras ketika Naima meminta agar aku menjadi sekretaris suaminya. Aku menolak menjadi saksi kemesuman pasangan itu. Lagian, masa jombloku sepertinya diperpanjang hingga waktu yang tak dapat ditentukan oleh Tuhan. Jadi, aku tidak sanggup jika setiap hari harus menyaksikan kemesuman sepasang suami istri yang penuh bunga - bunga cinta itu.
Sebenarnya aku berencana membuat butique tapi baru sekedar wacana saja. Sembari menanti modal terkumpul,aku ya membantu disini.
"Kamu perlu kerja di cafe. Biar ketemu cowok - cowok berkualitas. Lagian nanti aku paksa suamiku buat meeting sama client di cafe ini. Nah, kebanyakan bule juga tuh temannya laki aku tuh," cerocos Naima seperti biasa tanpa filter.
Aku hanya manggut - manggut saja. Terserah dia saja deh maunya gimana. Percuma juga menyanggah, si Nyai Naima gak akan pernah terkalahkan. Alias aku enggak bakalan menang kalau ngomong lawan dia.
Soal bang Hamid, kami memang sudah benar - benar hilang komunikasi. Meski kadang aku menyesalkan kenapa hubungan kami berakhir begitu saja. Berakhir dengan buruk. Padahal, seharusnya tidak perlu sampai begini. Seharusnya bisa dibicarakan baik - baik. Tapi, mau bagaimana lagi. Percuma juga aku terus berandai - andai, percuma jika aku memaksakan cinta yang memang sudah hilang. Hanya seperti menggenggam pasir. Semakin erat maka akan semakin habis.
Selesai mematut diri di depan cermin, memastikan penampilanku hari ini sudah sempurna, aku segera berangkat. Jelas saja tidak lagi naik mrt atau naik taksi. Sekarang aku naik mobil, hasil hibah dari Naima. Tapi, aku menolak itu sebagai hibah. Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa ini adalah hutang. Yang akan aku cicil semampuku.
Walaupun aku jelas agak nyeri sendiri sih, bagaimana caranya mencicil mobil mewah begini? Pakai daun pisang? Kapan bisa lunasnya? Ah, entahlah masih jadi misteri ilahi sepertinya.
Ini mobil bahkan biaya perawatannya saja sepuluh kali harga kontrakanku dulu bersama bang Hamid. Kontrakan yang menurut orang - orang adalah kontrakan bagus.
Terbayangkan, berapa harganya?Aku penuh perjuangan merawat mobil ini. Yang bahkan sering banget ditraktir Naima untuk perawatan mobil yang harganya menembus langit ini.
"Yes, baby," kataku mengangkat telpon dari Naima menggunakan earphone yang terpasang di telingaku.
Gaya hidupku saat ini sebenarnya berubah 180 derajat. Dan ini sangat memberatkan, tapi ini memang harus aku jalani. Tidak ada jalan lain, Naima satu - satunya yang membuat aku bisa tetap terus "waras".
"Kamu udah jalan kan?" Serunya di seberang sana.
"Iya. Ini mau ke cafe. Ada apa sih bu bos?" Tanyaku sedikit berkelakar.
Terdengar dengusan sebal di telingaku, aku terkekeh pelan. Naima paling tidak suka jika aku memanggilnya bu bos. Padahal dia kan memang bos ku kan ya?
"Dengar ya, nanti ada temen ku ke cafe. Kamu harus temui dia. Ingat ya! Dia keturunan bule tapi tenang saja, bisa bahasa kok. Baik - baik pokoknya kamu. Dia mau coba menu terbaru kita," cerocosnya tanpa jeda.
Aku menghela nafas berat, Naima memang bebal. Susah dikasih tahu. Berapa kali dia memaksa aku untuk blind date begini.
"Nai, aku udah bilang stop jodohin aku kesana kemari. Kesannya aku gak laku banget! Aku gak suka," sungutku sebal.
"Ih, bukan kamu gak laku! Aku cariin siapa tahu ada yang nyangkut. Lagian cuma kenalan. Kalau cocok ya lanjut kalau enggak ya sudah," balasnya ngotot.
"Hmmm..."
Aku malas menjawab lebih. Percuma saja, nggak bakalan di dengar sama Naima.
"Denger nggak kamu? Ingat jangan jutek! Jangan bandingin ya sama si Hamidun kampretos itu!"
Bla...bla...bla... Entah apa saja yang Naima katakan. Dia terus bercerocos tanpa rem. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya karena harus konsentrasi mengendarai mobil ini. Lagian ini mobil super mahal dan sayang banget kalau sampai baret. Belum lunas!
"Hei, denger gak?!" Teriaknya kencang.
Aku sampai terlonjak kaget. Keras banget di telingaku. Ya ampun!
"Ampun! Berisik deh kamu dari tadi. Lagi nyetir nih. Iya, tenang saja. Aku temui cowok itu," jawabku kesal.
Lagi - lagi terdengar suara cekikikan dari sana. Memang menyebalkan si Nyai Naima ini.
"Siang, bu," sapa satpam cafe setelah saya mencoba memarkirkan mobil. Saya sering mencoba parkir sendiri, tapi ya begini hasilnya. Nol besar! Alias tidak bisa. Takut baret di sana sini karena kemampuan menyetir yang level anak SD.
"Siang pak, tolong ya," balasku sembari meringis kecil. Mobilku hampir nyusruk bak sampah.
"Sudah bu, biar saya saja," ujar pak Mail sembari berlari ke arah saya.
"Makasih ya, pak."
"Iya bu. Sama - sama."
Heels setinggi minimal 7cm sudah menjadi teman akrab aku akhir - akhir ini.
"Hai!" Teriakan Naima yang begitu kencang dan dia melambai- lambai heboh dari dalam cafe membuat aku terkekeh sendiri.
Naima seajaib itu, dan beruntungnya dia dijaga dengan baik oleh suaminya.
Aku merasa hari ini tidak akan semudah biasanya. Dari jauh sudah terlihat punggung seorang lelaki yang tingginya diatas rata - rata orang Indonesia. Rambut pirangnya semakin menguatkan dugaan aku kali ini.
Begitu masuk ke dalam kedai, Naima sudah heboh sendiri. Aku sampai malu sendiri dibuatnya. Kok ya kesannya saya ngebet banget mau kencan buta. Padahal aku nggak tau menau soal rencana yang ada di kepala cantik Naima.
"Kok lama?" Todong Naima begitu aku duduk di kursi yang memang hanya ada Naima disitu.
"Biasa aja. Kamu yang terlalu cepat," balasku.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru cafe. Mencari suami Naima, aku rasa Naima pergi sendiri adalah salah satu hal paling mustahil yang akan terjadi di sepanjang sejarah perbucinan rumah tangga mereka.
"Kamu nyari siapa?" Tanya Naima heran.
"Nyari suami kamu," jawabku sambil terus mengedarkan pandangan ke penjuru cafe.
"Ada, itu loh lagi sama client. Oh, ada yang lebih seru tau! Gebetan kamu sudah di tahan sama my baby bala - bala," Naima bercerita dengan menggebu.
Sudah aku duga, hal memalukan ini pasti akan terjadi. Apalagi si bule itu sampai menengok ke arah sini. Naima hanya nyengir menyebalkan.
Andai lantai ini dapat menenggelamkan aku sekarang juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai mantan!
Romance"maaf aku sudah tidak mencintaimu lagi." Ini tentang perjuanganku melanjutkan hidup setelah hubungan yang kami jalin selama delapan tahun berakhir dengan kalimat menyakitkan itu. "Kamu akan menyesal mas."