Gadis bernama Daniar

16 1 0
                                    

Seorang gadis berperawakan ramping tak memiliki bayangan sama sekali akan memiliki selayak-layaknya apa yang disebut dengan teman. Teman adalah hal yang asing. Tak pernah ia memikirkan jauh ke sana. Yang ia tahu, usai dinyatakan diterima di Sekolah Menengah Atas adalah bagaimana cara agar ibunya tak merasa terbebani. Di depan wajah kecilnya, tentu ibunya mengobarkan semangat menempuh pendidikan. Ia tahu hanya dengan melihat bagaimana ibunya berbicara begitu sambil mengusap-usap telapak tangan kasar entah sudah berapa ribu pakaian yang dicucinya, sebuah duka tersimpan di sana. Sepuluh tahun lebih sudah, gadis kecil itu sangat merasakan penderitaan rasanya ditinggal orang tercinta. Hal yang membuatnya lebih pedih adalah bagaimana ibunya menanggung tanggung jawab untuk membesarkan ketiga anaknya. Bukannya mudah, dulu saat dirinya masih lima tahun, tahun dimana ayahnya meninggalkan dunia fana adalah yang terburuk. Isak tangis malam adalah apa yang ia dengar sementara ia berpura-pura tidur di samping dua adik kembarnya. Tak akan cukup sehari dua hari hingga tangisan itu pudar. Sekarang, karena merasa ia sudah besar, tak ada alasan untuk menambah penderitaan ibunya. Gadis itu, Daniar Vega, sudah berjanji dalam hatinya.

Kali ini, apa yang terjadi pada kehidupannya adalah sebuah keajaiban. Saat hari itu pada acara penutupan masa orientasi sekolah, ia terbata-bata mengeluarkan sebuah pendapat karena akhirnya ada yang bertanya padanya! mungkin Sekolah Menengah Atas akan membawa kesan baik, pikirnya. Daniar selalu mendapati perlakuan tak mengenakkan semenjak Sekolah Dasar. Ya, ia tahu satu tahun sudah kala itu tidak ada sosok ayah di sampingnya. Merasa sedih karena teman-teman lain memiliki orang tua utuh adalah hal lain. Masalahnya, ia dijauhi hanya karena ia merupakan anak dari keluarga yang tak berkecukupan! Cemoohan dan cibiran sudah menjadi hal yang biasa didengarnya dari anak-anak gedongan. Beberapa anak gedongan dari kelasnya malah ikut memanas-manasi golongan anak ekonomi menengah untuk tak berada di dekatnya. Dari kecil sudah memandang kasta, besarnya ingin jadi apa nanti, Daniar makin kesal setelah mengingatnya lagi. Buruknya lagi, saat Daniar mengadu pada guru tentang perkataan yang menghujam hati dari anak-anak gedongan itu, ia hanya memalingkan muka.

“Mereka cuma main-main sama kamu, kok.”

Setelah berkata begitu, guru itu berlalu dari hadapannya dan bergabung bersama ibu-ibu anak gedongan yang hendak menjemput anak mereka sambil cekikikan membicarakan gelang emas modell terbaru yang dipakai Nyonya kayu jati. Sebutan yang agak memaksa seolah semua orang harus tahu kalau suaminya memiliki perusahaan di komoditas itu.

Lalu masa SMP adalah yang terburuk! Tak ada yang lebih buruk rasanya dibanding ia dikucilkan hingga tak memiliki kelompok saat pelajaran Seni Budaya. Tak ada yang lebih buruk bagaimana teman-temannya menertawakannya saat ia bernyanyi sambil memukul gendang sendirian di depan kelas. Mayoritas di kelasnya memakai alat pianika untuk mengambil ujian seni musik. Daniar tak memiliki alat semacam itu, ia sadar. Daniar hanya mengikuti saran dari guru bersangkutan untuk memakai alat seadanya dan lihat apa yang ia dapatkan. Tak lagi buruk, masa SMP adalah yang tersuram. Mereka yang tak punya kuasa dan kepopuleran tak akan berarti apa-apa. Mereka yang sangat pandai dan terampil di berbagai bidang berakhir dimanfaatkan demi mendapat apa yang disebut teman. Daniar sudah terbiasa, ia lebih memilih memandang langit sendirian. Ia lebih suka mengungkapkan sesuatu pada benda mati di sekitar sambil mengucap lirih “Ayah…”

