SATU

13 5 1
                                        

Seperti biasanya, Alex yang bosan menatap jalan di bawahnya dari balik jendela kantornya. Sudah seminggu berlalu sejak dia mendapatkan klien untuk pekerjaannya. Bekerja sebagai detektif swasta tentu tidaklah mudah. Meski kemampuannya lebih dari orang-orang di kepolisian, tetap saja sulit jika namanya tidak dikenal. Sudah beberapa kali dia melakukan promosi, baik melalui brosur maupun iklan koran, namun masih tidak banyak membantu.

Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan tidaklah terlalu menyenangkannya. Nenek tua di seberang kantor kehilangan kucing kesayangannya dan menyewa jasanya untuk mencari. Tidak perlu waktu lama baginya untuk menemukan karena kucing itu hanya berkeliaran di sekitar blok untuk mencari kucing betina, maklum sudah musim kawin. Dia rindu dengan kasus-kasus rumit yang memutar otak. Baginya itu adalah adrenalin yang mampu memuaskan hasrat otaknya.

Alex berjalan menuju TV untuk mencari informasi yang mungkin berguna. Seperti yang dia duga, acara TV hanyalah sekumpulan orang konyol yang memaksa lucu meski menyakiti hati orang lain. Dia tidak membenci orang-orang seperti itu, hanya saja dia muak melihat tingkah mereka. Dia mencari acara lain yang pastinya lebih berguna. Akhirnya, berita nasional berhasil dia dapatkan. Kebanyakan yang muncul hanyalah berita tentang korupsi dan juga informasi umum. Hingga akhirnya dia menemukan berita yang membuatnya tertarik. Beberapa hari yang lalu, kotanya dihebohkan oleh kasus bunuh diri seorang pemilik perusahaan besar. Setelah melakukan penyelidikan menyeluruh, polisi memutuskan bahwa itu memang kasus bunuh diri. Pihak keluarga meyakini bahwa itu pembunuhan karena korban sama sekali tidak seperti orang yang ingin bunuh diri. Namun, karena tidak ada bukti, sehingga kasus itu tetap dinyatakan sebagai bunuh diri.

Memang kasus bunuh itu sedikit aneh menurut pendapatnya pribadi. Terlalu sempurna jika itu disebut bunuh diri, bahkan ruangannya pun bersih. Selama beberapa hari terakhir pun dia mencoba memecahkan kasus itu dengan informasi yang seadanya, namun tidak ada yang dia dapatkan. Seakan bukti-bukti menghilang ditelan bumi secara bersamaan.

"Andai saja pihak keluarganya mau menyewaku untuk menyelidiki kasus bunuh diri itu," harapnya begitu berita itu telah selesai.

Dia beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Sore ini dia ada janji untuk bertemu dengan teman lamanya semasa kuliah. Sudah beberapa tahun berlalu sejak mereka bertemu terakhir kali.

Tidak perlu waktu lama baginya untuk mandi. Dia segera mengenakan pakaian kasualnya karena pertemuannya kali ini bukan untuk pekerjaan. Lagipula dia lebih suka berpenampilan seperti itu daripada harus memakai setelan jas yang merepotkan. Diliriknya jam tangannya yang masih menyisakan beberapa jam lagi dari waktu perjanjian. Dia masih bisa sedikit bersantai sembari menunggu.

Dari ponselnya terdengar nada dering tanda ada yang menelepon. Dengan cepat dia mengangkat panggilan itu begitu mengetahui nama temannya lah yang tertulis di layar ponselnya.

"Ada apa, Den?" tanya Alex setelah sebelumnya berbalas salam.

Jaringan di kantor yang juga merupakan rumahnya itu memang kurang bagus, sehingga dia cukup sulit untuk mendengar. "Ap … lo … be … m … rang … t…." Itulah yang dapat dia dengar.

"Kenapa, Den? Suara lo putus-putus," ucap Alex berharap temannya mampu mendengar suaranya.

Setelah itu telepon pun mati. Tidak lama setelah itu masuk pesan ke ponselnya. Dia tampak heran saat dia membaca pesan "apa lo masih belum berangkat?" itu. Padahal waktu yang dijanjikan masih lama, mengapa Denis menanyakan hal itu. Tidak lama kemudian muncul pesan lainnya yang membuatnya langsung terkejut. Isi pesan itu "sekarang udah jam 4, kok lo belum nongol juga. Gua udah di kafe nih." yang berhasil membuatnya langsung melirik jam. Di jam tangannya masih menunjukkan pukul 2 lebih sedikit. Tunggu. Jamnya telah mati. Detiknya tidak bergerak sedari tadi. Pantes saja dia merasa aneh karena waktu berjalan begitu lambat. Itu artinya dia telah terlambat untuk bertemu dengan Denis.

Bergegas saja dia menuju pintu keluar setelah mengambil tas selempang yang biasa dibawanya. Tidak lupa dia mengunci pintu sebelum meninggalkan kantornya. Meski tidak ada barang berharga di sana, dia harus tetap hati-hati. Dia pun berlari menuju halte bus yang jaraknya tidak jauh. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya bus tiba dan dia langsung bergegas naik menuju tempat tujuannya.

* * *

Menurut jam di ponsel, dia telah terlambat hampir setengah jam. Hal itu karena dia kelupaan turun dari bus hingga terlewat, akhirnya dia terpaksa berlari. Setelah perjuangan yang melelahkan, akhirnya dia telah tiba di depan kafe tempat Denis menunggu. Di dalam kafe penuh dengan pelanggan dengan segala jenis usia. Seperti yang ditulis di pesan, Denis berada di bagian paling pojok kiri kafe. Yang membuatnya heran, Denis tidak sendirian duduk di sana. Seorang wanita muda yang cantik bak seorang model tengah berbicara akrab dengan Denis. Dia tidak kenal dengan wanita itu, tapi dia tidak terlalu peduli juga.

"Lama amat lo, Lex," keluh Denjs begitu Alex tiba di mejanya.

Alex duduk di sebelah Denis dengan menghela napas lelah. "Jam tangan gua mati. Kalo lo gak nelpon, gua mana sadar udah jam 4 lebih,” jelas Alex langsung menenggak minuman milik Denis.

Denis mendengus kesal. Padahal dia baru minum sedikit, tapi minumannya itu kini telah habis dalam sekali tegukan. Dia memesan kembali minuman, sekalian memesankan minuman untuk Alex yang tampak masih kehausan.

"Dia siapa, Den?" tanya Alex menatap selidik kepada wanita yang ada di depannya.

Denis menyeruput minumannya yang baru tiba. "Dia teman gua waktu tinggal sama nenek dulu," jawabnya.

"Nama gua Natasya Adelia Wijaya, panggil aja Tasya atau Adel." Wanita itu mengenalkan diri.

Alex pun juga mengenalkan dirinya sendiri. Basa basi dan perkenalan mereka terasa sedikit canggung. Alex memang tidak terbiasa berbicara dengan wanita cantik seperti Tasya. Beberapa kali dia salah bicara saat tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan mata indah milik Tasya. Wanita itu sangat menawan dan benar-benar idamannya.

Denis menjelaskan bahwa awalnya dia ingin menemui Alex sendirian karena sudah lama tidak bertemu. Namun sebelum dia berangkat, Tasya meneleponnya dan meminta tolong sesuatu. Tasya sedikit tahu kalau Denis memiliki teman yang seorang detektif swasta. Karena berteman lama, Tasya percaya kalau teman Denis seorang detektif asli, bukan detektif palsu seperti yang dia temukan beberapa waktu yang lalu.

"Memang apa yang kamu perlukan dengan detektif swasta sepertiku?" tanya Alex menjadi antusias.

"Kamu tahu kan dengan kasus bunuh diri seorang pimpinan perusahaan besar beberapa hari yang lalu?" Tasya malah balik bertanya.

Alex mengangguk. "Tentu saja, kasus itu menjadi trending di seluruh berita," jawabnya.

Terlihat raut kesedihan di wajah cantik milik Tasya, seakan ada kesedihan yang meresap masuk ke dalam hatinya. "Aku ingin kamu menyelidiki kebenaran dari kasus itu," pinta Tasya menahan air mata yang ingin jatuh ke pipi merahnya.

"Memangnya kamu siapanya korban?" tanya Alex semakin tertarik dengan kasus bunuh diri aneh itu.

Air mata telah jatuh dari mata indah milik Tasya. "Aku putri dari pimpinan perusahaan itu."

* * * * *

The True Light on NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang