Alfin

41 6 0
                                    

Alfin

Kepala gue penuh imajinasi tentang film The Little Prince dan Zootopia. Baru saja tadi siang ada temen gue yang bilang:

"Ngelihat lo sendirian kemana-mana kayaknya lo emang milih buat nggak berteman sama siapapun ya :D"

"Iya. Gue bosen sama jokes garingnya orang-orang. Nggak level sama gue"

"Wakakak....lo emang bukan orang fin"

Gue ketawa. Mungkin gue emang bukan orang. Gue ini alien dari planet namec yang kesesat di bumi.

*Apasih fin, lo norak*

Kadang gue ngerasa kalo hidup gue sama orang-orang di sekitar gue itu persis kayak orang-orang dalam film the little prince yang hidup di planetnya masing-masing. Asyik dengan dirinya sendiri. Bersosialisasi bukan buat memahami orang lain melainkan demi menunjukkan eksistensi diri.

Itu ngebosenin. Banget.

Bayangin aja, gimana lo bisa bertahan lama sama orang yang berbusa-busa nyeritain penghargaan yang dia terima sementara ketika diajak bekerja, kualitas mereka jauh dari yang mereka ceritain. Bener kata orang, pencitraan semu itu sifatnya short term.

Gue sebenernya termasuk orang yang berusaha menghargai titik nyaman orang lain dengan tetap mendengarkan cerita, membantunya ketika kesulitan, juga menenangkannya ketika sedih. Namun untuk benar-benar nerima orang lain buat masuk dalam kehidupan gue, tunggu dulu.

Gue sombong dan individualis?

Mungkin aja.

Yang jelas gue cuma sanggup berbagi sama orang yang bener-bener satu frekuensi. Gue ngerasa lebih bermanfaat kalo gue fokus ngembangin diri daripada harus nemenin orang yang ngeluhin nasibnya yang buruk. Udah kerja lama tapi levelnya nggak naik-naik.

Di mata gue, nasib mereka kayak gitu karena tindakan mereka sendiri. Males berinovasi, males kerja tapi minta nilai bagus dan duit banyak.

Sumpah, itu absurd.

Buat gue, orang kayak gitu nggak bisa naik level karena mereka nggak bisa nerima kekurangan diri.

Kenapa orang yang nggak bisa nerima kekurangan diri itu susah naik level? Karena orang yang nggak bisa nerima kekurangan diri itu mikirnya sering nggak ilmiah. Nggak ilmiah gimana?

Misalnya pas ada orang macem gini kalah lomba. Dapat dipastikan dia bakal nyalahin panitia. Padahal kalo dia mau introspeksi, dia bakal tahu kalo dia emang belum punya kualitas sebagai pemenang.

Mestinya kalo dia waras dan nyadar bahwa dia belum punya kualitas sebagai pemenang, dia bakal terus berlatih meningkatkan kualitas. Tapi berhubung dia nggak bisa menerima kekurangan diri, dia bakal sibuk berhalusinasi seolah dia hebat. Terus dia menyalahkan orang lain yang menurut dia sudah ngambil kedudukannya kemudian dia bakal nyari pembenaran untuk berbuat curang.

Yaaa mirip-mirip ibu domba di film Zootopia. Gue lupa namanya. Nah si domba ini pengen jadi walikota. Tapi dia nggak bisa jadi walikota karena belum punya kualitas ke arah sana, eh dia malah nuduh orang lain mendiskriminasi dia. Akhirnya dia bikin konspirasi buat menjadi walikota dengan cara kotor.

Buat gue, pecundang yang menang dengan cara curang sama sekali nggak punya kemampuan apapun selain menipu diri sendiri.

Dalam hidup itu nggak ada yang instan. Nggak ada jalan cepat menuju sukses. Kalo lo pengen sukses itu belajar dan bekerja keras. Bukan malah duduk dan berhalusinasi seolah pesawat lo udah nyampe ke bulan.

Hari ini banyak orang berhalusinasi. Kualitasnya masih kelas teri tapi bercerita berbusa-busa seolah dia udah berada di kelas kakap. Kalo gue di posisi dia sih, teri ya teri aja. Gue nggak malu kok jadi teri. Yang penting gue in progress buat menuju kakap. Gue nggak perlu nyeritain berapa IPK gue, apa aja achievement yang gue terima, dan yang lain sebagainya. Kualitas itu ditunjukin dari manner kita. Bukan dari label yang kita sematkan sendiri.

Bukankah langit nggak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi?

Oh ya perkenalkan, gue Alfin.

Orang yang selalu skeptis dengan statistik dan nggak pernah percaya sama motivator.

Selamat malam

Serial WarnaWhere stories live. Discover now