Bab 1 : Demi Ibu

79 5 5
                                    


"Ayana merasa cuaca hari ini,  sungguh sangat mendukung suasana batin Ayana yang campur aduk tak menentu."

❇️❇️❇️

"Untuk menghambat penyebaran ... maka kemoterapi harus segera di lakukan!"

Ucapan sang dokter saat kontrol rutin bagi Ayana Balqis bagaikan petir menghatam dadanya. Wanita berusia 28 tahun itu merasakan dadanya terasa perih jika terus mengingat kalimat itu. Bulir bening di sudut matanya yang bulat mulai menetes.

Ayana sangat terpukul dengan ucapan sang dokter, cukup lama wanita itu terdiam terisak menangis--seakan mengisi sunyinya lorong koridor rumah sakit. Tangannya yang ramping menggenggam selembar resep obat yang harus ditebus.

Wajahnya yang ayu berubah sendu, berjalan gontai menyusuri lorong menuju loket pengambilan obat. Bau menyengat khas wipol menusuk hidungnya yang mancung kecil. Ayana menjatuhkan tubuhnya dengan malas di bangku tunggu, nada pengingat nomor antrian selang beberapa menit terus berbunyi memanggil satu per satu para penunggu menuju kasir.

Tampak di kiri kanan kursi terisi oleh beberapa pasien yang sedang menunggu antrean mengambil obat. Ini kesekian kali Ayana rutin menebus obat untuk kesembuhan ibunya yang sedang mengidap penyakit kanker yang sudah memasuki stadium 3. Satu tahun sudah ibunya mengidap penyakit kanker payudara, dan perkembangan sel kankernya pun sudah mulai menggerogoti organ tubuh lainnya.

Ayana tidak menyangka bahwa orangtua satu-satunya harus merasakan ganasnya penyakit yang sangat sulit disembuhkan.

Hari ini Ayana ijin tidak mengajar seperti biasa aktivitas rutin sehari-harinya sebagai mengajar di salah satu TK Al-Quran. Bagi Ayana dekat dengan dunia anak-anak menjadi kebahagiannya tersendiri.

Cuaca Kota Bandung di bulan Oktober ini tampak sedikit mendung ... Ayana merasa cuaca hari ini sungguh sangat mendukung suasana batin Ayana yang campur aduk tak menentu.

Ayana meletakkan segelas air dan menyodorkan beberapa butir obat pada ibunya. Ia membantu ibunya bangkit dari pembaringan untuk duduk.

"Aya, bagaimana kabar Hasnain?" tanya wanita paruh baya itu setelah menelan berapa butir obat antibiotik, vitamin dan pereda rasa sakit.

Pertanyaan ibundanya membuyarkan lamunan Ayana.

"Mas Hasnain sehat, Bu. Hanya saja masih sibuk dengan kuliahnya. InsyaAllah kalau ada waktu luang biasanya Mas Hasnain telepon," sahut Ayana.

Ayana mencoba menyembunyikan kegelisahannya, hampir beberapa bulan meninggalkan Indonesia menuju Cambrige. Suaminya jarang
sekali menghubunginya.

"Aya, ibu merasa hidup ibu tidak akan lama lagi," desah Fatma memecah sambil mengenggam tangan Ayana.

"Ibu jangan bicara seperti itu! Pamali, insyaAllah ibu pasti sembuh," hibur Ayana sambil memalingkan wajahnya yang mulai memanas. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan Fatma.

"Aya, ibu sangat merindukan suara tangis dan tawa seorang bayi di rumah ini."

Mendengar ucapan ibundanya Ayana hanya terdiam.

"Aya, jika kamu dan Hasnain terpisah seperti ini, kapan kamu akan punya momongan?" desah Fatma.

"Sudah Bu jangan bahas itu lagi! Saat ini yang terpenting adalah kesehatan Ibu." Ayana mencoba mengalihkan pembicaraan, ini kesekian kali ibundanya meminta Ayana untuk segera menyusul Hasnain. Namun, Ayana belum siap meninggalkan ibunya dalam kondisi sakit seperti ini.

"Aya, seorang istri itu harus mengikuti suami ke mana pun pergi, ibu sangat menghawatirkan pernikahanmu." Ucapan Fatma menggantung saat melihat raut muka Ayna berubah menjadi sendu.

Di Bawah Langit Cherry Hinton (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now