BAGIAN 1

227 12 0
                                    

Udara pagi ini terasa cerah. Angin bertiup pelan, ditingkahi kicau burung yang terdengar merdu. Cahaya matahari belum lagi terasa, namun biasnya sudah terlihat nun jauh di ufuk timur. Kehidupan baru pun mulai nampak. Para penduduk Desa Arjawinangun mulai mengisinya dengan kegiatan sehari-hari, seiring waktu berjalan. Tapi ketika hari mulai berangkat siang, mungkin segalanya akan berubah!
Dari kejauhan terdengar derap langkah kuda mendekati mulut Desa Arjawinangun ini. Mereka kelihatan santai dan tidak tergesa-gesa. Bahkan cenderung sembunyi-sembunyi. Tak seorang penduduk pun yang menyadari kehadiran mereka. Memang selama ini mereka merasa tidak ada perlunya waspada, karena tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk selama beberapa puluh tahun. Kehadiran mereka dianggap sesuatu yang wajar, karena desa ini memang sering dilalui para pedagang maupun orang-orang persilatan.
"Heaaa...!"
Begitu berada di tengah desa, para penunggang kuda itu berteriak langsung menggebah kudanya, dan menyebar ke segala arah. Lalu tahu-tahu saja, ada rumah terbakar. Sementara penghuninya kalang kabut berteriak-teriak ketakutan begitu keluar dari rumahnya yang terbakar.
Para penunggang kuda langsung berlompatan turun, seraya menghunus senjata tajam. Begitu ada penduduk yang keluar rumah, mereka langsung bergerak cepat menyerang disertai sabetan senjata.
"Aaa...!" Seorang laki-laki berusia lanjut langsung memekik ketika lehernya ditebas golok. Sementara, dua wanita yang berada didekatnya menjerit ketakutan. Dua orang laki-laki berwajah kasar telah menelikung mereka. Tak seorang pun yang berani menolong, karena rumah tetangga mereka juga mengalami hal yang sama.
"Aaa...!"
"Ouw, lepaskan! Lepaskaaan...! Ayah, tolooong...!"
Jerit kematian terdengar membaur dengan teriak ketakutan penduduk desa ini. Yang lelaki dibunuh. Sementara perawan dan janda muda dipermainkan sesuka hati. Bahkan tak peduli kalau wanita yang dipermainkan telah bersuami. Yang berani menolak dan berusaha melarikan diri tidak segan-segan dibunuh.
Kekejaman kawanan perampok memang sudah kelewat batas. Setelah selesai meluluhlantakkan Desa Arjawinangun ini berikut penghuninya, maka mereka segera pergi begitu saja. Meninggalkan tangis pilu dan rutuk kegeraman para korban.

***

"Kawanan perampok datang! Ada perampok...!"
Orang-orang Desa Arjawinangun yang berada di sawah ladangnya mendadak terkejut, ketika seorang berlari kencang sambil berteriak-teriak dengan wajah pucat. Mereka langsung memandang ke satu arah, dimana seorang pemuda berusia lima belas tahun dengan tergopoh-gopoh dengan napas tersengal berusaha menghampiri.
"Siapa, Man?" tanya seorang laki-laki setengah baya, langsung menghadang pemuda tanggung itu.
"Perampok, Ki! Perampok...," sahut pemuda itu dengan suara menggigil.
Seketika mereka yang bekerja berlari mendekati pemuda tanggung bernama Saman ini.
"Apa katamu, Man?!" desak yang bicara pertama kali padanya menegaskan pendengarannya.
"Ada perampok, Ki Gandoro! Lekas kita ke sana! Mereka bukan saja merampok, tapi juga membunuh serta memperkosa wanita-wanita kita," lapor Saman.
"Rarasati...!" desis laki-laki setengah baya bernama Gandoro ketika mendengar penuturan itu.
Agaknya bukan hanya Ki Gandoro saja yang terkesiap, tapi juga yang lainnya. Mereka yang meninggalkan istri, kekasih, atau adik mulai cemas.
Maka seperti diberi aba-aba, serentak orang-orang itu menyambar cangkul dan merapikan letak golok di pinggang, kemudian berlari-lari kencang menuju desanya.
Dalam perjalanan, mereka berteriak-teriak, seperti menyumpahi para perampok. Agaknya mereka juga siap untuk adu nyawa, bila memang harus terjadi. Senjata-senjata mereka telah teracung-acung diatas kepala, sambil berlarian memasuki desa.
Namun setiba di desa orang-orang ini hanya menemukan rumah-rumah yang sebagian telah roboh dan terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan. Anak-anak kecil menangis ketakutan. Sementara yang membuat mereka pilu bercampur geram adalah, ketika melihat para wanita yang sendu dan terus terisak dengan wajah kusut.
"Rarasati...!" teriak Ki Gandoro ketika anak gadisnya duduk termenung di sudut ruangan depan.
Rambut gadis cantik ini kusut. Kedua telapak tangannya mendekap wajahnya yang sembab. Masih terdengar isak tangisnya. Halus.
"Ayah...!" Gadis itu menoleh, lantas cepat bangkit. Dipeluknya laki-laki setengah baya itu sekuat-kuatnya seperti hendak menumpahkan isi hatinya yang sesak oleh kedukaan.
"Tenanglah, Anakku. Tenang...," hibur Ki Gandoro seraya mengelus-elus riak rambut putri tunggalnya.
"Ayah, aku..., aku...."
"Sudahlah.... Ayah mengerti. Ayah tahu peristiwanya...," tukas Ki Gandoro berusaha menenangkan perasaan putrinya.
Rarasati tidak kuasa menahan sesak di dadanya, dan kembali menangis terisak-isak. Entah berapa lama Ki Gandoro berusaha membujuk. Barulah tangis putrinya itu mereda.
Laki-laki yang telah ditinggal mati istrinya lima tahun lalu itu tidak kuasa menahan geram dihatinya. Sebelah tangannya terkepal. Bias wajahnya tampak kelam. Kalau saja saat ini jahanam itu berada didepan hidungnya mungkin akan dicincang-cincangnya!
"Ayah.... Aku..., aku...."
Ki Gandoro seperti terjaga. Sementara Rarasati melepaskan pelukan. Wajahnya tertunduk. Dan suaranya berhenti sampai di situ.
"Apa yang ingin kau katakan. Anakku...?" tanya Ki Gandoro.
"Diriku telah kotor, Ayah! Aku telah ternoda dan membawa aib bagi keluarga kita...."
Walaupun hal itu sudah diduga, namun tak urung Ki Gandoro jadi tercekat. Dan rasanya seketika hatinya jadi mengkelap, penuh rasa dendam pada perampok yang telah menodai putrinya. Namun demikian dia berusaha menguatkan hatinya. Disadari tak akan ada yang dapat mengembalikan Rarasati sebagai gadis seutuhnya.
"Anakku, kau tidak sendiri. Semua kawanmu telah mengalami kekejian perampok itu. Tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini, selain bersabar dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan menghadapi cobaan ini...," hibur Ki Gandoro.
"Tapi, aku malu pada Kang Dirja...," keluh Rarasati, masih menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Sehingga rambutnya yang panjang laksana tirai hitam, menghalangi pandangan ayahnya.
Laki-laki ini menarik napas panjang. Dia tidak bisa bicara lagi untuk sesaat. Entah, bagaimana caranya menghadapi calon besannya nanti. Padahal menurut rencana, orangtua Dirja akan datang kurang dari seminggu ini. Apa yang harus dikatakan kepada mereka? Tapi yang terpenting adalah, apakah Dirja mau menerima Rarasati dalam keadaan seperti sekarang?
Rarasati kembali terisak. Dan ayahnya terpaksa membujuk kembali.
"Dia tidak akan mau menerima diriku! Aku telah ternoda...!" sentak Rarasati.
"Bila kalian saling mencintai, maka persoalan apa pun tidak akan bisa menghalangi. Apalagi kejadian ini bukan kehendak kita. Dan semua orang desa menjadi saksi atas kejadian ini. Tidak ada alasan untuk menganggap dirimu nista," tandas Ki Gandoro.
Rarasati terdiam. Namun isaknya masih terdengar juga meski lirih. Kata-kata ayahnya mungkin saja benar. Tapi, hatinya tidak bisa menyetujui. Tidak semudah itu. Apalagi dia seorang wanita, yang pendiam. Tentu saja semua kejadian ini sulit diceritakan kepada kekasihnya. Dan akhirnya, tentu saja tidak semudah apa yang dinasihatkan ayahnya tadi. Tapi Rarasati tidak bisa membantah. Dan saat ini, dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakan. Terlebih lagi, apa yang harus dilakukan.

167. Pendekar Rajawali Sakti : Pengemis Bintang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang