Sebuah percakapan

8 1 0
                                    

Penutupan masa orientasi menjadi penentu di kelas mana dan dengan siapa murid baru akan duduk di bangku selama tiga tahun lamanya. Tak seperti kebanyakan sekolah lain, dalam setiap tahun tak ada pengacakan kelas yang sudah disusun sedemikian rupa. Barangkali menurut Daniar, sekolah tak mau repot-repot kerja dua kali untuk itu. Daniar semakin sumringah, ia hanya perlu beradaptasi sekali saja karena itu, langkahnya semakin mantap untuk menemukan seorang teman. Tak berlangsung lama rasa percaya diri menghinggapinya, sebuah senggolan lumayan keras mengenai pundaknya. Daniar yang semula menunduk bermain mata untuk melihat siapa yang melakukannya.

"Oh my...maaf gak sengaja, Miss gendang?"

Daniar tak bisa berkata apa-apa, perempuan pelaku penyenggolan itu kemudian berlalu menghampiri kumpulan orang di depannya sambil berbisik-bisik. Ia lupa, bukan dirinya seorang yang bersekolah di sini. Ada lumayan banyak murid dari SMP-nya yang juga mendaftar ke sini, kumpulan orang di depannya yang sekarang tampak tergelak tawa hanyalah beberapa di antaranya. Rasa takut kini menyergapnya, sekali lagi ia berdoa semoga tak dipertemukan mereka dalam kelas yang sama, entah bagaimanapun cara kerjanya.

Setelah ini, berlindung di bawah pohon adalah pilihan terbaik. Udara musim panas tercium hidungnya, hangat dan familiar setiap ia merasakan detik demi detiknya. Daniar akan menunggu hingga panitia menyerukan untuk membuat barisan dengan kelompoknya. Tugas membuat barisan sangatlah menyenangkan karena Daniar selalu kedapatan berdiri di belakang seorang yang sudah menganggapnya sebagai teman itu. Daniar akan menunggu sembari melihat sekeliling dengan gemetar. Pemandangan di sekitarnya tak ada yang membuatnya tenang, ia selalu merasa takut.

Beberapa orang berkumpul sambil berbincang, seringkali diselingi buncahan tawa. Pikirannya melanglang buana takut-takut mereka menertawakannya seperti yang terjadi di SMP, padahal ia yakin mereka tak mengenalnya. Beberapa orang sendirian seperti dirinya ada yang berdiri dan duduk bermain smartphone-nya. Entah apa yang mereka lihat, lagi-lagi Daniar merasa takut. Terakhir kali di SMP, orang yang melihat smartphone menatap layarnya lebar-lebar sembari tertawa keras lalu menunjuk-nunjuk dirinya. Daniar sama sekali tak tahu kalau waktu itu, aksinya bermain gendang sambil bernyanyi dengan suara parau itu diabadikan dan disebar oleh orang yang kini ia sendiri tak tahu bagaimana wujudnya. Benda bernama smartphone yang mengerikan, Daniar bukannya tak punya benda semacam itu, hanya ia tak tahu ingin melakukan apa selain menggunakannya untuk keperluan tugas. Mengingat smartphone yang ia punyai sekarang, ia kemudian teringat seseorang yang begitu baik hati. Tanpanya Daniar mungkin tak pernah merasakan kemajuan teknologi, maka Daniar berusaha untuk memanfaatkannya sebaik mungkin.

Nyatanya hingga panitia mengumpulkan murid baru di lapangan, Daniar tak melihat sosoknya. Sosok yang berdiri di depannya bukanlah orang itu. Hingga panitia mengumumkan pembagian kelas, ia masih belum melihatnya. Tolonglah, bahkan namanya saja Daniar tak tahu. Papan nama kecil yang terpasang di dada kirinya waktu itu terbalik entah karena angin atau apa. Daniar semakin berkeringat dingin, saat memasuki kelas nanti ia tak tahu harus berbuat apa. Ia juga semakin tak yakin kalau ucapan "selamat pagi" akan membantunya mendapatkan seorang teman.

"Dua orang yang terlambat silahkan MAJU KE DEPAN!"

"Ya, kalian yang menyelinap ke barisan segera maju ke depan! Tak ada barisan untuk orang yang tak disiplin!"

Sontak perkataan panitia itu membuat hampir seluruh murid mencari-cari siapakah yang terlambat itu. Dua orang itu sangat malang nasibnya, paling tidak mereka akan disuruh membersihkan sampah di seluruh sudut sekolah sebelum diampuni kesalahannya. Daniar awalnya tak peduli hingga dua orang itu menampakkan batang hidungnya di depan lapangan, mendadak jadi pusat perhatian.

Selama ini Daniar berpikir jika ada macam anak yang tak disiplin waktu adalah anak nakal. Penat mata mencari-cari sosok yang ia cari, kini orang itu sedang berdiri kikuk di hadapan seluruh murid baru. Daniar mengerjap, orang itu- ah andai ia tahu siapa namanya, mungkin saja memiliki sedikit masalah hingga membuat dirinya terlambat. Ya, ada banyak alasan untuk terlambat meski Daniar jarang melakukannya. Hanya sekali waktu itu saat salah satu anak di kelasnya menyenggol dan membuatnya jatuh di tanah basah. Butuh waktu lumayan lama untuk membuat seragamnya tak meninggalkan noda tebal.

Summer Triangle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang