Aku memasukkan novel-novelku–yang berada di rak–ke dalam kardus. Tangan kananku mengambil plester, merekatkannya di sepanjang garis terbuka kardus. Setelah mengulangi gerakan itu selama beberapa kali, tangan kiriku meraih gunting, menggunting lembaran tipis plester itu.
Aku menarik napas dalam sebelum mengeluarkannya. Ah, bagaimana aku bisa sampai di sini? Bagaimana hidupku bisa memburuk begini? Sebelumnya situasi tampak cerah dan normal. Masa depanku begitu terjamin. Aku punya segala. Tempat tinggal yang nyaman dan aman, seorang kekasih hidup, dan karir yang sukses.
Hidupku tampak normal di usia dua puluh tahun. Aku memutuskan untuk memberitahukan Arya bahwa aku telah lulus ujian mengemudi.
"Oh." Begitulah reaksinya saat aku menceritakan padanya bagaimana proses berjalannya ujian itu.
"Kamu bahagia untuk aku 'kan?" tanyaku sambil melihat Arya yang tak melepaskan pandangannya pada dawai berbentuk persegi panjang yang dipegangnya.
"Iya. Lo beli mobil nggak?" tanya Arya balik. Matanya sempat melirikku walau untuk sedetik.
"Ah, aku sebenarnya memang sempat melihat-lihat mobil yang dijual," ucapku.
"Lo beli yang mana?"
"Aku belum." Aku mengalihkan pandanganku dari Arya.
"Lo ke sini udah nggak ngasih tahu, lo nggak bawa mobil?" kata Arya, meninggikan suaranya. Pandangannya kini beralih sepenuhnya padaku.
"Aku belum memutuskan. Dan aku sudah memberitahumu lewat WhatsApp. Kamu sudah pula membaca pesan aku," belaku.
"Trus lo mau ngapain ke sini?"
"Hanya ingin menyeritakan kalau aku sudah lulus ujian mengemudi. Aku kira kamu akan bahagia untukku!" Air mata mulai keluar dari pelupuk mataku.
"Gua bakal, kalo seandainya lo beli mobil itu!" balas Arya, masih meninggikan suaranya.
Detik itu juga, petir seakan menyambarku. "Mengapa kamu begitu peduli jika aku membeli mobil atau tidak?" tanyaku, menggunakan punggung tangan kananku untuk menghapus air mata.
"Beli mobil aja susah amat sih? Gua mah bisa kurang dari sehari milih mobil!"
"Aku akan membelinya, pasti itu. Tetapi tidak sekarang, Arya.
"Pokoknya mobil itu penting!"
🌻🌻🌻
Aku mengambil tas belanja bermotif bunga tulip, mengisinya dengan semua bahan makanan yang tersedia di dapurku. Jika dipikir lagi, aku tidak memiliki hubungan yang baik dengan Arya, tidak pernah. Pasti aku yang membayar makanannya, selama dua tahun hubungan kita, hanya empat kali aku pernah mengunjungi rumahnya, Arya pasti mengajakku kencan ke tempat yang mahal dan selalu aku lah yang membayar semuanya.
Klang!
Tak sengaja aku menjatuhkan kaleng kacang merah. Aku menunduk untuk mengambilnya sebelum menaruhnya ke dalam tas belanja. Entah bagaimana cara mendeskripsikan perasaanku begitu menemukan bahwa Arya tampak asyik dengan wanita lain di Lapangan Mancasan–tempat yang dilarang Arya untuk kita berkencan.
Perasaan jijik, marah, kecewa, dihianati, sedih, dan terkejut tercampur aduk menjadi satu adonan utuh. Tanpa berpikir lagi, kakiku bergerak–semakin lama semakin cepat–hingga Arya sudah beberapa langkah di depanku lagi.
"Arya?" panggilku, berusaha untuk mengatur intonasi berbicaraku. Aku menatap manik coklat Arya.
"Amanda? Kenapa lo di sini?" tanya Arya terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forest of Camavé (DISCONTINUED)
Fantasy[DALAM PROSES PENULISAN ULANG] ⚠️W͟a͟r͟n͟i͟n͟g͟: Cᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ sᴀʏᴀ ᴛᴜʟɪs sᴀᴀᴛ sᴀʏᴀ ᴍᴀsɪʜ ʙᴏᴄɪʟ. Kᴇᴄᴜᴀʟɪ ᴋᴀᴍᴜ ɢᴀᴋ ᴋᴇʙᴇʀᴀᴛᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇsᴀʟᴀʜᴀɴ-ᴋᴇsᴀʟᴀʜᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴅɪʙᴜᴀᴛ ᴏʟᴇʜ Fʀᴇʏᴀ Gᴀʏᴀᴛʀɪ ᴅɪ ᴍᴀsᴀ sᴍᴘ, sɪʟᴀʜᴋᴀɴ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ.⚠️ Patah hati, Sunny berniat...