Chap 2

683 95 16
                                    

15 tahun telah terlewati. Dengan banyaknya suka dan duka yang dilewati, kini Halilintar, Gempa dan Taufan telah berumur 19 tahun. Mereka tumbuh menjadi sosok yang tegar dan tabah. Hidup dengan keterbatasan dan tanpa kasih sayang seorang ibu mereka jalani dengan tabah. Tak pernah sekalipun mengeluh.

Hingga kesabaran mereka membuahkan hasil. Kini Amato bisa mengembangan usahanya menjadi lebih besar. Seiring besarnya perusahanaannya itu, ia pun semakin sibuk hingga sangat jarang berada di rumah. Berangkat pagi, pulang malam. Selalu seperti itu. Apalagi saat ini usahanya telah bercabang, dan ia dituntut berada di luar kota untuk mengurus perusahaannya itu. Tak jarang pula ia pergi ke luar kota bahkan luar negri.

Tapi anak-anak itu juga tak pernah mengeluh. Mungkin mereka sudah terlalu terbiasa dengan ini. Amato juga selalu mengajarkan pada putra-putranya agar bisa 'berdikari'. Ya, berdiri dengan kaki sendiri. Itu yang ia tanamkan kuat pada mereka.

Halilintar Chandra Aryaan. Dia tumbuh menjadi sosok yang begitu dingin dan tertutup. Wajahnya yang selalu terlihat datar dan tanpa ekspresi membuat orang-orang berpikir kalau ia orang yang sombong atau semacamnya. Tapi dibalik semua itu, ia sosok yang penuh kasih sayang. Memang ia tak pernah menunjukannya secara blak-blakan, tapi ia punya caranya sendiri untuk menjunjukannya.

Dia juga sosok yang luar biasa. Di usianya yang masih sangat muda, ia juga sudah diembani tugas untuk mengurus perusahaan ayahnya sekaligus menjaga saudaranya. Apalagi dengan dirinya yang masih bersekolah, tentu bukan hal mudah.

Halilintar ini berbeda dengan Gempa. Gempa Mahardika Hendrawan. Namanya cukup populer di lingkungannya. Anak tengah ini begitu sabar dan lembut. Sosoknya yang begitu dewasa dan memiliki sifat kepemimpinan sangat mengagumkan. Ia juga sering membantu Halilintar di kantor. Ya, meskipun Halilintar melarangnya dengan alasan tidak mau membuatnya kelelahan.

Yang terakhir Taufan. Si bungsu ini tumbuh meniadi remaja yang hyperactive. Senyuman yang tak pernah luntur dari wajahnya membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Namun, ia juga sangat keras kepala. Taufan menyukai kebebasan, ia juga benci dikekang atau hidup dalam peraturan ketat.

Itu sebabnya ia sering melanggar peraturan di sekolah maupun di kampus. Ya, most wanted Universitas Wismagama ialah Taufan Satria Ferdian.

~~~

“Selamat pagi, Bapakku yang paling ganteng sejagat dunia akhirat.” sapa Taufan ria. Dengan senyuman sehangat matahari pagi ia menarik kursinya lalu duduk bersama saudara dan ayahnya. Benar-benar pagi yang indah untuk Taufan si penikmat hidup.

Mendengar sapaan anti-mainstream dari putranya, Amato terkekeh. “Gak nyampe akhirat juga kali, Fan.”

Taufan hanya terkekeh geli lalu memandang dua saudaranya dengan mata yang besar dan berbinar. Sangat silau sampai Halilintar berpikir harus memakai kacamata hitam saat itu juga. Gempa hanya terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu betul apa maksud dari ekspresinya itu.

Namun, mungkin Halilintar tidak mengerti maksud dari Taufan. Terlihat jelas dari wajahnya yang terlihat kesal saat mata berbinar Taufan tepat berada di depan wajahnya. Tak biasanya Taufan bertingkah seperti ini. Biasanya juga aneh, tapi tidak sampai membuatnya terprovokasi ingin menendang pantatnya keluar dari rumah.

Halilintar yang sudah kesal pun segera mendorong wajah Taufan menjauh darinya. “Mulut lo bau jigong.”

Taufan berdecak keras. “Dasar pikun!”

Halilintar makin dibuat bingung olehnya. Pikun? Memangnya apa yang ia lupakan? Ia tidak membuat janji apa-apa dengan Taufan, 'kan? Ah, Halilintar lupa. Taufan itu memang tidak jelas. Akan jauh lebih baik untuk kesehatan psikisnya agar mengabaikan Taufan yang jengkel dengan memonyongkan bibirnya sejauh mata memandang.

Berdikari (Boboiboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang