BAGIAN 5

124 10 0
                                    

Bukit Tanggamus terletak agak jauh dari desa terdekat. Di kakinya berdiri sebuah rumah bagai istana kecil yang dikelilingi pagar bambu setinggi kurang dari dua tombak. Sehingga dari luar yang terlihat hanya atapnya saja, dan sebuah menara yang di atasnya terdapat gubuk kecil seperti pos penjagaan.
Bagian dalam pagar bambu itu ternyata dilapisi batang-batang pohon kelapa, sehingga terlihat kokoh. Kemudian di sekeliling halaman yang cukup luas, terdapat barak-barak melingkar. Hanya ada bagian sekitar pintu gerbang saja yang lowong. Sedangkan bangunan utama yang terlihat mewah ini terletak di tengah-tengah. Tidak terlalu luas, namun kelihatan mewah.
Setahun yang lalu, penduduk Desa Tanggamus yang terdekat dari tempat ini, belum tahu adanya bangunan itu. Namun belakangan mereka baru mengerti, ketika banyak pengemis yang keluar masuk tempat itu. Lalu mereka pun menduga, bahwa tempat itu merupakan markas Partai Pengemis Bintang Emas yang selama ini dikenal sering membantu rakyat jelata untuk memberi perlindungan setempat.
Tapi, bayangan itu terhapus sudah ketika partai ini ternyata tidak seperti apa yang diharapkan. Para anggotanya ternyata tidak lebih dari kawanan perampok! Penduduk desa ini diwajibkan memberi upeti yang cukup besar setiap minggu. Siapa yang berani menolak, maka kematian akan menjemput. Dan terbukti, beberapa orang yang menentang tidak lama ditemukan telah tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang berusaha melarikan diri, pasti hidup dalam ketakutan dari cengkeraman partai pengemis itu.
Rupanya, sepak terjang Partai Pengemis Bintang Emas sudah demikian meluas. Kegiatan mereka yang dimulai dari Desa Arjawinangun, kini telah melebar ke Desa Tanggamus di wilayah timur laut ini.
Siang yang tidak terlalu panas, membuat penjagaan di sekitar pintu gerbang tidak terlalu ketat. Seorang tampak duduk dengan mata terkantuk. Yang seorang lagi malah tengah asyik mengilik-ngilik telinganya dengan bulu ayam.
Dan mereka masih belum menyadari ketika seorang pemuda berpakaian pengemis berjalan mendekati. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang ujungnya runcing.
"Aku ingin bertemu Karyasena...," kata pemuda itu pelan.
Kedua penjaga pintu gerbang terjaga. Yang terkantuk cuma menoleh sebentar, lalu kembali terkantuk-kantuk.
"Siapa pimpinanmu? Dan, ada keperluan apa?" tanya penjaga yang tengah mengilik-ngilik telinga.
"Pimpinanku Ki Jembrana. Dan urusanku, kalian tidak perlu tahu...," sahut pemuda itu datar.
Kedua pengemis yang menjaga pintu gerbang ini seketika terkesiap dan saling berpandangan. Kemudian mereka sama-sama menatap pengemis muda itu. Mereka coba menegaskan wajah yang terlindung di balik topi caping lebar yang terbuat dari bambu itu. Dan ketika pemuda itu membuka tudungnya, mendadak kedua pengemis penjaga pintu gerbang ini terkejut kaget.
"Ketua Karyasena, maaf! Kami sama sekali tidak menyangka kalau ketua yang datang. Tapi..., bukankah Ki Karyasena masih di dalam, dan tengah menerima tamu?!" ucap pengemis penjaga yang tadi terkantuk-kantuk. Namun sesaat kemudian dia seperti terjaga, lalu kembali memandang pemuda di depannya dengan seksama.
"Aku bukan Karyasena, melainkan Daryasena. Saudara kembar ketua kalian. Apakah kalian tidak mengenalinya?" kata pemuda pengemis yang mengaku bernama Daryasena.
"Oh, maaf. Kami orang baru, sehingga tidak mengenalimu. Tapi wajahmu mirip sekali dengan ketua kami. Sudah barang tentu kami mempercayainya. Silakan masuk!" ucap penjaga itu, seraya membuka pintu gerbang.
Salah seorang penjaga kemudian mengantarkan Daryasena ke dalam. Sementara beberapa orang pengemis yang berada di dalam halaman depan terkejut dan buru-buru memberi hormat. Sedang yang lainnya, meski tidak terkejut, namun tetap memberi hormat juga.
Mereka yang tidak terkejut, agaknya mengenali pemuda itu sebelumnya. Sedangkan yang terkejut tentu saja tidak mengenalinya. Dan mereka sudah kaget, sebab menyangka kalau pemuda itu ketua mereka. Padahal sang ketua sendiri sedang bercakap-cakap di ruang tamu, bersama beberapa orang kawan.

***

"Ah, saudaraku Daryasena! Apa kabar? Silakan masuk!" sambut seorang pemuda yang tidak lain dari Karyasena, ketika Daryasena memasuki ruangan utama rumah mewah ini.
Walaupun tidak terlihat, sebenarnya Karyasena terkesiap mengetahui siapa tamu yang datang. Namun senyumnya segera terkembang, buru-buru menyongsong saudaranya.
"Karyasena, aku tidak akan berlama-lama di sini! Aku membawa pesan dari kakek yang harus kau patuhi!" jelas Daryasena langsung tanpa basa-basi. Suaranya terdengar lantang.
"Oh, benarkah? Bagaimana keadaannya? Sehat-sehat saja, bukan? Hm, aku juga telah rindu. Juga kepada ibu. Tapi, sebaiknya kau duduk dulu!" ajak Karyasena kembali.
"Sudah kukatakan padamu, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kakek menginginkan kau menghadap kepadanya sekarang juga!" Daryasena kembali menegaskan maksudnya.
"Kenapa tidak? Tentu saja aku senang sekali bertemu beliau. Tapi tidak sekarang. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan...," elak Karyasena.
"Aku harus membawamu sekarang. Suka atau tidak. Dan bisa atau tidak bisa!" tegas Daryasena, mantap.
Raut wajah Karyasena seketika berubah mendengar kata-kata Daryasena. Itu suatu pemaksaan. Dan selamanya dia tidak suka dipaksa. Meskipun itu saudaranya sendiri!
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan memaksamu!"
Karyasena terdiam sejurus lamanya. Tapi perlahan-lahan dia tersenyum, lalu tertawa.
"Selamanya tak seorang pun yang boleh memaksakan kehendak kepada Karyasena! Tidak juga kau, Daryasena! Pulanglah! Katakan pada kakek, bahwa aku akan datang menghadapnya kapan saja suka!" ujar Karyasena dengan suara keras.
"Karyasena! Kau memang keterlaluan! Tidakkah kau bisa membalas budi orang?! Beliau membesarkan, lalu mendidikmu. Dan inikah balasan yang kau berikan kepadanya?! Kau cemarkan nama baik beliau! Kau tebar benih kekacauan. Dan kini, kau akan melawan dengan menolak perintahnya!" bentak Daryasena tak kalah keras. Wajahnya tampak merah padam, mendengar penolakan Karyasena!
"Sudah kukatakan padamu, bahwa tidak seorang pun bisa memerintahku! Aku berbuat atas apa yang kusukai. Lagi pula, kakek telah mengusirku. Buat apa sekarang ingin memanggilku?!"
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu selama ini di hadapan Kakek!"
"Hahaha...! Kau tahu, Daryasena? Itu sama sekali tidak mungkin kulakukan. Aku bertanggung jawab penuh atas apa yang kulakukan!"
"Lalu kenapa kau menggunakan nama Partai Bintang Emas untuk segala tindak bejatmu itu? Itu saja sudah patut bagi Kakek untuk memberi hukuman bagimu!"
"Tutup mulutmu, Daryasena!" bentak Karyasena, tak tahan lagi. "Pergilah sebelum aku berbuat kasar padamu!"
"Aku tidak akan pergi, kalau tidak bersamamu!"
"Jangan bertindak bodoh! Di sini, aku bisa berbuat apa saja. Karena masih memandang kalau kau saudaraku, maka aku mengampuni kelancanganmu! Nah! Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!" hardik Karyasena, masih berusaha menahan diri.
"Karyasena! Kau tahu, bagaimana keputusanku?! Aku tetap pada pendirianku. Kau harus ikut sekarang juga. Atau, aku terpaksa memaksamu!"
"Cobalah kalau kau mampu!" dengus Karyasena, membuka tantangan.
"Baiklah kalau itu maumu," sambut Daryasena, merasa tak ada pilihan lagi.
Daryasena maju dua langkah sambil mengebutkan tongkat di tangannya ke belakang. Dan Pada saat itu juga, capingnya disambar dan dilemparkan ke arah Karyasena.
Wut!
Caping lebar itu melesat ke arah Karyasena.
"Hiyaaat!"
Namun Karyasena cepat bergerak, mengibaskan tongkatnya ke arah caping. Caping bambu itu terbelah dua, dan jatuh di lantai. Sementara Daryasena langsung melesat, sambil mengayunkan tongkatnya.
Karyasena yang baru saja membabatkan tongkat caping yang mengancamnya, terpaksa kembali membabatkan tongkatnya untuk memapak.
Trak!
Baru saja kedua tongkat mereka beradu, ujung tongkat Karyasena telah kembali menyambar ke tenggorokan saudara kembarnya.
Wut!
"Uts!" Daryasena berkelit gesit dengan melompat ke belakang. Dan baru saja kakinya menjejak tanah, serangan Karyasena kembali datang. Tongkatnya berkelebat menghantam kepala. Cepat bagai kilat, Daryasena memalangkan tongkatnya di atas kepala.
Tak!
Begitu tongkat Karyasena terpental balik, Daryasena langsung membabatkan tongkatnya sekaligus menuju ke arah dada. Namun Karyasena cepat memutar tongkatnya pula.
Pertarungan antara dua orang saudara kembar ini berlangsung cepat dan hebat. Apalagi, mereka memiliki ilmu olah kanuragan dari sumber yang sama. Sehingga masing-masing saling mengetahui kelebihan dan kekurangan jurus satu sama lain. Tanpa disadari, pertarungan telah bergeser ke halaman rumah mewah ini. Keduanya terus saling gebrak, tanpa ada yang mau mengalah.
Tapi begitu menginjak jurus ke tiga puluh satu, terlihat Daryasena mulai terdesak hebat. Pemuda itu tidak habis pikir. Gaya serangan saudara kembarnya kini berbeda dan sama sekali tidak diketahuinya. Meski dia berusaha menghindar, tetap saja kewalahan. Apalagi Karyasena bisa membaca jurus yang digunakannya untuk menghindar.
Pada satu kesempatan, Daryasena melenting ke atas menghindari serangan. Tapi saat itu juga, ujung tongkat Karyasena berputar membentuk lingkaran. Sehingga, mau tidak mau Daryasena akan masuk perangkap. Terpaksa Daryasena menekuk tubuhnya menghindari sabetan tongkat. Dan baru saja Daryasena mendarat di tanah, sebuah kepalan tangan Karyasena mendadak meluruk menghantam ke arah dada. Cepat bagai kilat, Daryasena mengebutkan tongkatnya untuk menangkis. Namun Karyasena cepat menarik serangannya kembali. Pada saat yang sama dari arah samping ujung tongkat Karyasena berkelebat. Dan....
Crasss...!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, ujung tongkat Karyasena merobek dada bidang Daryasena. Saudara kembar Karyasena ini kontan terjajar beberapa langkah disertai pekik kesakitan. Darah tampak merembes dari dadanya. Langsung ditatapnya tajam-tajam Karyasena.
"Heh?! Jurus apa yang kau pergunakan itu?!" desis Daryasena. Tangan kirinya mendekap luka di dadanya.
"Hehehe...! Kau tak perlu heran, Daryasena. Kepandaianku semakin bertambah sejak mengembara setahun lalu. Aku berguru lagi pada banyak orang. Maka, tidak usah heran kalau aku dapat mengalahkanmu!" leceh Karyasena.
"Huh! Meski kau memiliki ilmu iblis sekalipun, jangan harap aku akan takut! Aku akan tetap memaksamu sampai kau ikut denganku!" dengus Daryasena.
"Hm, bandel!" Karyasena bersungut-sungut garang. "Aku masih memandang hubungan pertalian darah denganmu, sehingga masih mau mengampuni jiwamu. Tapi kau sungguh tolol jika mengira aku tidak berani membunuhmu. Daryasena! Aku akan membunuhmu hari ini!"
"Tidak usah banyak mulut! Lakukanlah kalau kau mampu!" sentak Daryasena.
"Huh!"
Karyasena kembali mendengus. Setelah kakinya maju selangkah ke depan, tubuhnya langsung meluruk menyerang disertai ayunan tongkatnya.
"Yiaaat...!"
Ujung tongkat Karyasena menyambar-nyambar mengincar keselamatan Daryasena dengan gencar. Meski sesekali Daryasena berhasil menangkis atau menghindar, tapi tak urung serangan Karyasena cukup mengejutkannya. Ini tidak mengherankan lagi, sebab banyak jurus milik Karyasena yang tidak dikenalnya. Sebaliknya Karyasena amat mengenal jurus-jurus saudara kembarnya itu dengan baik. Sehingga dengan cepat mampu mendesak Daryasena.
"Hiyaaat...!"
Daryasena membentak nyaring begitu tubuhnya mencelat ke belakang. Ketika mendarat empuk di tanah, telapak tangan kirinya dihentakkan ke arah Karyasena. Saat itu juga, dari telapak tangannya mendesir angin kencang berhawa panas.
Wesss...!
"Uts!" Namun Karyasena yang sudah mampu membaca serangan, cepat melenting ke atas. Begitu berada di atas, tubuhnya meluruk ke arah Daryasena dengan hantaman pukulan jarak jauhnya. Begitu cepat gerakan Karyasena, sehingga....
Des!
"Aaakh...!"
Daryasena kontan memekik keras begitu dadanya terhantam tongkat Karyasena. Tubuhnya terpental ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
"Karyasena! Habisi dia sekarang! Kalau tidak, kelak akan menjadi batu sandungan bagimu!" teriak seorang laki-laki tua berpakaian pendeta yang berada didekatnya.
Sementara itu Karyasena ragu-ragu untuk melanjutkan serangan. Tampak Daryasena megap-megap, berusaha bangkit dengan susah payah. Sementara darah berlelehan dari mulutnya.
"Ayo, Karyasena! Apa lagi yang kau tunggu?! Bunuh saja! Dia akan menjadi duri dalam hidupmu kalau dibiarkan hidup. Bunuh dia sekarang!" bentak pendeta itu lagi.
Karyasena melirik sekilas. Kemudian kembali kepalanya berpaling kepada Daryasena. Lalu....
"Yeaaa...!" Disertai bentakan menggelegar, gerakan cepat Karyasena mencelat kearah Daryasena dan siap menghabisinya. Telapak tangan kiri siap menghantam pukulan maut. Sedangkan tongkat di tangan kanannya berjaga-jaga jika Daryasena mampu menghindar.
"Uhhh...!" Daryasena melenguh pendek dengan sikap pasrah. Kepalanya sakit dan dadanya sesak. Pandangannya mengabur. Beberapa kali dia muntahkan darah segar bercampur warna kehitam-hitaman. Bukannya Daryasena tidak tahu adanya serangan. Namun dalam keadaan seperti saat ini, sulit baginya untuk menghindar. Pemuda itu hanya bisa duduk berlutut sambil memejamkan mata.
Tapi begitu serangan pukulan jarak jauh hampir menghantam Daryasena, mendadak berkelebat satu bayangan putih yang langsung menyambarnya.
Tap!
"Heh?!"
Glarrr...!
Tepat ketika pukulan jarak jauh Karyasena menghantam tanah tempat Daryasena tadi terjajar, bayangan itu sudah kembali berkelebat. Sementara bunyi ledakan keras terdengar, disertai bongkahan tanah yang terhantam pukulan jarak jauh tadi.
Belum sempat ada yang menyadari, sosok bayangan putih itu sudah melesat cepat, lalu melompati pagar yang cukup tinggi. Begitu cepat dan ringan gerakannya, pertanda sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
"Keparat! Siapa kira-kira dia, Wiku Timbal?!" tanya Karyasena kepada laki-laki berpakaian pendeta, begitu mereka tersadar dari keterpakuan.
"Entahlah.... Apa kau tidak punya dugaan bahwa itu kakekmu sendiri?" sosok berpakaian pendeta yang dipanggil Wiku Timbal malah balik bertanya.
Dahi Karyasena berkerut sebentar, lalu menggeleng kecil.
"Sejak kakek menyerahkan tampuk pimpinan kepada Daryasena, beliau memilih hidup mengasingkan diri...," desah Karyasena.
"Tidak mau mencampuri urusan dunia lagi?" tanya Wiku Timbal sambil tersenyum.
"Ya...."
"Kalau begitu, kenapa dia menyuruh saudaramu kesini dan memerintahkanmu agar menghadap kepadanya? Tahukah kau, untuk apa kau diperintahkan menghadap padanya?" tanya Wiku Timbal.
"Orang tua itu pasti akan mencoba untuk menghukumku!" desis Karyasena.
"Dia hendak turun mengurusi tingkah cucunya?"
"Ya!"
"Kalau begitu dia telah mengurusi hal-hal keduniaan. Itu berarti pertapaannya dibatalkan."
Karyasena terdiam. Dia mengerti apa yang dimaksud Wiku Timbal. Tapi bukan itu yang menjadi pikirannya saat ini.
"Aku yakin, itu bukan kakek. Kalau betul, dia tidak akan berbuat begitu. Kakekku berangasan. Kalau bermaksud menghukum, tentu tidak secara begini. Menyelamatkan Daryasena, lalu kabur...," gumam Karyasena.
"Lalu siapa? Apa salah seorang anak buah kakekmu?" desah Wiku Timbal.
"Tidak. Tidak ada yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat itu. Aku curiga pada seseorang...," ucap Karyasena terputus.
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti? Kau hendak menghubungkannya dengan cerita yang dibawa Diwangkara?" duga Wiku Timbal dengan kening berkerut.
"Ya, Orang itu suka ikut campur urusan orang. Dia akan menjadi batu sandungan bagi kita!" desis Karyasena.
"Tidak usah khawatir! Jumlah kita banyak. Dan kami bukanlah tokoh-tokoh tingkat rendah!" tandas Wiku Timbal.
Karyasena tersenyum seraya memandang sang wiku serta yang lainnya.
"Ya, aku percaya itu. Itulah sebabnya kalian kuajak bergabung. Nah! Aku inginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tangkaplah dia. Dan pancung kepalanya. Tidak seorang pun boleh menghalangi urusanku."
"Beres! Dalam waktu singkat akan kami bawakan kepalanya untukmu!" sahut Wiku Timbal.
Karyasena kembali tersenyum, lalu kembali ke rumah utama.

***

167. Pendekar Rajawali Sakti : Pengemis Bintang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang