Kemenangan pertama

6 1 0
                                    

Untuk pertama kali dalam hidupnya, telepon genggam yang Daniar punya berfungsi layaknya orang lain miliki. Dulu sekali, ia bahkan tak berniat memiliki benda itu kalau bukan karena keluh kesah guru SMP-nya. Seringkali sebuah tugas yang diberikan menggunakan media tersebut saat di kelas. Daniar harap-harap pelajaran segera berlalu melihat bagaimana pasang mata melihatnya dengan jengkel. Tak ada teman yang meminjamkan benda itu tanpa pandangan jengkel, paling tidak ia menggerutu pada teman sebangkunya bahkan mengadu kepada guru betapa terganggunya ia. Sayangnya guru yang Daniar dapat serupa guru menyebalkan saat Sekolah Dasar. Hampir saja masalah itu menyeret ibunya kalau Daniar tak cepat-cepat bertindak.

"Guru-guru lain juga mengaku kesulitan. Daniar, sekolah tak mau menanggung risiko kalau kamu tak naik kelas nantinya. Sekolah ingin kita mengikuti kemajuan Teknologi, jadi harap seluruh siswa mendukungnya. Kamu ingat cuma kamu sendiri yang tak tahu imbauan memakai baju merah saat perayaan kemerdekaan? Gara-gara itu kelas kamu gagal menyabet juara kekompakan, Kan? Dan itu tak terjadi kalau setidaknya punya alat komunikasi. Itu hanya salah satu, masih banyak masalah lainnya. Jadi, bagaimana? Perlu ibu panggil orang tuamu? Setidaknya akan ibu pertimbangkan alasannya jika orang tuamu yang berbicara."

Seketika Daniar benci berdiam diri setelah mendengar perkataan yang agak menyakitkan itu. Tak akan ia biarkan ibunya juga mendengar perkataan itu nantinya. Daniar hanya bisa menguatkan bahu, lalu berpura-pura berdehem sebelum akhirnya ia berani bicara.

"Jangan, Bu. Ya, Daniar akan usahakan tak menyusahkan teman-teman lagi. Secepatnya Daniar akan punya smartphone seperti yang diinginkan sekolah."

Perih yang ia rasakan setelah keluar dari ruang guru. Tapi rupanya, di antara banyaknya guru, ada satu guru yang Daniar tak akan lupa kebaikannya. Ia, guru yang pertama kali memuji lukisan tangannya kala ia sedang melukis di samping pilar perpustakaan. Ia, guru yang pernah mengantarnya pulang saat keadaan hampir larut karena mempersiapkan perlombaan menghias kelas. Percakapan Daniar dengan seorang wali kelas di dengar oleh seorang guru tersebut. Ia begitu baik sampai-sampai mau membelikannya smartphone. Ini sungguh alasan Daniar untuk bertahan sampai lulus dan tak mengecewakannya. Sayangnya, sehari setelah Daniar begitu bersyukur karena telah dibelikan smartphone, guru berhati malaikat itu tak terlihat sosoknya di sekolah. Ia pindah tugas, entah di sekolah mana. Saat itu rasanya seperti Daniar kehilangan sosok berharga, bahkan belum cukup ia berterima kasih padanya.

***

Siang ini Daniar begitu menikmati obrolan dalam grup online. Begitu lama ia dibuat tertawa karena beberapa obrolan dengan Fathur dan Dio, Ezra dan Ekra menatapnya dengan sebal.

"Mbak, bukannya mbak katanya harus mengantar baju? Sekarang kan waktunya Ezra buat main."

"Iya, Mbak. Ayo pinjamin HP-nya, Ekra mau selesaiin game dinosaurus level 70."

"Kalian jangan kebanyakan main game begitu, ah."

"Loh, Ezra udah kerjain PR, kok.  Tadi mbak kenapa senyum-senyum terus?"

Daniar menyudahi kegiatannya berbalas pesan lalu menyerahkan smartphone pada dua adiknya. Mereka begitu senang hingga berebutan, tapi setelah melihat pelototannya, mereka tak lagi berebut dan membuat kesepakatan siapa dulu yang akan bermain. Setelah mengacak rambut Ezra karena gemas, Daniar menuju ruang belakang untuk menemui ibunya.

"Daniar, syukur sekali banyak pelanggan kita kali ini. Tak apa-apa kamu antar baju-baju ini sendirian?"

"Daniar banyak waktu luang, Bu. Ibu juga harus istirahat, Kan?"

Dibawanya dua kantong besar plastik merah, wewangian bunga tercium dari sana. Untuk memuaskan pelanggan, ibunya berkali-kali mendapat kritikan sebelum akhirnya banyak pelanggan yang memercayainya dari mulut ke mulut.

Summer Triangle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang