VI. RENCANA TUHAN

6.9K 814 31
                                    

Wanita di ambang enam puluh tahun itu terpaku pada jendela yang membingkai anak laki-laki dan suaminya di ujung senja, bercengkerama di kursi taman dan membuatnya tersadar bahwa anugerah Tuhan sudah tercurah tak terkira selama tiga puluh dua tahun ini atas perkawinannya dengan Hendrawan, suaminya. Semenjak Ia menikahi seorang pria yang dicintainya hingga dua orang putera dan puteri yang membuat hidupnya menjelma surgawi.

Begitu tinggi keingingannya untuk membuat kedua buah hatinya sebahagia dirinya dan suaminya, bersanding dan berbuah hati pula, “Tuhan pasti punya rencana yang indah, As.” Itu yang selalu dibisikkan suaminya hampir setiap kali Asmirandah menangisi nasib dua buah hatinya yang tetap sendirian tak berpendamping.

“Bintang itu seperti dirimu. Kau juga pasti tak akan menikahi siapapun kalau kau tidak menikah denganku. Dan Matahari itu seperti aku. Aku juga tidak akan menikahi siapapun kalau aku tidak menikahimu.” Kata suaminya penuh cinta, setiap kali pula Ia menangisi nasib kisah cinta kedua buah hatinya.

Bintang yang kehilangan kekasihnya dalam sebuah kecelakaan nahas dan Matahari yang harus menerima kekalahan telak justru dari seorang anak yang dicintainya sama rata. Penyesalan-penyesalan yang membuatnya merasa pilu karena kebahagiaannya yang tak terkira tiga puluh dua tahun ini seperti harus dibayar mahal oleh penderitaan buah-buah cintanya.

“Asmirandah! Bersihkan hatimu dari dendam!”

Itu pertama kalinya Hendrawan membentak Asmirandah, istrinya.

“Apa kau tak sadar dendammu itu memberatkan langkah kedua anakmu? Menjauhkan mereka dari restu Tuhan.

Tuhan tidak akan merestui kebahagiaan Bintang dan Matahari kalau kau tak merestui mereka bahagia. Kenapa tak kau biarkan saja semuanya berjalan secara alamiah? Kematian Sofie ini mungkin sebuah amanah bagi Matahari. Mungkin Tuhan hanya membiarkan Bayu yang bersama putrimu, Matahari. Kita Cuma manusia, As, bukan lagi orangtua yang harus melindungi anak-anaknya yang sudah dewasa. Tugas kita sudah selesai. Kita hanya diperkenankan untuk melihat.

Relakanlah jika memang Bayu menjadi kebahagiaan bagi Ati.”

Tidak akan pernah.

Air mata wanita itu menetes. Pilu hatinya, nyeri yang meradang itu belum pernah pupus sekalipun. Setiap kali Ia menarik napas dan menghembuskannya, perih itu selalu jangkit menyakiti. Seperti sudah menjelma menjadi ruhnya sendiri.

Ia tak pernah sembuh bagaimanapun Ia tahu Ati sendiri ternyata sudah sepenuhnya pulih.

“Apa kau tudak sakit hati pada nasib anak-anak kita?” tanya suatu hari pada suaminya.

“Sakit hati pada nasib sama dengan menggugat Tuhan. Aku tidak berani!”

Asmirandah terdiam, dia juga sama tidak beraninya.

“Tapi sangat sulit menerima semua ini.”

“Aku merasakan kesulitan yang serupa. Aku hanya tak mau anak-anakku merasa lebih kesulitan lagi kalau mereka harus menerima beban berat karena orangtua mereka tak bisa melupakannya.”

Dia selalu merasa Hendrawan berbohong. Kalau Hendrawanlah yang mengandung Bintang dan Matahari, dia tidak akan sanggup merasa tidak berani sakit hati terhadap nasib anak-anak yang sudah dikandungnya.

“Bunda...”

Wanita itu terhenyak. Entah sejak kapan Bintang sudah berdiri di belakangnya, “Bunda kenapa?”

“Gak papa. Sana suruh Bapakmu masuk kedalam. Ini sudah hampir Maghrib, nanti beliau batuk lagi.”

“Bapak minta aku manggil Bunda. Katanya beliau mau Bunda yang gandeng Bapak masuk.” Kata Bintang hangat, “Anggrek Bulan punya dek Ati ngembang, Bunda... Bapak bilang ini pertanda bagus.”

Matahari Matahati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang