Keputusan

32 4 2
                                    

Aku mendapat kabar bahwa Inoo-san sudah selesai berpuasa dan sedang mengambil 2 hari cuti untuk merayakan Idul Fitri. Dengar-dengar juga Arioka-san dan yang lainnya ingin mengunjungi Inoo-san saat weekend untuk bersilaturahmi. Tentu saja mereka mengajakku, kalau tidak aku tidak akan tau.

Ini baru hari pertama Inoo-san cuti namun aku merasa kantor sangat sepi tanpanya. Biasanya saat weekend aku sering berbalas pesan atau menelfonnya. Namun karena ini merupakan hari besar baginya, aku segan untuk menghubunginya. Bagaimana kalau dia sibuk? Pasti akan merasa terganggu menerima pesanku.

Aku jadi mengingat-ingat bagaimana bisa dekat dengannya sebulan ini. Berawal dari penasaran, tertarik, sampai ingin mengenalnya lebih jauh. Aku bahkan tidak mengira bisa sedekat ini dengannya. Apalagi bisa menginap hingga sahur bersama. Aku bisa membayangkan betapa harmonisnya keluarga kami kelak.

Keluarga? Apakah aku sudah berpikir sejauh itu? Sejujurnya iya. Aku sering mengobrol dengannya dan tentu saja aku yang serba penasaran ini juga menanyakan mengenai keyakinannya. Kenapa dan bagaimana ia masuk islam. Tentu saja aku pun mencari tau tentang agama ini disela-sela jam kerjaku.

Setelah mempelajari tentang islam, aku mulai mengerti kenapa Inoo-san memilih agama ini. Kenapa Inoo-san terlihat begitu sopan, tenang, dan damai. Aku pun mengerti kenapa Inoo-san tidak ingin berpacaran. Aku mulai mengetahui banyak hal sedikit demi sedikit.

Karena terlalu bosan, aku mengambil Hpku. Aku ingin mengunjungi rumah Inoo-san sendiri sebelum bersama dengan yang lain. Mungkin saja aku bisa bertemu dengan calon mertu-maksudku orang tua Inoo-san. Apakah mereka merayakan Idul fitri juga?

Setelah mengirim pesan, aku kembali mengerjakan pekerjaanku. Tidak sampai 5 menit, aku mendapat balasan dari Inoo-san. Ia mengatakan bahwa aku bisa datang sepulang kerja. Aku hampir melompat kegirangan bila aku tidak sadar aku sedang di kantor. Yang pasti, aku bisa bertemu Inoo-san hari ini.

~

Aku menyemprotkan parfum dan merapikan pakaianku. Tidak lupa menyisir rambutku juga. Aku tidak tau siapa saja yang berada di rumah Inoo-san, jadi aku harus rapi. Kesan pertama itu penting, apalagi di hadapan keluarganya. Begitu siap, aku keluar dari mobil dan memencet bel rumah Inoo-san.

"Ah! Nakajima-san! Ayo masuk!" aku terpana melihat penampilan Inoo-san di depanku. Pakaian dan make upnya terlihat lebih elegan dari biasanya. aku sampai lupa bernapas karenanya.

"Pe-permisi~" aku pun langsung masuk ke rumahnya. Ia membawaku ke ruang tamunya dan terlihat ada beberapa, bukan, banyak orang. Sepertinya keluarga besarnya.

"Wah~ pria tampan darimana ini? Pacarmu, Kei?

"Bukan! Ini teman kerjaku, Nakajima Yuto-san"

"Tampan sekali! Apa sudah punya pacar? Apa mau dengan Kei kami?"

"Mama!"

Aku terkekeh melihat keluarga yang seru ini. Aku bisa melihat betapa saling menghormati dan terbukanya keluarga ini. Inoo-san mempersilkanku duduk diantara mereka dan mereka berkenalan denganku satu per satu. Benar saja, mereka adalah keluarga besar Inoo-san yang terdiri dari orang tua, adik, om-tante, dan sepupunya. Aku jadi merindukan keluarga besarku juga.

"Nakajima-san kenapa ke sini sendiri?" tanya Inoo-san seraya duduk di sampingku.

"Ya... hanya ingin menjadi orang pertama yang mengunjungi Inoo-san saja" aku menunduk dengan wajah yang memerah. sepertinya ia pun malu karena jawabanku.

"Kei~ ajak Nakajima-san makan malam. Makan malamnya sudah siap!" aku bisa mendengar suara Ibu Inoo-san dari dapur. Inoo-san pun mengajakku untuk makan malam. Tentu saja aku tidak menolak.

~

Tidak hanya suasana yang nyaman, makan malamnya pun juga enak. Sekarang aku tau dari siapa Inoo-san mendapat bakat memasaknya. Tentu saja dari Ibunya. Selagi keluarga besarnya bercengkrama sambil menonton TV di ruang tamu, aku membantu Inoo-san mencuci piring. Sebenarnya ini modusku untuk bisa berduaan dengannya juga.

"Nakajima-san, sudah aku bilang tidak perlu membantu khan? Aku jadi merasa tidak enak karena Nakajima-san adalah tamu" omelnya.

"Tidak masalah, Inoo-san. Lagipula aku jadi bisa mengobrol berdua dengan Inoo-san" ucapku jujur.

"Bukannya kita sering mengobrol berdua?" ucapnya.

"Ya... sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan..." sepertinya sudah saatnya.

"Apakah tentang pekerjaan?"

"Bukan... tentang... kita..." seketika aku gugup.

"Kita?" Inoo-san melihat ke arahku dan mengedipkan matanya beberapa kali. Aku menjadi semakin gugup.

"Apa boleh aku memiliki perasaan pada Inoo-san? A-aku tidak berharap menjadi pacar Inoo-san. Namun... aku ingin menjalani hubungan yang serius..." aku mengutarakan perasaanku. Inoo-san terdiam sambil menatapku. sepertinya ia kaget akan perasaanku yang tiba-tiba ini.

"Te-tentu saja aku mengajak untuk serius bukan tanpa pertimbangan. Aku sudah berpikir untuk masuk islam juga bila Inoo-san setuju dan memiliki perasaan yang sama denganku"

Aku tidak mau menyangkal perasaanku lagi. Aku sadar bahwa perlahan aku jatuh cinta padanya. Namun, aku tidak mau jatuh terlalu dalam, bisa saja ia tidak bisa membalas perasaanku. Pasti kami berdua akan sama-sama canggung dan orang kantor akan menggosipi kami lagi. Walaupun aku sudah terbiasa akan hal itu.

Tiba-tiba Inoo-san tersenyum. Muncul tanda tanya di kepalaku. Apakah Inoo-san menganggap aku hanya bercanda? Aku memang sering bercanda dengannya, namun kali ini aku serius.

"Terima kasih, Nakajima-san. Sejujurnya aku juga memiliki perasaan yang sama. Namun, aku tidak ingin Nakajima-san masuk islam karena aku" ucapnya.

"Ja-jadi?"

"Aku ingin Nakajima-san masuk islam karena keinginan Nakajima-san sendiri. Bahwa Nakajima-san telah menemukan apa yang Nakajima-san cari. Keinginan yang berasal dari hati" Inoo-san menatap mataku sambil meletakkan telapak tangannya di jantungku. Aku yakin ia bisa merasakan betapa cepatnya jantungku berdegup. Namun, aku mengerti apa yang ia maksud.

~

5 tahun kemudian

"Yuki! Jangan lari-lari seperti itu sayang~"

"Papa!" seorang anak berumur 3 tahun menghambur ke pelukanku saat aku baru pulang dari luar kota karena urusan pekerjaan.

"Yuki sayang! Papa rindu sekali~" ucapku sambil mencium pipi anakku yang bernama Yuki.

"Jadi cuma rindu sama Yuki saja?" seorang wanita cantik berdiri di depan pintu sambil melipat tangannya dan pura-pura cemberut.

"Tidak mungkin aku tidak rindu pada istriku yang cantik ini. Kemari Kei~" istriku yang tak lain dan tak bukan adalah Inoo Kei, terkekeh dan memelukku. Tidak lupa memberikan kecupan manis di bibirku.

Setelah aku mengutarakan perasaanku malam itu, aku mempelajari islam lebih dalam. Tentu saja bila ada yang tidak aku mengerti, aku menanayakannya pada Kei. Ia juga mengenalkanku pada ustadz dan istrinya yang waktu itu membimbingnya saat ia baru masuk islam.

Kei bilang ia ingin aku masuk islam karena keinginanku sendiri. Setelah aku merasa menemukan sesuatu yang aku cari, aku memantapkan diriku untuk masuk islam di hadapan Kei dan beberapa orang. Tidak lama setelahnya, aku melamar Kei dan kami menikah. Seperti yang aku bayangkan selama ini, kami memiliki keluarga yang harmonis dan dikaruniai seorang anak perempuan yang lucu.

Cinta pada pandangan pertama? Aku tak mempercayainya. Namun rasa penasaran, ketertarikan, dan pendekatanlah yang aku percaya. Dan aku tidak tau bagaimana kehidupanku sekarang bila tidak bertemu dengan Kei. Sepertinya kami memang telah ditakdirkan untuk bersama.


~ Owari ~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Takdir RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang