Empat. Berbeda

96.3K 6.7K 104
                                    

Ada yang salah dengan Rex. Aku yakin, benar-benar yakin. Masalahnya adalah seharian ini dia jadi begitu sabar menghadapi tingkahku. Bahkan dia tidak marah padaku saat aku menjatuhkan ponselnya yang kupakai untuk bermain game. Mengingat bagaimana Rex bersikap terhadap setiap barang miliknya, rasanya mustahil kalau dia tidak marah padaku. Serius, deh! Ini benar-benar aneh.

"Rex," panggilku pada Rex yang tengah sibuk menyetir mobilnya.

Kami dalam perjalanan pulang setelah aku meminta — lebih tepatnya merengek agar dia mengantarku pulang meskipun dia masih mengobrol dengan Fadlan dan Dinul. Aneh, 'kan? Sumpah! Lama-lama tingkahnya bikin aku ngeri. Kalian pasti akan berpikiran sama, kalau cowok yang biasanya selalu bersikap sebagai alfa yang kata-katanya adalah perintah mutlak, malah sekarang dia bersedia nurutin semua kemauan ceweknya. Kesannya tuh kayak menunggu bom waktu yang siap meledak. Entah kapan atau apa pemicunya, yang jelas, ini lebih menakutkan dari apa pun karena aku sama sekali tidak tau apa yang dia pikirkan. Dan aku tidak tahu kapan kesabarannya itu akan habis.

Aku akui kalau aku memang ingin agar dia marah. Tapi, aku juga tidak berharap kalau dia akan melakukannya saat kami hanya berdua. Bagaimana kalau dia tiba-tiba mencekik leherku sampai mati?

"Hm?" Dia bergumam menanggapiku. Hanya gumaman kecil, tapi sukses membuatku terkesiap. Kok suasananya mendadak jadi horor gini, ya?

Kuremas-remas kedua tangan yang terkepal di atas pangkuanku. Ini aku harus ngomong apa, sih? Nanya apa dia marah atau tidak? Ish! Dia pasti marah. Apa aku perlu menjelaskan kenapa aku bertingkah seperti tadi? Tapi, niatku memang pengin bikin dia marah. Kenapa aku jadi serba salah begini? Aku pengin dia marah, tapi aku tidak mau berhadapan sama Rex yang sedang marah. Lalu, aku harus bagaimana?

"Sayang, kok nangis gitu, sih? Emang capek banget, ya?" Menangis? Aku?

Kusentuh pipiku yang ternyata memang basah. Wow! Ternyata efek Rex besar banget padaku.

"Sayang." Nada suara Rex mulai terdengar menuntut saat tidak mendapatkan jawaban apa pun dariku.

"Aku ... Aku ... Itu. Kamu...." Aku berusaha menjelaskan, membicarakan apa pun yang terlintas di pikiran. Tapi, kata-kata yang keluar dari mulutku jadi tidak jelas. Tatapanku berkeliaran ke mana-mana, menatap apa saja selain dirinya. Otakku mendadak blank. Aku takut. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasa ini benar-benar membuatku sesak.

"Kupikir aku pernah memperingatkanmu agar nggak mengabaikanku." Dia menggantikan kata 'Sayang' yang sering digunakannya untuk menyebutku dengan kata 'Kamu'. Pertanda kalau dia marah.

"Aku nggak gitu, kok." Bantahanku malah terdengar seperti suara memelas. Benar-benar menyedihkan.

"Aku juga pernah mengatakan untuk nggak membantah omonganku, 'kan?!"

O-oh! Rex berubah menjadi monster. Lagi.

Mobil sudah berhenti. Aku menyadari bahwa kami sudah berada di depan rumahku. Kuangkat tangan dengan hati-hati untuk meraih pegangan pintu mobil.

"Jangan coba-coba!" desisnya menghentikan gerakanku. Tubuhku rasanya membeku. Aku pernah mengeluh tentang suasana sekitar rumahku yang selalu ramai oleh anak-anak muda yang sering nongkrong, ibu-ibu yang sedang bergosip, atau anak kecil bermain yang selalu membuatku merasa terganggu setiap kali aku ingin berkonsentrasi. Tapi, kali ini sekitaran rumahku benar-benar sepi. Seakan-akan mereka semua sepakat berada di pihak Rex untuk segera menghabisiku.

"Lihat aku!" Bersamaan dengan satu perintah itu, tangannya juga terulur dan merangkum wajahku, memaksaku untuk menatapnya. Wajahnya terlalu dekat. Tatapan matanya penuh selidik. Dia tidak mengatakan apa pun dan terus menghunusku dengan matanya. Membuatku semakin ketar-ketir dan bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya ingin dia lakukan.

Rex's Girlfriend (Sebagian Part Sudah Dihapus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang