Chap 1

1.1K 98 33
                                    

Takdir dan kehidupan.

Dua hal yang sangat berhubungan. Dimana ada kehidupan, pasti ada takdir yang tertulis di sana. Takdir setiap orang itu berbeda. Tentu saja, berbeda itu menyenangkan bukan? Tapi perlu diingat, kesenangan itu tidak berpihak pada kita.

Mungkin akan menyenangkan bagi yang memainkannya, bukan dengan yang dipermainkan. Ada orang yang beruntung memiliki takdir baik. Seperti punya banyak harta, kesehatan sempurna, mental terjaga, keluarga yang utuh, teman yang banyak, dan sebagainya.

Namun ada juga yang tidak beruntung mendapatkan kehidupan yang bahagia. Tak bisa dihitung berapa banyak manusia di dunia ini yang telah tersakiti oleh takdir. Terkadang takdir memang keterlaluan. Ianya terlalu berlebisaat mempermainkan seseorang hingga tak jarang ada yang menyerah dan memilih menyudahi segala yang ada di dunia ini.

Tak ada yang tahu bagaimana takdir akan berjalan dan kemana tujuannya. Ingin mengubahnya pun tidak mungkin. Manusia itu hanyalah makhluk lemah, sedangkan takdir itu sesuatu yang mutlak. Siapapun tidak bisa mengubahnya kecuali Sang Maha Kuasa.

Dan tugas manusia hanyalah menjalaninya. Entah itu baik atau buruk, tetaplah harus dijalani. Karena sejatinya kehidupan itu seperti roda. Ya, roda yang berputar. Kadangkala kita ada di bawah, ada masanya pula kita berada di atas.

Jadi tak perlu terlalu khawatir. Jangan takut dengan bayangan. Mengakhiri hidup hanyalah untuk orang-orang bodoh, hanya untuk orang bermental pengecut. Mereka yang memilih jalan itu adalah orang-orang yang lemah. Percayalah, semakin berat ujian yang kau hadapi, semakin kuat pula dirimu.

Dunia ini keras, jangan menjadi lemah. Siapa saja yang lemah, hanya akan menjadi boneka mainan kehidupan. Dan yang lemah tidak akan bisa melakukan apapun. Ya, memang sulit, tapi memang seperti inilah kehidupan. Jika kau percaya pada dirimu sendiri, semua pasti bisa kau lewati. Bertarunglah! Ingat, usaha tak akan mengkhianati hasil.

~~~

“Cukup, Mas! Aku udah muak hidup miskin sama kamu!” Wanita berparas cantik itu berteriak di depan suaminya. Namanya Airin, istri dari Amato. Sejak tadi teriakan dan bunyi barang pecah tak henti terdengar dari rumah itu. Pertengkaran dahsyat telah terjadi.

“Tolong, Rin, seenggaknya pikirin anak-anakmu. Mereka masih kecil, masih butuh perhatian ibunya. Aku juga lagi usaha. Tolonglah, kamu sabar sedikit.” Rayu Amato.

“Selalu kayak gitu! Usaha, usaha, usaha, terus mana hasilnya? Mana hasil usaha kamu itu? Nggak ada, kan? Kita tetep miskin! Hari-hari adanya cuma utang terus!”

“Semua butuh proses, Rin. Nggak ada yang instan. Kalo kamu sabar, nanti pasti ada jalan.” Amato menggenggam tangan Airin lembut. Namun dengan cepat Airin menghempasnya.

“Bertahun-tahun aku sabar! Kesabaran setiap orang juga ada batasnya, Mas! Wanita mana aja pasti gak tahan hidup miskin kayak gini!”

Dengan cepat, ia menyambar sebuah koper dan menyeretnya keluar menemui seorang pria yang sudah menunggunya sejak tadi. Dia Jaya. Salah satu pengusaha terbesar di negaranya. Ditambah lagi dia masih muda. Pantas saja istrinya berpaling. Amato mengepal kuat tangannya. Berusaha menahan diri agar tak memicu keributan lain.

Lagipula yang dikatakan Airin memang benar. Dia memang suami yang tidak pecus. Mencari uang saja tidak bisa. Tapi ia sendiri juga tak bisa munafik, rasanya sangat menyakitkan melihat istrinya sendiri berjalan bersama lelaki lain di depan matanya sendiri. Bahkan mereka sempat berpelukan di sana! Ceh, wanitanya jalang, lelakinya keparat. Memang cocok.

Dengan cepat Amato mengusap pipinya saat cairan bening itu mulai mengalir di sana. Tak ada gunanya menangisi wanita sepertinya. Ia yakin bisa membesarkan ketiga putranya sendirian. Ia berjanji.

~~~

“Pak, Ibu mana?” Tanya seorang anak lelaki berumur lima tahun itu seraya menarik-narik baju ayahnya. Dia Halilintar, anak sulung dari dua kembarannya, dan yang berada di depannya adalah Amato, ayahnya.

Amato tersenyum tipis lalu mengusap rambut putra sulungnya itu. “Ibu pergi, Nak. Gak usah dicariin lagi, 'kan ada Bapak.” Ujarnya berusaha menghibur.

“Pergi? Pergi kemana? Kok sampe sekarang belum pulang-pulang? Ibu udah pergi dari sepekan lalu, lho. Hali kangen sama Ibu,” Suaranya terdengar parau. Memgingat kejadian pekan lalu, dimana ia dan kedua kembarannya mendengar secara langsung bagaimana kedua orang tuanya saling berteriak. Mereka tak tahu apa penyebabnya, yang mereka tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Atau bahkan sudah terjadi.

“Kamu masih kecil, Hali. Kamu belum bakal ngerti.”

“Hali ngerti, Pak! Waktu itu Bapak sama Ibu berantem, kan?” Mata anak itu memerah. Entah kenapa ia jadi merasa kesal kendati dibujuk sedemikian bohong oleh ayahnya.

Amato tersenyum tipis lalu dengan cepat mendekap tubuh putranya itu. Berhari-hari ia berusaha tegar di depan putranya, namun tetap saja menyakitkan. “Anak Ayah udah gede, ya?” Diusapnya perlahan surai rambut Halilintar.

“H-hali kangen Ibu...” isakan itu terdengar amat menyakitkan.

Amato hanya bisa diam. Rasanya sangat menyakitkan melihat putranya itu menangis. Apalagi karena dirinya. Sudah sepekan istrinya itu pergi. Ya, pergi bersama laki-laki lain. Kecewa, sangat sangat kecewa. Ia sendiri tak menyangka kalau istrinya itu mengkhianatinya. Memang sulit, tapi bukan itu yang ia permasalahkan.

Ia hanya mengkhawatirkan ketiga putranya. Mereka masih kecil. Di usia seperti ini, anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya, terutama ibunya. Akan sangat sulit baginya merawat ketiga anaknya sedang ia sendiri harus bekerja. Apalagi dengan kondisi ekonomi mereka yang sedikit terhambat. Ya, mungkin itu juga yang membuat istrinya pergi.

Amato melirik pada Halilintar yang sudah tertidur di pangkuannya. Ia tersenyum tipis lalu menggendongnya masuk ke kamar. Riuh tawa di kamar itu bisa Amato dengar dari luar. Saat ia membuka pintunya, bisa ia lihat kedua putranya sedang bermain di dalam kamar.

“Shtt.. jangan berisik, ya? Hali lagi tidur,” ujarnya pada Gempa dan Taufan sebelum berjalan keluar.

“Bapak mau kemana?” Tanya Gempa.

“Kalian diam di rumah aja, ya? Bapak ada kerjaan di kantor.” Gempa hanya ber-oh ria sambil mengangguk. Ia mulai terbiasa ditinggal sang ayah sejak minggu lalu. Mengurus dirinya sendiri dan dua saudaranya tidaklah sesulit itu lagi.

“Jangan pergi jauh-jauh, oke? Dan kalau ada yang dateng, dan itu bukan Bapak, jangan dibuka. Sore nanti Bapak pulang.” Ia mengecup kening Gempa dan Taufan bergantian.

“Jangan lupa beli mainan, ya!” Pinta Taufan antusisas.

Amato terkekeh geli lalu mencubit hidung Taufan. “Bukannya kemarin kamu baru beli mainan?”

Taufan menggembungkan pipinya seraya melipat tangannya di dada. Niatnya berpura-pura jengkel agar ayahnya mau menuruti keinginannya. “Yang kemarin udah rusak, Upan mau yang baru,” rengeknya.

Amato tertawa melihat kelakuan putra bungsunya itu. “Iya, deh. Nanti Bapak beliin mobil-mobilan dari beton biar gak gampang rusak. Gempa anak pinter, mau juga?”

Gempa menggeleng. “Buat Upan aja.”

Amato tersenyum lalu mengacak-acak rambut Gempa. Putranya yang satu ini memang sangat dewasa. Dia mengerti dengan kondisi ayahnya yang sedang tidak punya uang. Selalu mengalah dan lebih mementingkan tentang saudaranya. “Anak baik,”

“Abangnya janhan dibangunin, ya? Nanti ngamuk. Ayah berangkat dulu, assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Pak!”

.

.

.

To be continued>>

Hola hola holaaa, story baru nih wkwk

Berdikari (Boboiboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang