Ata tidak pernah tahu kalau curhat ternyata bisa begitu melegakan. Ia jadi bisa mengerti mengapa ibunya selalu berhasil menjadi lebih baik setiap kali melewati sesi konseling dengan psikolognya. Seolah ada yang pelan-pelan mencair dari bongkahan batu es yang menjejali hatinya. Hingga dadanya terasa lebih lapang.
Dengan cepat dan lancar, mulut Ata meluncurkan semua yang dirasakannya di depan Joby, tanpa bisa mengendalikan diri. Mulai dari perasaannya yang sudah mati, hari-harinya semakin membosankan, dan tuntutan hidup yang rasanya semakin berat saja.
"Saya nggak pernah membayangkan akan mengalami fase mencari jati diri di usia yang sudah setua ini. For God sake, usia saya udah di pertengahan dua puluhan!" erang Ata.
Lawan bicaranya yang sedari tadi menjadi pendengar yang baik mengulas senyum maklum sebelum bersuara, "Paling enggak belum terlambat. Ketika kamu sadar kamu sedang masalah, artinya kamu sudah berada pada tahap pertama untuk menolong dirimu sendiri."
Kalimat Joby seharusnya tidak sulit dipahami, tapi entah mengapa Ata justru mengumpat setelahnya. Tidak dengan suara yang keras, namun sampai pada pendengaran Joby. Membuat pria itu mengernyit bingung, "Apa ada yang salah dari perkataan saya?"
"No. Bukan perkataan kamu. Tapi saya." Ata tampak takjub. Nyaris tidak percaya. Kepalanya menggeleng kuat berusaha menghalau skema-skema mengerikan dalam otaknya.
"Bagian yang mana?"
Ata tidak habis pikir. Bagaimana bisa ia membagikan rahasia kelam ini pada sembarang orang? Ata tidak tahu apa-apa tentang pria yang ada di hadapannya itu, bagaimana kalau ternyata semua yang Ata pikir tentang pria itu tidak benar-benar seperti pikirannya? Bagaimana kalau ternyata pria itu akan membongkar semuanya setelah tahu siapa Ata yang sebenarnya. Dan bagian terburuknya, bagaimana kalau semua citra yang sudah mati-matian dibangunnya harus hancur karena kecerobohan mulutnya sendiri.
Apa kata Mama nanti???
Seperti membaca kepanikan Ata, Joby berkata, "Saya nggak bohong waktu bilang saya terlalu sibuk untuk mengurusi urusan orang lain. Tapi ya, harus sama-sama kita akui. Kita ini sama-sama orang yang sedang bermasalah dan mencoba melarikan diri dari masalah kita. Well... jadi kenapa nggak kita berbagi aja? Biar terasa lebih ringan?"
Kali ini Ata bergeming. Mencoba merenungkan tawaran pria itu, Ata akhirnya mengekor saja saat sekali lagi pria itu mengajaknya kembali pada mini market tempat mereka berteduh di kala turun salju.
Joby menghampiri deretan minuman dan menyomot sebotol bir ukuran sedang darisana, sebelum kembali lagi pada Ata yang duduk di tempat yang sama persis seperti yang mereka tinggalkan beberapa jam yang lalu.
"Saya pernah baca di salah satu bukunya Fiersa Besari yang bilang...," Joby membuka percakapan setelah duduk manis di sisi kiri Ata, "kadang-kadang manusia nggak bisa jujur sejujur-jujurnya di hadapan orang yang mereka kenal karena takut kalau rahasianya terbongkar, pandangan orang-orang bakal berubah. Jadi secara nggak sadar manusia suka memaksakan diri melakukan hal yang mengkhianati nurani, hanya karena takut orang-orang di sekitar mulai menilai, mulai mengritik dan mulai menghakimi."
Ata menatap lawan bicaranya yang sedang sibuk menghabiskan isi minumannya dalam diam. Menunggu petuah selanjutnya, yang entah kenapa selalu terasa seperti pencerahan.
"Beruntung kita saling menemukan di tempat ini," sambung Joby, "Dengan nggak saling kenal, kita bebas mengekspresikan diri. Kamu lepas dari remote control-mu. Dan saya lepas dari semua perang batin saya."
Ata mulai merenung.
Sejak kapan tepatnya Ata kehilangan dirinya sendiri, ia bahkan tidak bisa mengingatnya lagi. Barangkali berlarian di teras rumah dengan kaki penuh lumpur dua puluh tahun silam adalah kali terakhir Ata bersikap normal selayaknya anak kecil. Karena setahu Ata, sesudahnya badai menerjang kebahagiaan kehidupan keluarga kecilnya. Ayah yang selama ini dibangga-banggakannya ternyata berubah menjadi sosok penjahat yang merenggut kebahagiaan ibunya, sekaligus membelah keluarga kecil itu menjadi dua bagian.
Semata-mata karena ketidakmampuan Markus, sang ayah, menjaga hati.
Begitu teganya dia membagi cinta dan dirinya kepada wanita lain, hingga membuat semua yang dibangun kukuh dalam keluarga mereka harus hancur berkeping-keping. Meninggalkan Mia menjadi sosok perempuan yang sangat ringkih bersama Ata, dan membawa serta satu-satunya saudari kandung yang Ata cintai, Lusia.
Ata kecil pernah sangat membenci Markus. Walau belum sepenuhnya paham kalau ternyata riak sudah mulai muncul jauh sebelum perselingkuhan itu, ia benci karena Markus meninggalkan Mia dalam keadaan depresi. Ia juga benci karena Markus membuatnya terpisah dengan Lusia.
"Papa tetap adalah papamu, nggak peduli Papa masih jadi suami Mama atau bukan. Ata tetap putri sulung Papa. Ata tetap menjadi tanggungjawab Papa. Ata ngerti kan?" kata Markus di hari pernikahannya dengan istri barunya, waktu itu.
Tidak masuk akal! Ata bersikeras.
Ata benci Markus, sama seperti Ata benci Tante Rara–perempuan yang merebut papanya. Ia bahkan sempat bersyukur saat mendengar Tante Rara ternyata mengidap penyakit ganas. Ia pikir Markus akan kembali ke rumah kalau Tante Rara tiada. Nyatanya, Markus tidak pernah pulang, meskipun Tante Rara berpulang pada yang Maha Kuasa Kuasa, dua tahun setelah menikah dengan Markus.
Sejak saat itulah rasa benci Ata mulai memudar. Ata sadar kalau Tante Rara bukan satu-satunya alasan yang membuat kedua orangtuanya berpisah. Ata juga sadar kalau Markus masih selalu memainkan perannya sebagai Ayah yang baik. Selain masih memenuhi kebutuhan finansial keluarga, Ata sering melihat Markus diam-diam hadir dan mengikuti semua kompetisi yang diikutinya, memberikan dukungan penuh. Markus juga memberi kebebasan pada Lusia untuk selalu datang dan berkunjung ke kediaman yang ditinggali Ata bersama Mia.
Sialnya, kesadaran Ata tentang peran Markus tidak serta merta mengubah kehidupan yang sudah kepalang Ata jalani di bawah didikan Mia sebagai orang tua tunggal.
Berakhir menjadi janda membuat Mia mendidik Ata menjadi perempuan yang tangguh. Harus tahan banting. Tidak ada yang boleh melukai Ata karena ia adalah wujud perempuan yang maha sempurna. Versi Mia.
"Saya nggak yakin ini akan cukup membantu atau enggak," ujar Joby memecah gelembung kenangan Ata, "Tapi saya punya permainan yang mungkin bisa membangkitkan kepribadian kamu yang mati suri."
"Permainan apa?"
"Klasik." Joby meletakkan botol minumannya yang sudah kosong di atas meja lantas memutar botol itu, hingga berhenti dengan tutup yang menganga mengarah menunjuk Ata, "Truth or Dare?"
"Seriously?" tanya Ata dengan kernyitan di dahi. "Ini beneran permainan klasik yang kalau dapat truth saya harus jawab sejujur-jujurnya? Dan dare, saya harus lakukan semua yang kamu minta?"
Joby mengangguk mantap.
"Coba kasi tahu saya, apa yang bisa saya dapatkan dari permainan ini?"
"Namanya juga permainan, ya buat have fun. Tapi kalaupun kamu dapat sesuatu yang lebih dari sekadar have fun, anggap aja bonus," Joby memersuasi.
Perempuan itu mulai mempertimbangkan, "Lalu, apa jaminan yang bisa kamu berikan untuk menjaga semua kebodohan yang mungkin akan terjadi selama permainan ini berlangsung? Maksud saya, saya di sini bukan saya yang selama ini tinggal di Indonesia kan sekarang?"
"Nggak ada tuker-tukeran nomor handphone, email atau akun medsos. Nggak ada foto. Nggak ada kontak setelah liburan ini berakhir," jawab Joby menimang-nimang, "Apa itu cukup?"
"Dan, kalaupun pada akhirnya kita nemuin jati diri yang sebenarnya setelah liburan ini berakhir, anggap aja kita nggak pernah saling kenal sama sekali. Whatever happened in Kyoto stays in Kyoto," Ata menambahkan.
"Deal!"
"Dare!"
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAY HEARTS [END]
ChickLitJoby "You know what ... saya selalu berpikir kalau jodoh, pasti semuanya akan dimudahkan. Nyatanya perjalanan kisah cinta saya nggak semudah itu. Sampai-sampai membuat saya bertanya-tanya, apakah saya sudah benar-benar memegang tangan jodoh saya yan...