BAGIAN 4

118 9 0
                                    

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih menghentikan makanannya, ketika mendengar pembicaraan orang-orang di dalam kedai yang cukup ramai ini. Keningnya jadi berkerut, seperti tak percaya.
Bergegas pemuda tampan dengan pedang tersilang di punggung ini beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri orang-orang yang sedang ramai berbicara itu.
"Maaf, Kisanak semua! Soal apa yang kalian bicarakan?" tanya pemuda itu.
"Partai Pengemis Bintang Emas mengamuk dan banyak membunuh penduduk Desa Arjawinangun ini," jelas seorang berusia lima puluh tahun.
"Partai Pengemis Bintang Emas? Bukankah mereka terkenal sebagai orang-orang yang suka menolong rakyat?" tanya pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Kau ketinggalan berita. Anak Muda! Itu dulu. Tapi sekarang, kawanan itu tidak ubahnya seperti perampok. Mereka memeras, membunuh, dan merampok harta benda penduduk. Serta segudang lagi perbuatan buruk yang dilakukan," jelas laki-laki tua itu dengan suara geram.
"Setahuku Partai Pengemis Bintang Emas dipimpin Ki Jembrana. Dan dia terkenal sebagai tokoh golongan putih. Bagaimana mungkin orang tua sepertinya tiba-tiba saja berubah pikiran seperti itu?" tanya Rangga seperti untuk diri sendiri.
"Ki Jembrana mungkin saja tidak melakukannya, tapi harus tetap bertanggung jawab!"
"Apa maksudnya?"
"Kawanan pengemis yang suka merampok itu dipimpin seorang pemuda bernama Karyasena. Entah apa hubungannya dengan Ki Jembrana. Tapi dia selalu mengatakan dari Partai Pengemis Bintang Emas dalam setiap sepak terjangnya," jelas orang itu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.
"Dan kau sendiri, apa urusannya tanya-tanya soal mereka? Apakah ingin bergabung juga?" tanya orang tua ini, seraya memandang ke arah teman-temannya.
"Ah, tidak! Mana mungkin aku bergabung?"
"Kenapa tidak? Banyak orang yang dulu berkata seperti itu. Tapi setelah berhadapan dengan kemewahan, bicara mereka jadi lain. Apalagi kawanan itu memang suka sekali mencari orang-orang tangguh untuk dijadikan kaki tangannya," tambah orang tua ini.
Pemuda berbaju rompi putih ini termangu, kemudian melangkah keluar kedai setelah membayar makanannya. Begitu tiba di luar, di ujung desa ini terlihat dua orang pengemis tengah berebutan buntalan kain lusuh dengan seorang wanita tua di depan sebuah rumah.
"Jangan! Jangan dibawa! Ini satu-satunya benda berharga yang kumiliki. Tolong, jangan diambil...!" ratap wanita tua itu.
"Keparat! Kau ingin mampus, he?!" sentak salah seorang pengemis sambil mencabut sebilah golok pendek yang terselip di pinggang.
Srang!
"Hih!"
Tanpa belas kasihan sedikit pun, golok itu diayunkan. Namun belum juga pergelangan tangan wanita itu jadi sasaran, mendadak berkelebat satu sosok bayangan putih. Lalu...
Trak!
Des!
"Aaakh!" Pengemis itu kontan terpekik kaget begitu senjatanya tahu-tahu mental entah ke mana. Bahkan dia langsung menjerit, ketika tiba-tiba saja perutnya terhantam pukulan keras, hingga terasa mulas.
Sementara pengemis yang satu lagi terkesiap. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, bayangan itu telah kembali berkelebat.
Des!
"Aaakh...!" Pengemis itu terpekik begitu perutnya terhantam sebuah pukulan telak. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang.
"Keparat! Siapa kau, hei?!" bentak pengemis yang pertama kali terhantam pukulan. Dia berusaha bangkit dengan muka meringis menahan rasa sakit.
Di depan pengemis itu kini berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dia tak lain dari Rangga yang di rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian tidak perlu tahu...!" desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Setan! Rupanya kau belum tahu siapa kami, he?!" bentak pengemis itu.
"Aku juga tak perlu tahu, siapa kalian. Yang jelas, aku tak bisa tinggal diam melihat kalian bertindak sewenang-wenang terhadap wanita tua itu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
"Keparat!" Dengan wajah gusar pengemis itu langsung mengayunkan tongkat menyerang. Sementara kawannya yang bersenjata golok ikut menyerang dari belakang.
"Heaaa...!"
"Uts!" Namun hanya meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindari serangan dari dua arah. Bahkan begitu kedua tangannya bergerak mengibas....
Duk! Des!
"Aaakh...!" Terdengar dua jeritan saling susul yang diikuti ambruknya dua pengemis itu. Telak sekali hantaman Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dada, membuat napas mereka terasa sesak.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak seorang pengemis, berusaha bangkit berdiri.
"Hm.... Kalian belum kapok, rupanya. Cepat pergi dari sini sebelum tubuhmu terbujur kaku di sini!" ujar Rangga, tenang.
"Kurang ajar!" Kedua pengemis itu memaki geram, namun tidak berani berbuat apa-apa lagi. Dengan muka gusar ditinggalkannya pemuda itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi sebaiknya cepat-cepat pergi dari sini. Jumlah mereka banyak dan amat tangguh. Kau akan celaka kalau terus berada di sini," ujar wanita tua itu, kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau begitu tunjukkan padaku, di mana sarang mereka?" tanya Rangga.
"Anak muda! Kau sungguh gila! Apakah sudah bosan hidup?!" bukannya menjawab, wanita tua itu malah terkejut.
"Nyisanak! Aku sama sekali tidak gila. Dan aku hanya ingin bicara dengan pimpinan mereka. Yah.... Siapa tahu bisa melunakkan hatinya...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Wanita itu mendesah seraya menggeleng perlahan.
"Entahlah, aku tidak mengerti. Banyak orang yang ingin menjauh dari mereka. Tapi kau malah ingin bertemu pimpinannya. Kecuali mereka yang ingin bergabung, apakah kau ingin bergabung dengannya?" tanya wanita tua ini dengan tatapan penuh selidik.
Rangga tersenyum.
"Mereka yang bergabung tentu menginginkan uang dan kekayaan. Tapi aku tidak seperti itu, Nyisanak!"
Wanita itu menggeleng lemah.
"Kalau kau tanyakan di mana tempat mereka, aku tidak tahu. Kecuali, kalau kau mau menunggu. Mereka pasti akan datang, sebab kau telah menghajar dua orang anggota mereka," jelas wanita tua ini.
"Kalau begitu akan kutunggu mereka di desa ini!" sahut Rangga enteng.
Wanita itu menggeleng tak percaya. Dan setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, dia segera masuk ke dalam rumahnya.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak kembali ke kedai, telah berlompatan beberapa sosok pengemis dari balik pohon dan rumah-rumah penduduk. Mereka langsung bergerak mengepung Rangga. Wajah mereka tampak beringas penuh dendam. Rangga berhenti melangkah, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Jumlah mereka tidak kurang dari sepuluh ketika Rangga menghitung dalam hati. Termasuk, dua orang yang tadi dihajarnya. Namun seperti tak ingin peduli, Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah.
"Berhenti kau, Bocah!" bentak pengemis yang bertubuh besar.
Orang itu berbaju serba hitam. Sepasang matanya tampak merah. Dengan cambang bauk dan kumis serta jenggot tebal jelas menambah keseraman wajahnya. Terlebih lagi ketika menyeringai lebar.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap dengan kening berkerut, begitu menghentikan langkahnya kembali.
"Hm.... Apakah kalian kawan dari dua pengemis yang terlalu memaksakan kehendak kalian sendiri?" gumam Rangga, tenang.
"Kurang ajar! Bocah sudah bosan hidup!" dengus laki-laki berbaju hitam itu. "Rupanya kau belum kenal Diwangkara, he?!" Dengan amarah yang meluap laki-laki yang mengaku bernama Diwangkara mencabut golok besar di punggungnya.
Sret!
"Kau akan mampus sekarang, bersiaplah!" desis laki-laki itu, geram.
"Heaaat...!" Diwangkara langsung melompat dengan ayunan senjatanya.
Wut!
Namun dengan gerakan ringan sekali. Rangga melenting ke belakang, sehingga serangan itu hanya menyambar angin kosong.
"He! Punya kebisaan juga rupanya, Monyet Buduk ini!" dengus Diwangkara geram.
Dan begitu serangannya gagal, Diwangkara kembali mencelat mengejar. Golok di tangannya siap menebas leher Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja mendarat empuk di tanah.
"Heaaa...!"
"Uts!" Namun dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan, Rangga berhasil menghindari serangan golok yang hanya beberapa rambut di depannya.
Serangan yang gagal membuat Diwangkara semakin geram saja. "Buangsaaat!" dengus laki-laki itu sambil menyeringai buas.
"Hm.... Sudah cukup bermain-main denganmu. Sekarang bukalah mata," ujar Rangga pendek.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke udara. Dan setelah berputaran dua kali, tubuhnya meluruk menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dengan kaki kanan mengancam batok kepala.
"Hiyaaat...!"
Diwangkara terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak amat cepat. Makanya dia tidak mau bertindak sembarangan. Cepat goloknya diayunkan, siap memapaki serangan.
Wut!
"Heh?!" Betapa terkejutnya Diwangkara ketika pemuda itu menarik kaki kanannya. Sehingga goloknya hanya memapas angin. Bahkan tahu-tahu, kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti menghantam pergelangan tangannya.
Plak!
Golok Diwangkara terpental tersambar kaki Rangga. Bahkan kaki itu cepat melepaskan tendangan menggeledek menghantam dada Diwangkara.
Des!
"Aaakh...!"
"Heh?!" Para pengemis yang lain terkesiap ketika Diwangkara jatuh tersungkur di dekat mereka.
"Seraaang...!"
Dan keterkejutan mereka hanya sebentar, karena selanjutnya seseorang memberi aba-aba. Maka serentak mereka maju mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
"Uts!" Rangga bergerak gesit. Cepat ditangkapnya pergelangan tangan salah seorang yang memegang golok. Begitu golok terlepas, Rangga cepat balik menyerang. Dengan golok di tangan, Rangga menangkis semua senjata dan menghantam mereka satu persatu.
Tak! Trak!
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
Empat orang kontan terjungkal dengan senjata terpental entah ke mana. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri benar-benar tidak memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melepaskan pukulan maupun sabetan golok.
Desss!
"Aaakh...!" Jerit kesakitan saling susul terdengar. Dan dalam waktu singkat para pengemis itu dibuat tidak berdaya.
Sebentar Rangga memperhatikan para pengemis yang bergelimpangan, lalu berbalik pada Diwangkara.
"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Diwangkara dengan hati kecut. Tapi dia tidak mau kehilangan muka di depan para pengemis, sehingga perlu membentak sambil berkacak pinggang.
"Maaf, agaknya kau bukan ketua pengemis ini, karena aku hanya perlu bicara dengannya!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
"Keparat! Di dalam partai pengemis, aku memiliki dua puluh anak buah. Apa kau kira aku tidak memiliki derajat?!"
"Aku tidak bilang kalau kau tak memiliki derajat. Hanya mungkin pandangan kurang luas untuk dapat mengenali seseorang," sahut Rangga tanpa bermaksud merendahkan.
Kata-kata pemuda itu membuat wajah Diwangkara merah menahan malu.
"Huh! Apa kehebatanmu?! Kau hanya bocah pentil yang baru saja turun gunung!"
Mendengar itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum dingin.
"Kalau memang aku hanya orang biasa, buat apa kau repot-repot mau tahu tentang diriku? Sampaikan saja pada ketuamu, Ki Jembrana, bahwa suatu saat aku akan berkunjung. Dan aku akan menanyakan, kenapa anak buahnya kini berubah menjadi kawanan perampok!" balas pemuda itu, pedas.
Namun sebelum Diwangkara menjawab....
"Rangga! Tentu saja aku akan senang hati menyampaikannya pada Ki Jembrana. Suatu kehormatan baginya bila mendapat kunjungan Pendekar Rajawali Sakti!"
Mendadak terdengar suara yang menyahuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum habis gema suara yang berisi tenaga dalam ini, berkelebat satu sosok bayangan yang kemudian mendarat disamping Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm....!" Begitu menoleh, tampak seorang berpakaian pengemis. Usianya sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tidak sekasar Diwangkara.
Sebaliknya Diwangkara terkesiap kaget. Bukan karena kehadiran pengemis itu, melainkan karena telah tahu, siapa pemuda yang tadi menjadi lawannya.
"Pendekar Rajawali Sakti?"
Rangga tidak menanggapi. Matanya melirik sekilas. Dan dia tahu kalau kawanan pengemis yang bersama Diwangkara tampak salah tingkah setelah kemunculannya pengemis yang baru datang ini.
"Rangga.... Perkenalkanlah aku yang rendah ini. Namaku Pamulang. Telah lama sekali kami memperingatkan mereka. Tapi orang-orang ini ternyata membandel. Dan Ki Jembrana bukannya tidak bertindak tegas, tapi karena mereka selalu bermuka dua di depannya," jelas pengemis yang baru muncul dan bernama Pamulang.
"Ki Pamulang, jangan merendah begitu. Kau dan aku mempunyai derajat sama. Nah, apa maksud kata-katamu tadi?" ujar Rangga, seraya menahan pundak Ki Pamulang yang hendak membungkuk memberi hormat.
"Mereka bukanlah anak buah Ki Jembrana yang asli, melainkan kaki tangan Karyasena...," jelas Ki Pamulang, setelah tubuhnya tegak kembali.
"Siapa itu Karyasena?"
"Murid dan sekaligus cucu angkat Ki Jembrana sendiri."
"Hm.... Kenapa bisa terjadi demikian?" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut dengan raut wajah bingung.
"Pamulang, tutup mulutmu! Bicara apa kau?! Mereka semua tentu saja anak buah Ki Jembrana. Hanya saja, di bawah kendali Ki Karyasena!" hardik Diwangkara.
"Siapa kau?! Aku kenal semua anggota partai pengemis. Tapi kau sama sekali asing bagiku. Kau pasti orang luar. Dan oleh karenanya, jangan campuri urusan pribadi pengemis!" sahut Ki Pamulang, sinis.
"Keparat!" Bukan main geramnya Diwangkara mendengar kata-kata itu. Amarahnya tidak tertahan lagi. Dan dengan geram, goloknya dicabut langsung melompat menyerang.
"Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu berani bicara seperti itu!"
Begitu selesai kata-katanya, Ki Pamulang cepat mengayunkan tongkatnya untuk menangkis golok Diwangkara.
Trak!
Dan tongkat runcing di tangan Ki Pamulang ternyata menjadi senjata yang cukup ampuh. Bahkan mampu meladeni serangan-serangan Diwangkara. Selesai terjadi benturan senjata, Ki Pamulang kembali mengebutkan tongkat runcingnya.
Diwangkara terkesiap melihat ujung tongkat itu hendak menyambar mukanya. Cepat tubuhnya mencekal ke belakang sambil jungkir balik. Namun baru saja kedua kakinya menjejak tanah, serangan Ki Pamulang yang cepat dan dahsyat telah kembali datang.
"Uts!" Diwangkara mencoba menjatuhkan diri ke samping, namun terlambat. Karena....
Bret!
"Aaakh...!" Tak urung pinggang Diwangkara tergores ujung tongkat Ki Pamulang, membuatnya mengeluh tertahan. Dan sebelum sempat bangkit berdiri satu tendangan keras meluncur ke dadanya.
Desss!
"Aaakh...!" Karuan saja Diwangkara terpental disertai jerit kesakitan, begitu dadanya telak sekali mendapat tendangan keras Ki Pamulang.
"Ayo, mau mencobaku lagi?!" ejek Ki Pamulang.
"Huh! Aku akan mengadakan pembalasan denganmu nanti! Tunggu saja saatnya!" dengus Diwangkara, berusaha bangkit berdiri walau tertatih-tatih. Diwangkara bermaksud angkat kaki dari situ sambil memberi isyarat pada anak buahnya.
"Kau boleh pergi karena bukan anggota partai. Tapi mereka tidak! Orang-orang ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Ki Jembrana!" ujar Ki Pamulang tegas.
"Tapi, Ki...." Para pengemis coba berdalih. Namun....
"Kalian berani mengikutinya, maka aku tidak segan-segan bertindak!" hardik Ki Pamulang, memotong.
"Aku mendapat perintah dari Ki Jembrana, boleh membunuh siapa saja anggota partai yang coba melawan untuk dibawa ke hadapannya!"
Anak buah Diwangkara kontan bergidik ngeri. Tak seorang pun yang berani beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika Diwangkara meninggalkan mereka sambil mendengus, tak seorang pun yang berani bergeming.
"Bagus! Ternyata akal kalian masih sehat, dan bisa membedakan keputusan apa yang harus diambil!" ujar Ki Pamulang.
"Tapi, Ki.... Kami hanya sekadar mengikuti perintah Karyasena saja...," sahut salah seorang pengemis, coba membela diri.
"Itu bukan tanggung jawabku. Katakan saja di depan Ki Jembrana. Dialah yang akan memutuskan, apakah kalian bersalah atau tidak. Tugasku hanya membawa kalian kembali!" tegas Ki Pamulang.
Kemudian Ki Pamulang memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga, maafkan. Karena kami harus buru-buru menghadap Ki Jembrana, maka kita tidak bisa saling tukar cerita. Kalau kau tidak keberatan, beliau tentu senang sekali mendapat kunjunganmu."
"Terima kasih, Ki Pamulang. Sampaikan saja salamku untuk beliau. Saat ini, aku belum bisa memenuhi undanganmu. Tapi mungkin lain kali...."
"Ah, sayang sekali. Tapi aku tak bisa memaksa agaknya. Baiklah. Kami tunggu saat itu, Rangga. Kapanpun kau datang, kami akan gembira menyambutnya. Mari, Rangga!"
Rangga membalas salam hormat orang itu sambil tersenyum. Kemudian memandang kepergian mereka beberapa saat, sebelum kembali dan melanjutkan perjalanan menuju arah yang tadi dilalui Diwangkara.

***

167. Pendekar Rajawali Sakti : Pengemis Bintang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang