DUA

8 2 0
                                    

Pertemuan yang awalnya direncanakan sebagai temu sapa telah berubah jadi permintaan penyelidikan. Pekerjaan yang dia terima sesuai dengan harapannya sebelum bertemu Denis dan Tasya. Tasya, putri dari korban terduga bunuh diri yang tidak mempercayai bahwa ayahnya bunuh diri. Seperti dirinya, Tasya ingin menelusuri kebenaran dari kematian ayah tercintanya.

Mereka akan kembali bertemu nanti malam di kediaman Tasya, yang juga jadi TKP. Menurut Tasya, mereka bisa langsung mengecek TKP dan berharap bisa menemukan petunjuk. Mungkin saja tidak banyak yang ditemukan karena polisi lebih dulu memeriksanya. Tapi, masih ada kemungkinan masih ada petunjuk yang terlewat.

Saat ini Alex menunggu dengan bosan di halte bus dekat dengan kafe. Denis dan Tasya telah pulang lebih dulu beberapa menit yang lalu. Sebenarnya Denis telah menawarkan tumpangan padanya, hanya saja dia menolak karena arah pulang mereka berbeda. Lagipula dia ingin mampir ke minimarket untuk berbelanja bahan makanan. Dia tipe orang yang paling malas keluar jika tidak ada kepentingan, jadi mumpung di luar dia sekalian saja berbelanja.

Sepuluh menit berlalu, masih belum ada tanda-tanda bus akan datang. Dia mulai bosan melihat begitu banyak orang berlalu lalang di hadapannya. Dia tidak menyukai keramaian seperti ini karena terlalu berisik. Baginya berisik membuat otaknya kehilangan kemampuan berpikir secara maksimal. Bagi detektif seperti dirinya kemampuan berpikir adalah hal terpenting. Dia membuka ponselnya untuk sekedar membaca berita atau pengetahuan yang diperlukan untuk menyokong pekerjaannya. Semua berita masih fokus pada kasus bunuh diri orang tua Tasya. Bahkan ada yang berspekulasi bahwa korban membunuh diri karena sudah mulai bangkrut atau terkena kasus korupsi. Dia tahu bahwa semua itu tidaklah benar, karena dia telah menyelidiki latar belakang kehidupan orang tua Tasya beberapa hari yang lalu karena dilanda bosan.

"Anu, Kak, permisi." Sebuah suara terdengar di sampingnya.

Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu menatapnya dengan memelas. Dari tampilannya, anak itu pastilah anak jalanan yang sudah biasa berada di sekitar. Wajah gadis itu tampak dekil dan juga pucat. Badannya yang kurus menandakan bahwa gadis itu benar-benar tidak terawat.

"Iya, Dek, ada apa?" tanya Alex tersenyum ramah. Dia tidak ingin langsung memberi anak itu uang jika tidak diminta. Alasannya sederhana, dia tidak ingin salah menduga dan malah menyakiti perasaan orang karena menganggap mereka pengemis.

Gadis itu menunduk. "Tolong aku," ucap gadis itu lirih menahan tangis.

Alex langsung terkesiap mendengar ucapan gadis itu. Bukan kata itu yang dia perhatikan, melainkan dari cara gadis itu mengucapkannya. Sebagai seorang detektif dia bisa mengetahui orang berbohong atau tidak dari caranya berucap. Dia sangat yakin bahwa gadis kecil itu tidak berbohong dan lagi dalam keadaan bahaya. Demi tidak membuat kecurigaan orang yang mungkin mengawasi gadis itu, Alex bersikap biasa. Lalu dia memberikan uang ke dalam kaleng kecil yang dipegang gadis itu. Hal ini tentu membuat gadis itu kecewa karena merasa tujuan aslinya tidak dipahami. Namun sebelum gadis itu pergi, Alex mendekatkan wajah ke arah telinga gadis itu.

"Aku tahu apa maksudmu sebenarnya," bisik Alex membuat cahaya harapan muncul di hatinya. "Jadi kembalilah ke orang itu. Aku akan mengikuti dari jauh."

Gadis itu mengangguk paham. Lalu gadis itu berlari kecil menuju ke belakang gang tidak jauh dari tempat Alex berada. Di gang itu Alex bisa melihat seorang pria bertopi hitam menatap gadis itu dengan lekat. Alex yakin bahwa orang itulah yang berada di balik kesengsaraan gadis itu. Perlahan dia mengikuti mereka dari kejauhan setelah kewaspadaan pria itu mulai berkurang.

Di dalam gang, gadis kecil itu dimarahi dengan sangat kasar, bahkan beberapa kali wajahnya ditampar. Gadis itu hanya menangis mendapat perlakuan kejam orang itu. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang semakin memerah. Alex langsung berlari mendekati mereka dengan amarah yang meluap-luap. Dia paling benci dengan penganiayaan seperti itu.

"Hei!" teriak Alex membuat pria itu berhenti melakukan aksinya.

Pria itu langsung menatap marah pada Alex. Marahnya semakin memuncak begitu mengetahui siapa orang yang mendekatinya. Tatapan tajamnya beralih kepada si gadis kecil yang semakin takut.

"Apa mau lo, hah?" tanya pria itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku celananya.

Alex berhenti dan langsung bersiaga. Dia tidak takut dengan pisau karena dia telah berlatih bela diri dan cukup ahli. Meski begitu dia harus tetap hati-hati agar tidak membuatnya mendapat luka.

Tanpa peringatan pria itu mengayunkan pisaunya ke arah leher Alex. Dengan mudah Alex menghindar. Lalu, Alex melancarkan pukulan balasan tepat ke arah perut pria itu. Berhasil, pria itu terpukul mundur sambil menahan nyeri di perutnya. Tidak tinggal diam, Alex kembali melancarkan tendangan menuju kepala pria itu dan kembali berhasil. Pria itu memegang kepalanya yang memusing. Sesekali dia menggelengkan kepalanya berharap pusingnya segera lenyap. Setelah beberapa detik, pria itu kembali bersiap-siap untuk menyerang. Serangan pria itu membabi buta dan berhasil membuat Alex kesulitan menghindar. Dari cara pria itu menyerang, Alex yakin kalau orang itu bukan hanya preman biasa, mungkin seorang profesional. Akhirnya pria itu berhasil melukai tangan kanan Alex hingga membuat darah segar menetes sedikit. Rasa nyeri menyerang luka itu, membuat Alex mulai kehilangan kewaspadaannya.

"Kak, awas!" teriak gadis itu tiba-tiba.

Untungnya karena teriakan itu Alex berhasil menghindari tusukan yang mengarah ke perut. Terlambat sedikit saja dia bisa terluka parah, bahkan bisa mati.

Pertarungan mereka terus berlangsung tanpa ada yang kalah dari keduanya. Serangan demi serangan fisik saling bergantian membuat luka memar menghiasi wajah keduanya. Pria itu jauh lebih tangguh daripada pria biasanya. Beberapa kali Alex hampir dijemput maut tatkala pisau itu mengincar leher dan perutnya. Alex mulai lelah dan kehabisan napas, sama seperti pria itu. Kalau dia tidak mengalahkannya sekarang, maka akan jadi ajang ketahanan tubuh.

Sebuah kesempatan akhirnya muncul saat pria itu tidak sengaja menjatuhkan pisaunya. Langsung saja Alex meninju rahang bawah pria itu. Mulut pria itu mengeluarkan darah. Posisinya pun kini mulai tidak beraturan yang menandakan bahwa telah diambang batasnya. Alex kembali melancarkan tendangan, namun mampu ditangkis oleh pria itu. Akibatnya tangan pria itu jadi gemetaran dan terasa nyeri. Pria itu menerjang untuk membalas pukulan Alex dengan tangan lainnya. Dengan mudah Alex menghindar dan memukul perut pria itu terpental. Pria itu tergeletak lemah di tanah, seluruh tubuhnya bergetar menahan sakit.

"Sialan lo," umpat pria itu berusaha untuk bangkit.

Alex kembali bersiaga jika saja pria itu kembali ingin menyerangnya. Ternyata tidak, pria itu langsung berlari meninggalkan dirinya dan si gadis yang mulai terlihat senang. Sebelum pergi, pria itu mendelik ke arah keduanya sebagai tanda bahwa dia masih belum selesai.

Begitu pria itu hilang dari hadapan mereka, mata Alex tanpa sengaja menatap sesuatu di tempat si pria terkapar. Sebuah kartu kecil dengan simbol burung gagak yang mencengkeram pedang di cakarnya tergeletak di sana. Alex menatap lekat-lekat simbol yang terasa mengganggu pikirannya. Dia menjelajah segala ingatan yang ada untuk mencari petunjuk tentang simbol itu. Namun nihil, simbol itu benar-benar asing di ingatannya.

"Apa Kakak baik-baik aja?" tanya gadis itu tampak khawatir.

Alex meletakkan kartu itu ke dalam saku celananya. Lalu, dia berbalik menatap gadis dengan senyuman menghiasi bibirnya. Dielusnya kepala gadis mungil itu dengan lembut dan juga kehangatan.

"Aku baik-baik aja," jawab Alex membuat gadis itu sedikit lega.

Alex meregangkan badannya yang terasa pegal dan sakit akibat pertarungan tadi. Tidak lupa dia memasangkan selotip luka yang selalu dibawanya. Sekarang dia lebih baik membawa gadis ke tempat aman dan nyaman lebih dulu.

* * * * *

The True Light on NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang