Aku tak menyangka bahwa hari ini, aku dan Pak Adnan pergi berdua. Ya, tak aku pungkiri jika kami berjalan bersama banyak pasang mata yang menatap tajam. Mungkin mereka berpikir bahwa aku simpanan pria ini. Tapi aku tak peduli, karena aku nyaman berada di sisinya, biarlah mereka menilai seperti itu. Karena yang tahu hanya kami. Aku tidak bisa menutup mulut mereka satu per satu, tetapi aku bisa menutup telinga dari ulah mereka.
Ya, hidup se-simple itu.
Setelah kondisiku lumayan pulih, aku memilih untuk menghubungi Pak Adnan. Mana bisa aku mencarinya dengan berkeliling disini, karena tempat ini cukup luas.
"Halo Pak, Bapak dimana?" Suara nafas beraturan yang dapat aku dengar, dia tidak mengeluarkan suara apapun.
"Bapak! Jangan kaya gini. Bapak dimana?"
"Coba kamu melihat ke arah jam dua belas dari posisimu." Katanya. Setelah mengikuti arahan Pak Adnan, aku melihat dia berdiri dengan berkacak pinggang khas pejabat. Lebih baik aku mendekatinya, dari pada urusan panjang.
"Bapak, kenapa ninggalin saya sih."
"Salah kamu." Jawabnya singkat.
"Yasudah, saya minta maaf. Kalau boleh tahu salah saya dimana?"
"Pikir saja sendiri," tarik nafas Nisa, kamu harus kuat menghadapi bapak- bapak lagi PMS kayak gini. Lebih baik aku mengalah, "iya saya tidak akan menaiki wahana itu. Sudah ah jangan ngambek, nanti cepat tua."
"Saya memang sudah tua."
"Iya, tapi kalau tambah tua gimana? Nanti gantengnya hilang." Godaku, rona merah menghiasi wajahnya yang putih. Lengkungan bibirnya muncul seiring dengan suara tawa yang menglegar.
"Kan biar kamu tidak berpikir saya akan selingkuh kalau saya jelek dan tua."
"Bapak, bisa saja."
Aku menetralkan degub jantung yang sudah berdetak tak karuan akibat ulah bapak-bapak ini. Hingga suara deheman yang aku dengar, "Ekhm, saya ingin jujur. Tapi kamu boleh jawab sekarang atau kapanpun. Terserah kamu saja.""Bapak mau bicara apa?"
Dia menarik nafas dalam, "begini, saya sudah bicara dengan Papa kamu mengenai hal ini. Dan Papa kamu mengatakan jika terserah kamu ... kita sudah saling mengenal, dan saya sendiri merasa begitu nyaman. Saya akui saya egois, tetapi saya cukup tahu mana yang terbaik buat saya tak terkecuali di hubungan ini. Saya ingin serius dengan kamu, bukan pacaran kaya anak muda karena saya sudah terlalu tua untuk hal itu. Saya hanya ingin menikah dengan kamu. Maukah kamu menjadi teman hidup saya, mengisi kekosongan yang sudah lama saya rasakan?"
Jujur ungkapan ini terlalu dini untuk aku tanggapi. Memang sejak kami dekat, Pak Adnan tidak pernah mengatakan perasaannya. Tetapi tingkahnya menunjukkan bahwa ia menaruh perhatian lebih terhadapku. Saat di kelas ia akan curi-curi pandang, meskipun kami setiap hari berangkat bersama.
"Nisa, ayo coba jelaskan di depan mengenai bab dua neraca panas." Aku yang sibuk dengan ponsel sontak mendongak dan gelagapan. Dari awal perkuliahan ini aku memang tidak memperhatikan, bagaimana aku harus menjelaskannya?
"Ekhm, panas yang masuk sama dengan panas yang keluar." Jawabku singkat, aku juga bingung harus menjelaskan apa.
"Besuk jangan mainan ponsel, kalau tidak kamu harus buat artikel lima lembar." Dari situ aku sudah menghilangkan kebiasaan bermain ponsel di dalam kelas. Intinya, banyak hal yang tak terduga mengisi hidupku setelah bertemu Pak Adnan. Dan sekarang, Pak Adnan mengungkapkan perasaannya?
Pikiranku berkecamuk untuk menjawabnya antara menerima atau menolak. "Emm, Bapak tidak salah, kan? Maksud saya Bapak sudah menaruh hati terhadap saya?" Tanyaku gugup.
Dia mengangguk, "sejak pertama bertemu saat syukuran di rumah saya. Waktu itu saya merasakan rasa yang sudah lama tidak saya rasakan. Dan saya berusaha untuk mendekatimu, dan hasilnya kita dekat. Tapi saya bukan lelaki yang tidak bertanggungjawab, saya beranikan berbicara dengan Papa kamu, dan ya, beliau setuju dengan catatan kamu juga menyetujuinya." Jelasnya panjang lebar. Aku juga tidak menemukan keraguan di wajahnya, seolah ini sudah terencana.
Kenapa Papa tidak pernah bicara akan hal ini?
Menghela nafas, aku masih membutuhkan waktu untuk berpikir. "Bukannya saya menolak, tetapi saya ingin berpikir terlebih dahulu ya, Pak. Bagaimanapun Bapak dosen saya, status kita berbeda. Selain itu banyak hal yang menjadi pertimbangan untuk melanjutkan hubungan ini."
Pak Adnan menggenggam tanganku, menatap wajahku tajam. "Jangan berpikir seperti itu. Saya tahu saya dosen tetapi di lain sisi saya ingin di nilai sebagai lelaki biasa yang sedang memperjuangkan wanita yang saya cintai."
"Iya, saya tahu."
"Bagus, kalau begitu saya akan menunggu jawaban kamu. Kalau saya bisa memilih jangan terlalu lama kamu gantung status saya. Sekarang ayo kita lanjut ke tempat yang lain." Dia tetap menggenggam tanganku, tidak memperdulikan pandangan orang yang menatap kami heran.
Kami tetap menikmati hari ini dengan senyum gembira, meskipun Pak Adnan kaku tetapi ia mampu membuatku tersenyum dengan canda tawanya bahkan sesekali kepeduliannya membuatku malu.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Beda Usia ✔ (KBM & KARYAKARSA)
RomanceCerita ini dianjutkan di KBM APP "Terkadang pria dewasa akan sangat susah membedakan mana cinta dengan obsesi. Dan sekarang saya merasakan jatuh cinta penuh dengan obsesi. Ya, saya merasakan keduanya." Adnan Khalil Ahmad "Mencintai seorang lelaki ya...