2 p.m

18 2 0
                                    


"I'm your 2 p.m, you said"

Banana-fritter-keju-kopi-cappuccino-il-divo-andrea-bocceli. Ada sendok di depan saya yang sepertinya menarik untuk mengaduk gelas. Ada pisau dan garpu di depan saya yang sepertinya menarik untuk mengiris steak medium rare.

"Nad?"

F-O-K-U-S, Nad.

Saya sampai sekarang masih menyimpan perasaan ke kamu. Tapi bagaimana kalau ternyata kamu nggak bisa bikin bahagia? Saya harus bilang apa ke kamu?

"Kamu mau ngaduk kopi sampai berapa lama?"

A-Y-O F-O-K-U-S,  N-A-D

O-R-A-N-G D-I D-E-P-A-N K-A-M-U N-U-N-G-G-U J-A-W-A-B-A-N.

"Saya bingung harus bilang apa ke kamu. Saya butuh waktu untuk berpikir"

Skenario pertama, saya mau bilang bahwa saya nggak bisa hidup bersama orang di depan saya. Skenario kedua, saya mau bilang bahwa selama ini saya sudah punya pacar. Skenario ketiga, saya....yang pasti tidak sesuai sama kalimat yang barusan saya ucapkan.

Lalu saya khawatir kalau reaksi orang di depan saya bakal membuat saya panik. Saya panik kalau dia bernafas panjang. Saya panik kalau dia akan benar-benar mendesak saya.

"Mikirin apa lagi?"

Ternyata saya benar-benar panik. 

"Kamu sepertinya sibuk dengan pikiran kamu sendiri"

Hmmm.....saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. Dari tadi. Cerita ini berisik dengan pikiran-pikiran saya. 

"Kasih saya waktu"

"Berapa lama?"

"Nggak akan lama"

....

Yang ada di hadapan saya tadi, yang membuat saya panik, kalian bisa memanggilnya 2.p.m.

Saya menulis angka dua, huruf p dan huruf m di banyak tempat. Di blog, di kontak, di caption instagram, dan di kalimat-kalimat positif yang saya rapal tiap pagi.

Saya menyebutnya 2.p.m. Pukul dua pagi.

Di masa kuliah, jam dua pagi adalah masa-masa sibuk mengejar deadline tugas. Saya memikirkan dia sebagai orang yang bisa membantu saya. Meskipun pada kenyataannya, saya tidak pernah berani meminta bantuan.

Saat awal-awal bekerja, jam dua pagi adalah masa-masa overthink memikirkan achievement yang tidak sama dengan orang lain. Saya memikirkan dia sebagai orang yang membuat saya bersemangat. Saya harus bekerja keras agar kelak saya bisa satu level dengan dia. Meskipun pada kenyataannya, andai kami berdiri satu level, saya tetap tidak akan berani menyapa.

"Dia tuh nggak keren-keren banget Nad. Selevel lah sama kamu"

"Kamu tuh mesti gitu deh. Underestimate banget ke dia"

"Kamu yang underestimate ke diri kamu sendiri. Gimana ketemuan kemarin?"

"Nggak tau. Aku belum jawab"

"Kirain bakal langsung bilang iya"

....Kirain bakal langsung bilang iya? Saya juga mengira demikian. Tapi ternyata dia masih menjadi si pukul dua pagi. Hanya saja, sekarang saya memikirkan dia dengan banyak sekali pertanyaan:

Apakah saya benar-benar layak ada di masa depan dia?

Apakah dia benar-benar yakin bahwa saya bisa berada di masa depan dia?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 08, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Serial WarnaWhere stories live. Discover now