***

Rutinitas pagi kesukaan Daniar adalah saat ia dan ibunya berbincang santai dengan saling membelakangi punggung. Di sebuah ruangan 4x4 m itu ia mengaduk nasi dengan penuh syukur sementara ibunya sibuk memasukkan pakaian demi pakaian ke dalam sebuah mesin cuci. Masih baru, Daniar tahu betul bagaimana ibunya berbinar-binar memandangi mesin cuci itu. Bukan tanpa perjuangan, meski hanya satu buah tapi ibunya yakin bisa memilikinya lagi beberapa. Berawal dari pekerjaan buruh mencuci, bukan tak mungkin nantinya akan berkembang menjadi usaha laundry yang dipelopori ibunya sendiri. Tangan yang kasar dan beberapa mengelupas itu harus terbayarkan. Betapa ibunya adalah alasan bagi Daniar untuk tetap bertahan di tengah kejamnya pandangan orang-orang di sekolahnya. Daniar ingin bekerja pada awalnya, tentu saja berakhir dengan tentangan ibunya. Daniar tak ingin lagi membantah hingga saat ini.

Rutinitas lain yang membuatnya jengkel sekaligus menggelikan adalah momen ketika Daniar membangunkan kedua adik kembarnya, Ezra dan Ekra. Bocah terpaut empat tahun dengan dirinya itu selalu saja bertingkah di luar dugaan. Baru saja ia melihat dua insan itu bergumul dengan selimut tipis, sekembalinya dari dapur mereka lenyap tak ada tanda-tanda dari tempatnya semula.  Tak berselang lama, kedua bocah itu muncul membuatnya di belakangnya membuat terkejut setengah mati.

"Mbak, mau bangunin Ezra, ya? Gak usah, Ezra udah kelas lima sekarang. Udah bisa bangun sendiri."

"Bohong, Mbak. Tadi Ekra yang bangunin Ezra."

"Ssshh...mulai sekarang kalian harus saling bangunin. Kalo nanti gak bangun sendiri, Mbak sama ibu kunci kalian dari luar."

"Ampun, Mbak."

Lalu kedua bocah itu lari terbirit-birit sambil menenteng handuknya.  

Selesai dengan segala persiapan, dalam hal ini ia sudah menunaikan tugasnya membuat sarapan- bukan sarapan serupa roti dengan selai karena keluarga kecil itu penuh rasa syukur hanya dengan memasak sayur dan nasi seutuhnya, Daniar akan menasehati kedua adiknya sebelum akhirnya masing-masing pergi ke sekolah. Ezra dan Ekra bersekolah di Sekolah Dasar tempatnya dulu sekolah. Daniar yang masih menyimpan kekhawatiran akan kehidupan sekolah kedua adiknya patut bersyukur kali ini. Lihat, tak ada sekolah yang membuat pengaruh buruk, sesuatu yang disebut manusialah yang menyebabkan pengalaman buruk terjadi padanya. Ezra dan Ekra anak yang ceria, memang sudah seharusnya mereka mendapatkan layaknya seorang teman. Apa yang terjadi pada Daniar hanyalah permainan nasib, ia sudah berlapang dada akan hal itu.

Trauma akan berteman akan tak akan mudah dihapuskan begitu saja, tapi ia ingin. Apa yang akan terjadi di sekolah barunya hari ini akan menentukan semuanya. Daniar amat berharap, setelah mengingat hari kemarin ada seseorang yang membuatnya ingin mengenal lebih dekat. Orang itu yang pertama kali menanyakan sebuah pendapat padanya, orang yang pertama kali menatap matanya lebih lama dibanding tatapan seorang guru SMP yang menanyakan kapankah ia akan melunasi uang bulanannya. Orang seperti itu ternyata nyata. Setiap mengingatnya Daniar jadi berkeringat dingin. Tak masalah siapakah ia sebenarnya, Daniar ingin orang seperti itu menjadi temannya. Meski Daniar tak tahu bagaimana caranya berteman, sepanjang perjalanan dalam angkutan umum ia selalu manggumamkan doa, berharap sebuah keajaiban terjadi. Tak muluk-muluk kok, karena kemarin bibirnya susah sekali mengatakan walau kalimat "sampai jumpa" saja pada orang itu, semoga hari ini ia bisa mengatakan "selamat pagi". Ya, mungkin itu salah satu cara untuk memulai pertemanan bagi seorang gadis bernama Daniar.

Summer Triangle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang