Chap 3

728 96 32
                                    

Bruk

Halilintar lantas mendongak, menatap datar orang yang baru saja menjatuhkan ketumpuk map berisi beberapa kertas di dalamnya. Manusia di depannya ini memang tak mengerti sopan santun. Mentang-mentang mereka sebaya, ia jadi seenaknya.

Namanya Ice. Alva Ice lengkapnya. Dia merupakan anak dari direktur Amato yang ditarik membantu pekerjaan di sana karena kecerdasannya. Awalnya Halilintar tak menyangka kalau bocah pemalas seperti Ice bisa membantunya, tapi setelah melihat kinerja Ice, Halilintar jadi tahu kalau semua orang yang terlihat pemalas, belum tentu bodoh. Mereka hanya tau kapan harus menunjukan itu.

Karena itu pula, Halilintar dan Ice mulai sering bertemu hingga keduanya menjadi sahabat. Namun persahabatan mereka terbilang lain daripada yang lain. Tentu saja, bayangkanlah, dua orang itu sama-sama pendiam, bicara hanya saat perlu, punya sifat dingin, dan terikat dengan hidup yang penuh aturan. Mereka juga jarang pergi menghabiskan waktu dengan nongkrong di cafe atau semacamnya. Jika bukan di kantor, mereka akan sangat jarang bertemu.

Tapi jangan salah, mereka berdua punya ikatan kuat, bahkan sudah seperti saudara. Saat satu terpuruk dalam masalah, yang satu pasti membantu. Menurut mereka, sebuah ikatan itu tak perlu di umbar, ditunjuk-tunjukan pada orang lain. Tak perlu menunjukan bahwa orang suka kepada kita. Hanya membuang-buang waktu.

“Tanda tangan,”

“Hm,”

“Sekarang,”

“Lo nggak liat tangan gue cuma dua?”

“Gue nggak buta, Tuan Halilintar yang terhormat. Cepetan tanda-tanganin dan kerjaan gue bakal cepet selesai.” Ia melipat tangannya di dada seraya memandang Halilintar datar.

Halilintar mendengus kesal lalu dengan amat tidak ikhlas menandatangani kertas di depannya. Ia menatap datar lelaki bernama Ice yang masih belum bergerak barang seinci dari tempatnyaberdiri.“Ngapain lagi? Keluarlah, ngerusak pemandangan.”

Ice memutar bola matanya malas. “Lo gak ada niatan buat libur apa?”

Tanpa mengalihkan fokusnya dari terang cahaya laptop, ia menjawab. “Buat?”

Ice berdecak. Lelaki d hadapannya memang tak pernah dan tak akan bisa mengerti soal arti tersirat sebuah ucapan. “Hari ini lo ulang tahun, kan? Masa nggak ambil cuti, sih. Ya kali mau jadi penunggu kantor mulu. Ayolah, lo juga butuh liburan, butuh istirahat.”

“Buat apa? Buang-buang waktu,”

“Emang lo nggak capek?

“Emangnya kalo gue capek kenapa? Lo mau mijitin?”

“Najis. Jadi bawahan lo aja gue udah tekanan batin, ya kali mau jadi babu lo juga.”

“Ya udah,”

Ice berdecak kesal. Ice tak mengerti kenapa Halilintar bisa se-menyebalkan ini setiap harinya. “Bukan gitu, Li. Maksud gue, yang namanya manusia pasti capek, termasuk lo. Ayolah, di sini masih banyak orang. Kalo nggak ada pun gue masih bisa handle sendiri.”

“Kalo gue nggak kerja, keluarga gue mau makan apa? Emang lo mau nafkahin mereka?”

Ice diam, matanya menatap tajam Halilintar. Orang ini sungguh gila dengan pekerjaannya. Padahal ia masih harus berkuliah, entah bagaimana nantinya jika dia sudah menyelesaikan kuliahnya. Mungkin ia akan menghabiskan seumur hidup berada di kantor. “Makan apa lo bilang? Heh, lo gak bisa liat seberapa gede ini perusahaan? Ini punya lo, bego.”

“Bukan. Punya bapak gue.”

“Oke, punya bapak lo. Tapi tetep aja, kan? Libur sehari nggak bakal bikin lo melarat.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berdikari (Boboiboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang