BAGIAN 3

111 8 0
                                    

Dua puluh tahun telah berlalu sejak peristiwa di Desa Arjawinangun. Desa itu pun telah pulih seperti sediakala. Bagi kebanyakan mereka, hal itu seperti mimpi buruk yang tidak boleh terulang lagi. Kalaupun ada hal-hal yang menyakitkan, itu adalah akibat perbuatan kawanan perampok, yang telah menghamili wanita-wanita di desa ini. Dan kemudian, para wanita itu harus membesarkan anaknya dengan perasaan malu. Bahkan tidak jarang ada yang menggugurkannya selagi belum hamil besar. Tapi, tidak ada seorang penduduk pun yang menganggap mereka sebagai suatu keaiban. Mereka menyadari, kejadian itu tidak bisa dielakkan dan bukan kemauan sendiri.
Siang ini, Desa Arjawinangun seperti tengah terpanggang sinar matahari. Sinarnya yang menyengat, membuat seorang pemuda berpakaian pengemis berteduh dibawah sebatang pohon, dekat sebuah kedai. Sepasang matanya menatap tajam ke arah orang-orang yang tengah bersantap di situ. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat dan duduk di sebelah salah seorang yang bersandar.
"Maaf. Kalau boleh tahu, di mana rumah Ki Gandoro?" tanya pemuda berpakaian pengemis ini.
"Ki Gandoro...? Ki Gandoro yang hidup sendiri itu?" sahut laki-laki tua yang ditanya.
"Mungkin...."
"Sayang sekali.... Dia telah lama mati, Anak Muda."
"Mati? Kenapa?"
"Bunuh diri di Jurang Mangu."
"Kenapa dia bunuh diri?"
"Mungkin karena gara-gara putrinya yang bernama Rarasati mati bunuh diri di jurang itu."
"Hm, ada apa sebenarnya? Bapak dan anak sama-sama bunuh diri...?" tanya pemuda itu dengan dahi berkerut.
"Itu terjadi dua puluh tahun lalu. Anak Muda. Apakah kau saudaranya?"
"Ya! Aku adalah saudara jauhnya. Kebetulan, ibuku baru mengatakan kalau kami memiliki saudara di desa ini. Sekadar ingin mempererat persaudaraan saja jangan sampai terputus," sahut pengemis muda itu ramah. "Bisakah kalian menceritakan tentang kejadian itu?"
Laki-laki tua itu lalu menceritakan secara ringkas peristiwa yang diketahuinya dua puluh tahun lalu di Desa Arjawinangun ini. Karena semua orang di desa ini tahu, maka mereka bisa menduga apa yang menyebabkan bapak dan anak itu bunuh diri.
"Mungkin mereka tidak kuat menahan aib dan rasa malu...," ujar orang tua itu menyelesaikan ceritanya dan menyimpulkannya sendiri.
"O, begitu...?" Pengemis muda ini mengangguk-angguk.
"Lalu, dimana kawanan perampok itu berada saat ini?"
"Konon menurut sebagian orang, mereka berada di hutan sebelah timur laut sana. Pemimpinnya bernama Mayong Ireng. Kenapa kau tanyakan mereka? Apakah kau ingin membalas dendam?" tanya orang tua ini.
"Ki Gandoro adalah saudara kami satu-satunya. Sudah sepatutnya aku membalaskan dendamnya. Kalau tidak, dia tidak akan tenang di alam sana!" desis pemuda pengemis itu.
"Percuma saja. Kawanan rampok itu berjumlah banyak. Dan mereka pun amat kuat. Kau akan sia-sia bila mencoba melawan mereka."
Pemuda itu tersenyum. "Itu sama sekali tidak kupikirkan. Tapi, ada hal yang amat menggangguku saat ini...."
"Tentang apa?"
"Ki Gandoro konon memiliki sawah yang cukup luas. Siapa yang kini mengerjakannya. Dan kemana hasil panennya setiap tahun?"
"O.... Itu ditangani Ki Saptasena."
"Siapa dia?"
"Kepala desa ini."
"O.... Di mana rumahnya!"
"Dari sini kelihatan. Itu, yang atap rumahnya merah. Dia satu-satunya yang memiliki rumah agak besar dan hidup berkecukupan," jelas orang tua ini sambil menunjuk rumah yang dimaksudkan.
"Hm, terima kasih...," ucap pemuda pengemis ini seraya melangkah ke sana.
"Kau mau ke sana?" tanya orang tua itu.
"Ya!" sahut pemuda ini singkat.

***

Apa yang ditunjukkan orang tadi memang tidak salah. Di antara sekian banyak rumah di desa ini, hanya rumah kepala desa yang agak besar dan mewah. Dan pemuda berpakaian pengemis itu telah berada di depan rumah ini. Tampak seorang penjaga rumah bertampang seram terus memperhatikannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda pengemis ini segera menghampiri.
"Selamat siang. Aku ingin bertemu Ki Saptasena," ucap pemuda pengemis ini. Setelah berada satu tombak di hadapan penjaga rumah.
Laki-laki bertampang seram itu memperhatikan pengemis muda ini sejurus lamanya.
"Maaf, Ki Saptasena tak ada. Lagi pula dia tidak pernah menerima tamu pengemis...," sahut penjaga ini, Jumawa.
Pemuda pengemis itu tersenyum. Dan tahu-tahu dia melompat cepat sambil melepaskan tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Buk...!
"Aaakh...!" Penjaga itu kontan terpelanting ke belakang, ketika tendangan pengemis ini menghantam perutnya. Punggung belakangnya langsung menghantam dinding. Saat itu juga dari mulutnya keluar pekik kesakitan.
Teriakan penjaga itu agaknya mengagetkan orang-orang yang berada di dalam rumah. Sebentar saja seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun tergopoh-gopoh keluar ditemani seorang wanita tua dan seorang pemuda.
"Parta! Ada apa? He, siapa kau...?!"
Pengemis muda itu tidak langsung menjawab.
"Kaukah kepala desa di sini...?" pengemis ini malah balik bertanya.
"He! Jaga bicaramu, Pengemis Busuk! Jawab dulu pertanyaan ayahku. Siapa kau?! Dan apa yang kau lakukan terhadapnya?!" tuding salah seorang pemuda di samping laki-laki tua itu.
"Dia telah memukulku tanpa sebab...," lapor Parta, orang yang tadi terjajar, seraya bangkit dan berlindung di belakang orang tua yang sebenarnya memang Ki Saptasena.
"Aku pengemis busuk seperti katamu. Dan aku hanya ingin bertemu kepala desa ini. Tapi orangmu yang kurang ajar ini bicara macam-macam!" sahut pengemis muda itu disertai dengusan kecil.
"Benar apa yang dikatakannya, Parta?" tanya Ki Saptasena.
"Bohong, Ki! Dia ingin mengemis, lalu kuusir. Eee..., tahu-tahu dia malah memukulku!" bantah Parta.
"Kurang ajar!" Pengemis muda itu kelihatan geram sekali mendengar jawaban orang itu.
"Sudahlah, tidak usah diteruskan. Kalau memang benar dia salah bicara, maafkanlah. Nah! Siapa sebenarnya kau, Anak Muda? Kau mencari kepala desa ini. Akulah orangnya," ujar Ki Saptasena, berubah ramah.
"Aku sedang bukan hendak mengemis, tapi hendak menuntut hakku atas peninggalan Ki Gandoro!" sahut pengemis muda itu, lantang.
"O, begitu? Punya hubungan apa kau dengannya?"
"Aku cucunya!"
"Cucunya? Seingatku, Ki Gandoro belum mempunyai cucu. Bahkan terakhir sebelum bunuh diri, perkawinan putrinya dengan seorang pemuda dari seberang dibatalkan. Sebab, Rarasati keburu bunuh diri. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan sebagai cucunya?" kilah Ki Saptasena.
"Semua orang di desa ini tahu, kenapa ibuku bunuh diri. Dia dinodai kawanan perampok. Begitu juga yang terjadi dengan semua wanita muda di desa ini saat itu. Ibuku tidak mati. Dia telah diselamatkan seseorang, dan kemudian mengandung aku. Nah! Kini, apakah kau masih belum percaya?" tuntas pengemis muda itu.
Ki Saptasena terdiam. Dia mengajak tamunya masuk. Tapi pengemis muda itu menolak. Keangkuhannya membuat dua pemuda yang merupakan putra Ki Saptasena semakin kesal saja.
"Ayah! Buat apa susah-susah mempercayai seorang pengemis? Bisa saja cerita itu dikarang sendiri!" ujar putra sulung Ki Saptasena yang bernama Kalangka.
"Benar! Lebih baik usir saja. Aku muak melihat tingkahnya!" timpal si bungsu yang bernama Brata.
"Huh! Jadi kalian memang telah kemaruk harta dan bermaksud menguasai harta kakekku?!" dengus pengemis muda ini.
"Eee! Jangan salah sangka, Anak Muda. Siapa namamu...?" tukas Ki Saptasena.
"Karyasena!" sahut pengemis muda ini.
"O, Karyasena. Aku tidak bermaksud menyerakahi harta kakekmu. Tapi kalau benar kau cucunya, maka tentu saja akan kuserahkan peninggalannya," jelas Ki Saptasena.
"Selama dua puluh tahun kalian menikmatinya. Aku ingin semua itu tanpa tersisa!" tegas Karyasena.
"Heh?!" Ki Saptasena terkesiap. Demikian juga kedua putra serta istrinya.
Apa yang dikatakan Kalangka tidak salah. Pemuda pengemis bernama Karyasena kelewat angkuh dan mau menang sendiri. Akhirnya mau tidak mau Ki Saptasena harus berpikir seperti itu.
"Hm.... Rumah bagus ini tentu hasil jerih payah kakekku. Maka aku adalah pemilik sahnya...," tandas Karyasena.
"Kurang ajar! Dasar pengemis tak tahu diri. Kau semakin tidak sopan di rumah orang. Pergilah sebelum kami memanggil orang-orang kampung untuk menggebukmu!" bentak Jarot, yang agaknya tidak bisa menahan amarahnya lagi.
"Kau mengusirku di rumahku sendiri? Hehehe..., lucu! Lucu sekali! Sebaiknya, kalianlah yang harus cepat-cepat angkat kaki dari sini. Apa perlu aku yang melakukannya?"
Baru saja selesai bicara begitu, mendadak pengemis muda ini bergerak cepat. Tahu-tahu kedua tangan Karyasena telah mencengkeram ke arah baju Kalangka dan Brata. Lalu....
Wut! Wut!
"Aaakh...!" Tubuh Jarot dan Brata kontan terlempar keluar begitu Karyasena menariknya dengan keras. Dan mereka langsung terbanting di tanah disertai jerit kesakitan.
"He, apa yang kau lakukan terhadap kedua putraku?!" desis Ki Saptasena terkesiap kaget.
"Kau kira apa? Mereka pantas mendapatkan itu," sahut Karyasena enteng.
"Kurang ajar! Kalau begitu jelas, siapa kau sebenarnya!"
Ki Saptasena naik pitam. Dia bermaksud memukul kentongan yang berada di depan rumahnya. Namun sebelum dilakukannya, pengemis muda itu mencekal pergelangan tangannya.
Tap!
"Heh!"
"Kau ingin memanggil orang-orang desa untuk mengeroyokku? Sebaiknya, pikirkan dulu keselamatanmu sebelum melakukannya. Coba lihat!" ujar Karyasena.
Karyasena bersuit nyaring. Maka tiba-tiba saja berlompatan lebih dari dua puluh pengemis dari berbagai arah. Perlahan-lahan mereka melangkah masuk ke pekarangan rumah Ki Saptasena.
"Coba lihat! Mereka siap melaksanakan apa saja perintahku. Oleh sebab itu, jangan berbuat macam-macam. Turuti saja keinginanku kalau ingin selamat!" ancam Karyasena.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya Ki Saptasena dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Tidak banyak. Selama dua puluh tahun, kau menguras sawah ladang kakekku. Maka sudah sepatutnya aku meminta imbalan darimu. Kau tetap menjadi kepala desa ini, dan tetap mengurus sawah ladang kakekku. Tapi, kau harus membayar upeti kepadaku seminggu sekali. Besarnya sepuluh keping uang emas," jelas Karyasena.
Ki Saptasena tampak terbelalak, mendengar sejumlah uang yang disebutkan pengemis muda ini.
"Sepuluh keping uang emas setiap satu minggu?! Mana mungkin! Itu jumlah yang sangat banyak," elak orang tua itu.
"Aku tidak mau tahu. Kau hanya punya dua pilihan. Menyetujuinya atau kalian sekeluarga akan mati di tanganku!" ancam Karyasena, lebih menggiriskan.
Ki Saptasena bergidik ngeri mendengar ancaman Karyasena. Dengan apa yang dilakukannya tadi kepada dua putranya, orang tua ini yakin kalau Karyasena mampu membuktikan ancamannya.
"Ba..., baiklah...," sahut Ki Saptasena lemah.
"Bagus! Berarti kau memang pintar memilih. Maka sejak hari ini, sampai ketemu satu minggu, kami mulai akan menagihnya. Jangan pernah telat sedikit pun, sebab aku tidak akan bisa mengampunimu!"
"I..., iya...!"
Karyasena mendengus sebentar, kemudian berlalu dari tempat ini diikuti para pengemis anak buahnya. Tak ada yang tahu, ke mana mereka akan pergi.
"Apa yang akan kita lakukan, Ayah?" tanya Kalangka, ketika para pengemis sudah tak terlihat lagi.
"Entahlah...," sahut Ki Saptasena, lirih.
"Ayah akan memenuhi tuntutannya?"
"Tak ada jalan lain, kalau kita ingin selamat...."
"Tapi dari mana ayah akan mencarinya?"
"Entahlah...," sahut Ki Saptasena hambar.
Orang tua itu berbalik dan melangkah ke belakang, diikuti istrinya. Kedua anaknya perlahan-lahan mengikuti. Ada perasaan yang sama di dada mereka. Kegelisahan!

167. Pendekar Rajawali Sakti : Pengemis Bintang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang