Kota

47 4 0
                                    

Bintang

Setiap berdiri di balkon apartemen dan menyaksikan kerlip lampu di jalanan jam 12 malam, selalu ada rasa trenyuh. Betapa penduduk kota ini selalu sibuk, tidak pernah tidur. Trenyuh andaikata kesibukan-kesibukan itu hanya berujung pada harta, dunia dan kebanggan yang sebenarnya fana. Dan mungkin rasa trenyuh itu bisa menjadi haru bila ternyata kesibukan itu berujung pada kebaikan.

Yang gue syukuri di kota ini adalah sumber daya yang melimpah. Di kota, manusia bisa mengakses banyak sumber daya. Teknologi, pengetahuan, jaringan, semuanya ada di kota. Hal ini yang sebenernya ngebuat gue bertahan di sini. Meski dalam waktu-waktu tertentu, gue sering merindukan kampung halaman. Rindu yang dalam dan tak terobati oleh apapun.

Gue lahir dan besar di desa dengan budaya khas orang desa yang santai, nerimo ing pandum, dan nggak punya ambisi mengejar apapun. Bukan karena kami pemalas atau tidak mencintai kenyamanan. Tapi standar kehidupan kami berbeda.

"Memangnya muslim nggak boleh kaya yah?"

"Boleh. Tapi prioritas pertama, seorang muslim harus kaya ilmu"

Maka kami hidup dengan realita kami sendiri. Pagi ke ladang, siang ke sekolah. Ba'da ashar kami pergi ke surau untuk mengaji hingga lepas isya. Kami mengaji tentang aqidah, bahasa arab, fiqih dan shirah.

Jangan ditanya pergi ke sekolah jam berapa dan pulang jam berapa. Kami hidup bukan dengan satuan jam. Melainkan satuan waktu yang lain. Pergi ke ladang ba'da shubuh, pergi ke sekolah ba'da dzuhur, ke TPQ ba'da ashar hingga ba'da isya.

Peradaban kami tidak tertinggal dan kami sama sekali tidak tergesa-gesa. Kami menikmati hangatnya nasi putih, tempe goreng dan sambal terasi. Kadang ditambah ikan asin, dadar jagung, telur dadar, petai atau ikan wader. Kami tak mengenal sushi, burger atau apalah itu.

Pengeluaran kami pun bukan lagi dalam satuan uang. Kami tidak pernah menghitung apa yang kami berikan untuk tetangga. Terkadang bila tetangga kami ada yang tidak mampu untuk membeli makan, kami bergantian untuk saling menanggung satu sama lain. Sederhana, bermanfaat dan tanpa tergesa-gesa.

Hari ini, sepuluh tahun berlalu dan gue merasa berpindah alam. Di Jakarta yang semua serba sulit, serba panas, serba cepat dan kompetisi yang berlebihan. Bukan berarti tak ada kebaikan di sini. Tapi untuk menjadi zuhud, untuk menjadi sabar, untuk tetap mentarbiyah diri sendiri benar-benar berat.

Ketika gue kecil, gue diajari untuk menghormati semua orang, gue diajari untuk mencintai ulama. Tapi standar hidup orang kota kian berwarna. Di sini, orang dihormati karena harta dan jabatan. Ulama banyak dihina oleh orang jahil.

Dan gue, selalu nggak rela bila harus mengubah standar.

Ada masanya, gue pengen kembali ke desa. Jadi petani, ternak sapi, ngajar ngaji. Hidup dengan sederhana, nggak neko-neko seperti hidup generasi milenial yang kalo nggak travelling, nggak makan di cafe mahal berarti nggak kekinian.

Gue muak sama orang-orang yang hanya untuk dianggap smart harus lebih dulu menghina keyakinan orang lain. Harus berpura-pura bersikap netral, tapi di belakang, kalimatnya justeru menusuk saudaranya sendiri.

Di kota ini, masih banyak orang yang malang, tidak sempat banyak belajar. Tidak mengerti bagaimana hakikat hidup. Pada akhirnya, mereka makan apapun yang mereka mau. Tak peduli halal dan haram. Mereka bicara apapun yang mereka ingin bicarakan, tak peduli benar atau salah.

*

"Lama-lama negatif thinking lo ketularan Alfin, Tang"

"Yaaa, hati gue nggak semurni lo Cak"

"Iya. Soalnya gue dosen yang makan dari kerja gue ngedidik anak orang. Terus lo jurnalis yang makan dari gaji lo buat fitnah orang lain?"

"Lo jadi dosen juga sering gabut Cak. Gaji lo ga barokah"

"Paling barokah penghasilan gue ya. Dari bisnis gue sendiri. Yang dijual halal, cara dapetinnya juga halal"

"Tapi lo nyimpen duit lo di bank fin. Riba wkwkwk"

*

Hari ini kita menertawakan kondisi kita yang serba tidak ideal. Tapi Bintang, dalam segala ke-tidakideal-an ini, semoga kamu bisa memaknai sebagai ladang amal.

Kota yang kamu benci mungkin penuh hal yang memuakkan, anggaplah itu isyarat dari Allah agar orang-orang seperti kamu, bisa menjernihkan. Kamu wartawan, Bintang. Kamu memahami bagaimana membentuk opini publik, bagaimana pelan-pelan menanamkan pikiran kebaikan di kepala manusia.

Bisa jadi, itulah salah satu hikmah kenapa kamu ditakdirkan berdiri di sini. Agar kamu semakin faham kondisi dan bisa memberikan sebaik-baik kontribusi.

Nikmati saja.

Serial WarnaWhere stories live. Discover now