III. YANG TERKUBUR DALAM-DALAM

8.9K 984 43
                                    

Ati memandang lekat pada pria yang sedang menurunkan salah satu kakinya yang semula menyilang dengan pongah. Pria itu adalah pria yang sama yang telah menerima perkenalan dirinya sebagai seorang istri dari Bayu Laksmana. Ati bukan hanya mengenali penjepit dasi berkilau keperakan di dadanya, tapi juga senyuman dan tatapan matanya yang dalam.

“Sekilas begitu mirip dengan kawanku.” Kata pria itu lagi. Kemudian seperti berbicara pada Nyonya rumah, padahal pandangannya tak pernah luput dari Ati, dia berseloroh, “Ah. Tapi tidak mungkin. Kawanku itu sudah punya suami dan seorang anak seusia Tasya, keponakan saya, Tante...”

Ati menelan ludah. Gurauan yang jelas-jelas memperlihatkan padanya bahwa Ia mencoba mengatakan harga dirinya sebagai laki-laki sudah terluka. Ati memberikan anggukan kecil, seperti mengatakan pada pria itu, bahwa dia berhutang penjelasan yang panjang padanya.

Entah kenapa, sejak awal bagi Ati, sosok pria itu seperti melekat dan tidak bisa buru-buru dianggap tidak ada. Ati mengibas pikirannya sendiri. Mungkin hanya karena mereka bertemu dua kali dalam sehari. Dia tak terbiasa membiasakan diri dengan seseorang dalam tempo yang teramat singkat.

Ati bersikeras menarik lengan Bundanya menjauhi kerumunan.

“Kenapa sih narik-narik Bunda begini, Ti?” Bunda akhirnya melawan begitu sebuah dinding yang memisah antara ruang tengah dan ruang depan melindungi mereka berdua dari sudut pandang para tamu.

Ati mendengus berat. Memperlihatkan keseriusannya.

Tujuh tahun lebih semua itu berlalu. Ketika tujuh kali hari yang paling menyakitkan itu terulang, Atipun telah tujuh kali pula sembuh. Tak disangkanya, luka bunda justru tujuh kali lipat lebih basah, dalam dan menganga menyakitkan.

“Sofie sudah meninggal.” Ati sengaja mengucapkannya datar, seperti kalimat tanpa tanda baca.

Bunda memalingkan wajah ke samping. Sudah jelas beliau tahu tentang berita itu. Entah mengapa dia memilih untuk bungkam.

Ati harus dengan susah payah meredam perasaannya. Bunda memang sangat keras hati dan kepalanya, berbicara dengan tenang saja seperti tidak pernah cukup untuk mengungkapkan kesungguh-sungguhan. Dengan mencoba menahan luapan emosi, Ati kembali memulai kalimatnya perlahan, “Bunda... Sofie sudah meninggal dan putrinya buta...”

“Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal  itu, Ti.” Bunda berkata tegas, kaku, “Bunda sedang ada tamu. Kalau kamu tidak keberatan, sebenarnya Bunda memang sama sekali enggan membicarakannya.”

“Aku gak bisa ngebiarin Bunda terus menerus tenggelam dalam situasi yang tidak seharusnya. Bunda tahu? Justru sikap Bunda yang seperti itu sangat memojokkanku. Cara Bunda memperlihatkan betapa Bunda terluka membuat semua orang berpikir akulah yang masih terluka. Sejujurnya tidak, Bunda. TIDAK. Aku sudah melupakan semuanya. Hal itu sudah tidak berarti banyak buatku.”

“Oh ya? Lalu kenapa kamu tidak segera menikah? Tujuh tahun berlalu dan kamu tidak bergerak kemanapun, Ti. Kamu bilang hal itu tidak berarti banyak?” Tuduh Bundanya. Telak.

Ati memejamkan mata. Sakit rasanya ulu hatinya ketika itu. Bunda memang tidak mengerti. Itulah kesimpulan dari semuanya. Berbicara dengan beliau seperti berbicara pada patung batu yang berdiri tegak namun tanpa hati dan kepala.

“Itu tidak ada hubungannya dengan kejadian itu!” Sangkal Ati kehilangan kesabaran, khawatir jika Bundanya tak juga menemukan keyakinan pada kalimatnya, “Masih banyak hal-hal lain yang buatku lebih berarti. Bunda bikin aku kehilangan muka didepan Bayu. Tau apa yang Ia pikirkan? Dia bisa saja berpikir aku masih cinta sama dia, Bunda.”

Ati mengharapkan Bundanya luluh. Setetes air mata haru  akan lebih baik. Sekali-sekali efek dramatis memang dibutuhkan dalam dunia nyata, pikirannya bermain-main sambil menunggu reaksi Bundanya.

Matahari Matahati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang