Anisa sedang menerima telepon dari Rasya. Beruntunglah ia memakai kartu perdana yang mampu bertahan, walau cukup jauh dari perkotaan. Sinyalnya yang cukup lancar membuat Anisa terbantu jika rindu pada sang kekasih.
Anisa duduk di sebuah kursi panjang dan lebar di depan rumah. Sesekali ia tertawa mendengar lelucon yang Rasya lontarkan. Tiba-tiba suara panggilan Rahayu dari depan pintu terdengar, merebut atensi Anisa saat itu.
"Anisa! Tolong jaga adikmu dulu ya. Ibu mau ke warung depan siapkan jualan. Awas! Adikmu jangan sampai main jauh-jauh," ucap Rahayu.
Anisa menjauhkan ponsel dari telinganya. "Apa nggak bisa Aan Ibu bawa ke warung aja? Aku bosan jagain dia main terus," protes Anisa.
"Nggak bisa, Nisa. Adikmu susah disuruh berhenti main kalau sudah asik gitu. Lagian Ibu nggak bisa awasi dia kalau lagi jualan. Kita masih baru di sini, Nak. Adikmu mana hapal jalan, takut kesasar. Ibu pergi dulu, ya," usai melontarkan kata-kata itu, Rahayu pergi sambil membawa bahan jualan. Tak lama mbah Kakung keluar dari pintu, melihat ke arah Anisa yang sedang mendumel sambil melanjutkan acara teleponannya.
Kenapa tadi? Ibu kamu, ya?
Iya, Sayang. Ck, aku bete banget deh. Sejak kami pindah ke sini, ibu selalu sibuk dan titipkan Aan ke aku. Aku bisa mati kebosanan kalau cuma nonton dia main.
Kamu yang sabar, ya. Aku janji, nanti kalau liburan bakal berkunjung ke sana bareng Poppy dan Bimbim juga. Jadi kamu bakal senang.
Bener, ya? Aku tunggu loh.
"Anisa," suara serak itu membuat Anisa menoleh. Tampak mbah Kakung berdiri di belakangnya dengan tangan tersimpan ke belakang. Wajahnya terlihat amat serius dan menakutkan bagi Anisa. Anisa yang tergagap langsung memutuskan sambungan teleponnya dengan Rasya.
"Iya, Mbah?"
"Tadi ibumu minta awasi adikmu, kan? Jangan lengah, nanti adikmu main terlalu jauh. Juga, jangan biarkan adikmu main hingga menjelang senja. Kalau sudah sore, lekas ajak adikmu masuk ke dalam rumah. Paham?"
"I-iya, Mbah," sahut Anisa patuh.
Usai memperingati itu, mbah Kakung menjauh berjalan ke arah rumah sebelah. Anisa diam-diam mencibir dari belakang. Baru sehari di sana, ia telah merasa dikekang. Terlebih yang mengekangnya adalah mbah Kakung yang terkenal sarkas dan tegas. Anisa mana berani melawannya.
Sesaat Anisa ingin beranjak, ia tak sengaja melihat ke arah sebuah pohon dekat rumah. Ada seorang pria lusuh memperhatikannya, lalu menatap ke arah Aan juga. Anisa yang merasa takut memilih masuk ke dalam rumah dengan segera, meninggalkan Aan yang tengah asyik bermain.
Sementara itu, Cahyo dan Rahayu tampak sibuk membuat getuk. Ada banyak bahan yang sudah setengah jadi. Rencananya mereka akan mulai berjualan besok pagi saja. Ada beberapa getuk juga yang dijual di depan jalan besar, khusus untuk dijual oleh salah satu warga yang mengambil upah pada mereka.
Tiba-tiba mbah Kakung datang, lalu duduk di kursi.
"Pak, mau getuk?" tawar Rahayu.
Mbah Kakung menggeleng. "Anak bujangmu, Anisa. Selalu peringatkan dia untuk menjaga Aan dengan benar. Jangan legah atau sampai membiarkan Aan main terlalu senja. Bahaya," ujar mbah Kakung.
"Iya, Pak. Begitulah Anisa, susah kalau disuruh jaga adiknya. Kerjaannya waktu di Jakarta mainn terus. Anak muda, Pak," sahut Rahayu.
"Tapi ini di kampung, Yu. Jauh dari kota dan pastinya kebiasaan di sini dan di sana juga beda. Anisa harus membiasakan diri dan mengikuti peraturan kalau ingin hidup tentram," sahut mbah Kakung lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Urban Misteri : WEWE GOMBEL
TerrorKisah dimulai dengan latar belakang Bukit Gombel, Kota Semarang tahun 1980; Pasangan Asnawi dan Marni sudah sebelas tahun menikah tanpa dikaruniai anak. Suatu ketika Asnawi selingkuh dengan sahabat Marni dan memiliki anak. Marni sangat sedih dan han...