BAGIAN 2

105 8 0
                                    

Sementara itu tidak jauh di bibir Jurang Mangu tampak berdiri sesosok tubuh ramping dengan kepala menengadah ke langit. Kedua tubuhnya tampak turun naik perlahan-lahan, seperti menyiratkan debaran jantungnya yang berdebaran lemas. Ada kegelisahan terpantul pada wajahnya, tatkala cahaya rembulan yang suram menyapu sekujur tubuhnya. Dan isak tangis halus menambah keyakinan siapa pun, bahwa gadis ini tengah gelisah.
"Ibu, maafkan anakmu. Aku tidak kuasa menanggung aib yang begitu berat. Jangan marah, ibu. Aku akan menyusulmu di negeri sana untuk bersujud memohon ampun...," ucap sosok ramping yang ternyata seorang gadis ini. Suaranya sendu dan lirih.
Kemudian gadis itu menundukkan kepalanya. Kedua telapak tangannya langsung membekap wajahnya. Dan seketika tangisnya kian memuncak.
"Ayah, maafkan Rarasati. Jangan sesali apa yang akan Rarasati lakukan saat ini. Tidak ada pilihan lain bagi Rarasati...," lanjut gadis yang tak lain Rarasati dengan suara lebih lirih ketika tangisnya sudah reda. "Selamat tinggal...."
Tanpa ragu-ragu gadis yang tak lain Rarasati menceburkan diri ke jurang yang saat ini kelihatan gelap gulita.
"Rarasatiii...!"
Sementara pada saat yang bersamaan terdengar jeritan panjang dari arah belakang, memanggil nama gadis itu. Namun, nasi telah menjadi bubur. Gadis malang itu agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya seperti tersedot deras ke bawah. Dan suara teriakan tadi semakin keras saja, ketika sesosok tubuh telah berdiri di bibir jurang dengan wajah sedikit melongok ke bawah.
"Rarasatiii...! Rarasatiii...!" teriak sosok yang tak lain Ki Gandoro. Sementara dua sosok tubuh lain telah berdiri dua tombak di belakang Ki Gandoro. Mereka tak lain Balung dan Ragil, dua peronda yang mengikutinya. Perlahan-lahan, mereka mendekati Ki Gandoro.
"Ki Gandoro! Sadar! Sadar, Ki! Jangan berbuat nekat!" kata Ragil sambil memegangi kedua kaki dan tangan Ki Gandoro. Tindakannya diikuti Balung.
Pada saat itu, Guminta yang tadi tertinggal telah juga sampai di tempat ini.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Biar kususul anakku ke sana. Lepaskan...!" sentak laki-laki setengah baya ini.
"Astaga! Sadar, Ki. Sadar! Belum tentu yang kau lihat itu si Rarasati...."
"Diam kau, Ragil! Apa kau kira aku tidak mengenali anakku sendiri? Dia Rarasati! Dan aku tahu itu!" bentak Ki Gandoro.
"Tapi, Ki...."
"Tutup mulutmu!" semprot Ki Gandoro.
Ragil terkesiap dan tidak berani bicara lagi. Dia sendiri sebenarnya memang yakin kalau sesosok tubuh yang tadi terlihat adalah si Rarasati. Apalagi, Ki Gandoro sebagai ayahnya. Tentu dia merasa lebih yakin lagi. Kalaupun tadi meragukan, karena sekadar ingin membujuk orang tua itu agar jangan kalap. Tapi agaknya niatnya itu tidak tersampaikan. Ki Gandoro tetap kalap, dan berusaha melepaskan diri dari cekalan kedua peronda itu.
"Keparat kalian! Lepaskan aku! Lepaskan akuuu...!" teriak Ki Gandoro seraya memaki dan meronta-ronta sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
"Guminta! Kenapa diam saja?! Bantu kami! He, malah bengong!" teriak Ragil, ketika menoleh ke belakang Guminta telah berada di situ tanpa berbuat apa-apa.
"Eh, apa? Oh, iya! Maaf...!" kata Guminta, tergagap.
"Kurang ajar kau, Guminta! Kupatahkan batang lehermu! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Ki Gandoro, ketika Guminta ikut-ikutan memegangi tubuhnya.
"Sadarlah, Ki. Kalaupun benar gadis tadi si Rarasati, kita tidak harus menyusulnya ke sana. Bunuh diri itu tidak baik. Dan seharusnya kau sadar dan jangan ikut-ikutan, Ki," ujar Balung.
"Kau hanya bisa bicara, Balung. Apakah kau tahu, apa yang kurasakan?"
"Semua orang di desa ini juga dilanda kesedihan, Ki. Tentu saja kami bisa merasakan kepedihan yang kau rasakan. Apalagi menyaksikan putri sendiri bunuh diri. Tentu saja kami rasakan kepedihanmu. Tapi jalan keluarnya tidak harus ikut-ikutan bunuh diri. Maka sadarlah, Ki. Masih banyak yang harus dikerjakan, Ki," ujar Balung lagi.
"Rarasati, Anakku. Oh, Rarasati...," keluh Ki Gandoro. Suara laki-laki setengah baya itu lemah. Begitu juga perlawanannya. Dia duduk dengan lesu sambil memandang bibir jurang dengan tatapan kosong.
"Kenapa kau lakukan ini, Rarasati? Bukankah aku bisa menerima keadaanmu yang seperti ini...?" desah Ki Gandoro kembali mengeluh.
Kini suasana jadi hening, ketika Ki Gandoro tidak bersuara lagi. Mereka yang berada di situ ikut terhanyut merasakan kepedihan yang dialaminya.
"Sudahlah, Ki. Besok akan kita cari jasad Rarasati di bawah jurang sana. Lalu, kita kuburkan secara layak...," bujuk Balung lagi.
Ki Gandoro hanya diam saja, namun tak lama bangkit berdiri dan berbalik. Kepalanya menoleh ke arah jurang sebelum melangkah mengikuti ketiga tetangganya.
"Eh, mau ke mana lagi?" tanya Guminta ketika orang tua ini kembali berbalik.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memandang bibir jurang ini sekali lagi...," desah Ki Gandoro lemah.
Kedua peronda itu mengikuti. Namun mereka tidak melepaskan cekalan pada kedua tangan Ki Gandoro. Dan orang tua ini pun agaknya maklum. Atau mungkin tidak.terlalu memikirkan hal itu. Tatapannya kosong tanpa arti. Untuk sesaat dia mematung, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya.
"Ayo, Ki. Kita pulang sekarang...," ajak Guminta.
Ki Gandoro tidak menyahut. Namun tidak menolak ketika dipapah untuk mengikuti langkah mereka satu persatu meninggalkan tempat ini.

167. Pendekar Rajawali Sakti : Pengemis Bintang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang