"Gimana menurut lo ide gue?" tanya Nessa yang sedang berjalan di depanku untuk masuk ke sebuah kafe, tempat Rex berkumpul dengan teman-temannya.
Aku berjalan di belakangnya dengan menyeret-nyeret kakiku yang rasanya sudah tidak ingin digerakkan saking pegalnya. Langit sudah menggelap sejak tadi. Bayangkan saja, kami belanja — ralat! Aku harus nemenin dia belanja mengitari satu mall dari matahari masih ada di atas kepala, sampai matahari terbenam. Nessa adalah cewek yang paling ingin kuhindari kalau masalah belanja-belanjaan. Dia adalah tipe yang paling kubenci. Tahu kenapa? Karena dia tidak pernah bisa memutuskan sesuatu dengan cepat. Sepasang sepatu kets saja mesti dicari sampai dua jam. Kami muter-muter mall sampai tujuh kali, bolak-balik masuk toko yang kelihatan menarik buat dia, dan berakhir dengan memilih sepatu yang kami lihat di toko yang kami kunjungi sebelumnya. Nyebelin banget! Buang-buang waktu. Buang-buang tenaga.
"Ide apa?" ketusku sebal.
"Cara untuk bikin Rex muak sama lo." Dia mengatakannya dengan tenang. Tidak sadar kalau aku sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menimpuk kepalanya dengan sepatu.
"Jadi cewek manja? Lo bercanda? Nggak lucu."
"Emang kenapa?"
"Kalau cuman dengan jadi cewek manja Rex, hubungan kami udah berakhir sejak lama," kataku, nyaris kehilangan kesabaran.
"Maksudnya?"
Aku mengembuskan napas panjang. "Liat ini!" seruku, berjalan lebih dulu meninggalkannya. Mataku mencari-cari keberadaan Rex dan teman-temannya. Mereka berada di meja biasa. Meja yang berada di sudut, tempat paling strategis untuk melihat suasana ramai jalanan di luar melalui dinding kaca yang digunakan sebagai pembatas dengan ruangan luar.
Fadlan satu-satunya orang yang pertama kali menyadari keberadaanku. Senyum mengejek tersungging di bibirnya, membuatku memutar bola mata. Rex berdiri dari kursi dan berbalik melihatku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menubruknya. Tubuhnya goyah karena tidak menyangka aku akan memeluknya seperti ini. Bersyukur karena tingkahku tidak membuat kami jatuh bergulingan di lantai dan jadi tontonan penghuni kafe.
"Naurah!" seru Dinul takjub dengan tingkahku.
Kuabaikan Dinul dan menunggu respons dari Rex. Sebenarnya ini cukup memalukan. Kesannya bukan aku banget.
"Ada apa ini?" tanya Rex bingung. Kedua tangannya memegang lenganku, memaksaku mundur agar dia bisa melihat wajahku.
Aku mendongak tanpa melepaskan rengkuhanku di pinggangnya. "Capek," rengekku. Suaraku bergetar dan hidungku terasa gatal. Perlahan, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ekspresi memelas andalanku.
"Dasar!" dengus Rex, kemudian terkekeh geli. Tangannya kembali meraihku dalam pelukannya dan membawaku untuk duduk di sofa, tepat di sampingnya.
Kalau boleh jujur, aku kecewa berat. Meskipun sudah tahu bagaimana sikap Rex yang adem-ayem saja ngadepin tingkahku yang makin hari makin aneh, tapi aku tetap loh berharap dia bakal kesal, merasa terganggu, atau kalau tidak langsung marah sekalian biar dia putusin aku. Tapi, tetap saja itu tidak mungkin. Putus dari Rex tidak semudah itu! Dapat nilai A di ulangan Penganggaran Perusahaan sepertinya lebih gampang daripada merenggut gelar ex-girlfriend.
Kalian harus tau kalau Penganggaran Perusahaan adalah pelajaran paling membosankan dengan Pak Ridjal sebagai dosennya. Dosen berkacamata yang selalu mengatakan 'ya' setiap katanya. Kadang teman-temanku yang kurang kerjaan menghitungnya dalam satu kali pertemuan. Hasilnya? Semuanya menyerah, bahkan belum setengah jam pelajaran dimulai saking tidak tahannya dengerin dosen itu yang terus-terusan mengulangi satu kata yang sama, yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran kami. Intinya, dapat nilai A dalam mata kuliah itu emang susah banget. Yang membuat kalian bisa menarik kesimpulan bahwa putus dari Rex itu lebih, lebih, lebih dari susah.
Hadeuh! Aku ngomong apaan sih ini?
"Gimana belanjanya? Seru?" tanya Rex dengan senyum miring di bibirnya, membuatku menggelengkan kepala tegas.
"Kapok," keluhku.
Puas dengan jawabanku, Rex beralih menatap teman-temannya. Nessa yang baru datang, memilih duduk di samping Fadlan yang tiba-tiba jadi pendiam. Gimana tidak diam kalau deketan sama cewek yang dia taksir dari zaman TK? Aku sudah menyadari ini dari pertama kali aku melihat betapa berbinarnya tatapan Fadlan setiap kali bertemu Nessa. Tatapan memuja yang tidak pernah bisa dia tutupi. Perasaan Fadlan seperti rahasia umum yang terlarang untuk dibicarakan. Yang membuat aku selalu tersenyum dan ngeledekin Fadlan adalah karena Nessa bahkan tidak tahu tentang perasaan Fadlan. Cewek itu kayaknya memang tidak peka terhadap sekitar.
Pandanganku bertemu dengan Nessa. Aku memberinya tatapan mengejek seakan mengatakan "See? Ide lo nggak mempan!".
Ponselku bergetar. Aku merogoh tas dan memeriksa pesan masuk yang ternyata dari Nessa.
From: Nessa
Peluk gitu g msk kategori manja tau!
Oh, ternyata dia masih belum mau ngaku, toh, kalau idenya itu tidak berguna.
To: Nessa
Jd gmn manja yg lo maksud?
From: Nessa
Minta dia nyuapin lo! Di depan kami semua.
Belum sempat aku membalas pesan Nessa, potongan steak sudah tersodor ke depan wajahku. Aku menatap Rex yang membalas tatapanku dengan tidak sabar. Ya, saatnya jadi penyicip rasa. Kubuka mulut dan membiarkan Rex memasukkan potongan kecil steak-nya yang sudah dilumuri dengan saus. Dagingnya lumayan empuk, sausnya juga gurih, dan rasanya ... enak.
Rex masih menunggu penilaianku. Aku mengangguk dan dia pun beralih pada makanannya. Mulai menikmati sirloin steak yang dia pesan.
Aku meraih es lemon tea yang sudah dipesankan Rex untukku dan mulai menyesapnya. Kuselonjorkan kakiku yang ada di bawah meja dan kembali membalas pesan Nessa.
To: Nessa
Mgkn aja lo lupa, tp Rex sll nyuapin gue stiap kali dia mw mkn sesuatu.
Abaikan fakta kalau dia melakukan itu karena takut rasa makanan yang akan dimakannya menjijikkan. Toh, intinya dia memang selalu menyuapiku.
Seakan tidak mau menyerah, Nessa mulai mengirimkan pesan-pesan yang membuatku bertanya-tanya sendiri. Dia ini sebenarnya pengin aku jadi cewek manja atau cewek nyebelin, sih? Mulai dari menyuruhku menjadi cewek jorok yang kulakukan dengan baik saat makan hamburger. Aku menurutinya dan akhirnya memesan hamburger. Sejujurnya aku tidak pernah makan burger di depan Rex, soalnya aku bego makannya. Setiap kali makan, pasti mulutku jadi belepotan saus. Aku tidak suka dianggap kekanakan. Tapi, yang tidak kusangka-sangka adalah tingkah Rex yang menyiapkan sekotak tisu di depannya. Dia berbicara pada teman-temannya, tapi setiap semenit dia selalu menoleh padaku hanya untuk membersihkan saus yang menempel di bibirku, karena takut bibirku akan perih kalau sausnya menempel terlalu lama.
Aku juga mengganggu pembicaraan Rex dengan teman-temannya saat mereka sedang membahas tentang tugas kelompok yang akan mereka kerjakan. Aku bersandar di bahunya dan terus mengeluhkan tentang apa saja yang terjadi hari ini padaku saat berbelanja. Intinya adalah mengeluh dan mengeluh. Tapi, lagi-lagi reaksi Rex membuatku terbengong-bengong. Bukannya marah seperti yang dilakukan Fadlan dan Dinul, dia malah terus menatapku seakan benar-benar peduli dengan apa yang kucurahkan, apa yang kurasakan. Membuatku merasa menjadi cewek yang benar-benar tidak tahu diri. Punya cowok sebaik Rex, tapi aku masih berniat cari cara untuk putus.
Namun, perasaan itu segera kuenyahkan. Tahu kenapa? Karena Rex itu bisa lebih jahat dari yang pernah kubayangkan. Dia pernah membuatku menangis berkali-kali dan bukan tidak mungkin kalau aku membatalkan niatku, maka perlahan dia akan memakan hatiku dan membuatnya bolong sana-sini, hingga angin akan mudah berembus di dalamnya. Membuatku menjadi cewek rapuh yang membutuhkannya untuk bisa bertahan.
Ingat! Dia itu monster.
-_-
KAMU SEDANG MEMBACA
Rex's Girlfriend (Sebagian Part Sudah Dihapus)
Novela JuvenilPart yg tersedia cuma 1-5. Cerita ini sudah diterbitkan. Pemesanan bisa di shopee, akun vintari_books. Cinta mati? Hell! Yang ada tuh aku NYARIS MATI ngadepin tingkah absurd cowok itu. Dia tuh monster. Egois, tukang ngatur, pemarah. Apalagi kalau ud...