I. BERTEMU KEMBALI

18.3K 1.2K 60
                                    

Ati menggosok-gosok matanya untuk melawan rasa kantuk. Cangkir kopi yang Ia hadapi sudah hampir terkuras habis. Masalahnya, dia tidak mungkin beranjak dari situ tanpa membayar ke kasir. Jadi sambil duduk diam, perempuan yang genap berusia dua puluh sembilan itu pura-pura membaca.

Pelayan kedai kopi di pinggir stasiun, yang berbaju kuning terang dengan garis hijau tipis pada ujung-ujung jahitannya, sudah dua kali ini mendekat dan bertanya apakah ada sesuatu yang akan dipesannya lagi. Sudah dua kali pula Ati menggeleng. Namun entah berapa kali terpaksa harus ditelannya rasa malu kaarena secara tak sengaja menangkap pandangan penuh selidik dari para pelayan terhadapnya.

Sial. Coba dia kemarin mengikuti saran Mike untuk naik pesawat saja. Jakarta-Semarang naik Nusantara Air palingan Cuma beberapa ratus ribu. Tidak perlu berdesak-desakan di pintu keluar, mabuk darat karena memang tidak pernah tidak, apalagi kecopetan. Kalau mengingatnya, Ati bisa sampai menggertakkan gigi karena jengkel.

Cash yang disimpannya di dalam dompet memang tidak banyak. Dia lebih senang membawa kartu ATM dan kartu kredit. Secara finansial memang tak terlampau dirugikan, tapi kalau mengingat rasa malu karena harus berkali-kali diawasi oleh pelayan kedai kopi murahan dan bayangan akan kerepotan mengurus surat-surat yang hilang, kerugian moril tidak akan terhitung nilainya.

Ati memang tidak senang mengukur segala sesuatu hal berdasarkan materi, Ia justru mengagung-agungkan hal yang bersifat prinsipil. Penghargaan terhadap waktu dan perasaan yang terjaga keseimbangannya merupakan beberapa hal penting dari sedikit yang baginya hakiki.

Matahari Rahayu Putri menilik pada arloji di pergelangan tangan kirinya.

Tidak mungkin membangunkan orang rumah pagi buta begini, batinnya semakin cemas. Sementara semakin tidak mungkin juga memanggil taksi hanya dengan lima belas ribu rupiah tersisadi kantung sedangkah rumah orang tuanya berada jauh dari kota. Segelas kopi itu saja delapan ribu rupiah, kalau dia membayarnya sekarang dan harus pergi, di mana Ia harus menunggu sampai fajar menyingsing? Bisa-bisa karena tidak ada yang tersisa untuk dirampok, dia justru diperkosa preman atau diculik orang gila.

Iseng-iseng Ati merogoh kantungnya dan menemukan seribu rupiah yang lain.

Serta merta, tanpa pikir panjang, Ia melambai kearah pelayan kedai kopi yang disambut penuh suka cita oleh salah seorang dari mereka.

“Satu lagi yang seperti ini. Tolong pisahkan gulanya.” Katanya memesan.

Pelayan kedai itu mencatat pesanan Ati dalam Captain Ordernya kemudian melafalkan kembali apa yang ditulisnya.

“Anda menunggu seseorang?” Pelayan itu bertanya ramah sebelum meninggalkan salinan Captain Order dihadapan pelanggan yang sudah duduk terlalu lama itu.

Ati menggeleng, raut wajahnya yang melayu karena kelelahan dipaksanya untuk tersenyum teduh, “Sebenarnya memang belum menelpon” Jawabnya lembut.

Pelayan itu mengangguk-angguk.

Ati tersenyum menerima pengertian sang pelayan kedai dari keabstainannya berkomentar. Dia memang tidak begitu senang dikomentari, mungkin itu terdengar dari jawaban yang keluar dari mulutnya. Lugas dan singkat. Seperti secara implisit mengatakan bahwa dia sedang tidak ingin diganggu lebih lanjut.

Saat sang pelayan meninggalkannya, saat itulah Ati melirik pada catatan pesanannya dan merasakan lututnya melemas. Tax 10% excluded. Sial. Makinya dalam hati. Entah sudah berapa kali dalam satu dini hari ini.

Kalau saja dia memasukkan kembalian dari membeli oleh-oleh tadi ke dalam saku celana dan bukannya ke dalam dompet, saat ini seorang sopir taksi pasti sudah mengantarkannya dengan selamat sampai ke depan rumah. Kemudian keesokan paginya saat pagi merekah, dia akan mengejutkan sang Bunda dengan kejutan kecil yang telah disiapkannya.

Matahari Matahati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang