Satu : KENYATAAN PAHIT

115 1 0
                                    

Tahun 1980 di bukit Gombel, kota Semarang.

Kabut terlihat menutupi bukit Gombel ketika matahari belum sepenuhnya terbit. Beberapa warga mulai meninggalkan rumahnya untuk pergi berladang, bercocok tanam, ataupun mengembala hewan ternak mereka. Udara dingin masih menusuk, suasana segar menguar membuat nyaman tidur seorang pria dewasa di atas ranjangnya. Lalu sang istri diam-diam ke toilet dan menutupnya rapat. Wanita tersebut mengeluarkan tes kehamilan dari balik bajunya. Wanita yang bernama Marni itu menatap tes kehamilan itu penuh harap, ini sudah sekian kalinya. Hasil positif yang ia damba, belum juga menjadi kenyataan. Marni segera buang air kecil, menampungnya di wadah kecil, dan terakhir menjelupkan ujung benda tipis itu dalam urine miliknya.

Marni menutup mata, berharap garis dua terlihat. Berkali-kali Marni berdoa dalam hati, namun begitu ia membuka mata, hasilnya membuat ia mendesah kecewa. Cuma garis satu, itu artinya masih negatif. Marni berkaca-kaca, harapannya kali ini hancur kembali.

Pasangan suami-istri—Asnawi dan Marni sudah menginjak sebelas tahun usia pernikahan, namun belum juga dikarunia seorang anak. Berbagai macam cara mereka lakukan untuk mempunyai keturunan, namun sampai detik ini belum juga terwujud. Asnawi sebagai sang suami kerap melakukan apapun yang disarankan untuknya agar sang istri mengandung, tapi lagi-lagi semua usaha tetap nihil hasilnya. Hal itu sangat membuat Marni cemas. Pasalnya ia takut kalau ditinggal suaminya menikah lagi, belum lagi mempunyai keturunan adalah dambaannya sejak belum menikah. Rumah tangga impian Marni akan hancur jikalau itu terjadi.

"Ibu terus saja menanyaiku tentang kehamilanmu. Katanya kapan kita bisa memberikan beliau cucu. Aku sudah bosan untuk mengelak, Marni," ucap Asnawi yang bersandar di sofa untuk merelaksasikan badannya.

Marni yang baru saja menyuguhkan minuman untuk suaminya, lantas menunduk sedih mendengar ucapan itu. Walau sudah sering mendengarnya, tapi tak luput untuk menambah luka hatinya setiap hari.

"Sabar, Mas. Aku juga sangat ingin mempunyai anak. Menimang buah hati sendiri itu impianku. Tapi kalau belum rezeki harus bagaimana? Sang pencipta yang punya kuasa, Mas," sahut Marni.

"Hah, aku tidak tahu lagi harus berkata apa sama ibu nanti. Seminggu lagi ibu dan bapak akan ke sini, otomatis bakal lama bertemu tatap denganku, juga denganmu. Persiapkanlah jawaban yang cocok untuk mereka nanti," sahut Asnawi berlalu begitu saja jadi ruang tengah tanpa menyentuh sedikitpun kopi yang baru saja Marni sajikan.

Marni menitikkan air matanya, hatinya mengkal mendengar semua itu. Ia juga ingin bahagia, tapi kebahagiaan itu sukar untuk ia gapai walau sudah berusaha segiat mungkin. Apa boleh dikata, jika takdir sudah menetapkan dirinya.

"Aku juga ingin punya anak, Mas. Tadi aku tak mampu untuk mewujudkannya," lirih Marni menghapus jejak air matanya yang mengalir deras.

Malam tiba, Marni duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutnya. Dilihatnya suaminya yang tengah memakai baju rapi sambil bersenandung senang. Sejujurnya Marni amat curiga, tapi ia memutuskan untuk mempercayai suaminya itu. Asnawi mengenakan baju terbaiknya yang ia punya, hal itu membuat Marni tak mampu menahan gejolak penasarannya.

"Mas, kamu mau ke mana malam-malam begini?" tanya Marni menatap dari pantulan cermin dengan curiga.

"Ingin ke pasar malam. Ada yang ingin aku beli," sahut Asnawi.

"Kalau begitu, aku ikut. Aku juga ingin membeli sesuatu," sahut Marni beranjak dari kursi.

"Tidak perlu, Marni. Titip sama aku aja, nanti aku beliin," sahut Asnawi cepat.

Marni terdiam, melihat reaksi Asnawi membuat kecurigaannya semakin besar saja. Namun Marni malah mengangguk menyetujui saran suaminya itu.

"Mas, tolong belikan aku buah pisang ya. Pak Dalang masih berjualan di pasar malam."

Urban Misteri : WEWE GOMBELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang