TIGA

6 2 1
                                    

"Nama kamu siapa, Dek?" tanya Alex kepada gadis yang telah mampu tersenyum.

"Ira," jawab gadis itu.

Alex pun menanyakan beberapa hal pada Ira. Dari cerita Ira, Alex mengetahui bahwa gadis malang itu menjadi yatim piatu di usia yang masih sangat muda. Saat ini Ira tinggal di sebuah panti asuhan yang ada di pinggiran kota dan telah hidup di sana selama dua tahun. Selama hidup di sana, Ira dipaksa untuk mengamen atau mengemis di jalanan kota. Jika mereka tidak banyak bawa uang, maka mereka tidak diberi makan. Selama tinggal di sana Ira hidup menderita dan hanya bisa menangis dengan takdirnya. Awalnya dia ingin melarikan diri saat pria tadi lengah mengawasinya. Namun, hal itu tidak jadi karena pertolongan Alex.

Mendengar kehidupan Ira yang begitu malang di usia yang seorang anak kecil membuat Alex iba. Alex yang juga seorang yatim piatu di usia remaja dan memiliki kakak masih terbilang beruntung dari Ira. Bahkan Ira sendiri tidak punya keluarga di kota ini karena orang tuanya adalah perantauan dari desa. Ira tidak pernah tahu dimana desa tempat kerabatnya berada. Jadi saat orang tuanya meninggal akibat kecelakaan, dia langsung diserahkan ke panti asuhan oleh tetangganya.

Alex berpikir keras. Dia tidak mungkin membawa Ira ke kantornya, bisa-bisa orang akan menganggapnya penculik atau pedofil. Tapi dia juga tidak bisa mengembalikan Ira ke panti asuhan yang berbahaya seperti itu. Alex tahu panti asuhan mana yang Ira maksud karena dia pernah mendengar beberapa rumor buruk dari panti asuhan itu. Tapi, karena kurangnya bukti maka rumor itu hanya dianggap sebagai fitnahan tidak berdasar. Tapi mendengar tuturan Ira yang diyakininya tidak berbohong membuatnya jadi tertarik pada rumor itu. Mungkin jika soal tempat tinggal Ira ini selesai, dia akan menanyakan pada kakak iparnya yang bekerja sebagai polisi. Tunggu! Tunggu! Kenapa dia tidak memikirkan cara itu sejak tadi. Kakaknya belum memiliki anak meski sudah menikah lama. Juga kakaknya sering menelponnya untuk meminta pendapat soal adopsi anak jika terus seperti itu. Ini suatu kesempatan sempurna, meski Ira terlalu tua untuk anak adopsi yang diinginkan kakaknya. Walau kakaknya menolak adopsi Ira, setidaknya mereka bisa merawat Ira untuk sementara waktu.

"Kamu mau ikut aku, gak?" tawar Alex.

Ira tampak bingung. "Kemana, Kak?"

"Ke rumah kakakku. Aku akan minta mereka untuk rawat kamu sementara waktu," jelas Alex.

"Apa aku tidak merepotkan mereka?” tanya Ira tampak khawatir.

Alex menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Lagipula mereka belum memiliki anak, mungkin saja mereka mau mengadopsi kamu,"  tambah Alex.

Mendengar Alex mengucapkan kata 'adopsi' membuat Ira menjadi sedikit bersemangat. Selama ini dia mengharapkan ada yang mau mengadopsinya, menganggapnya keluarga dan anak meski hanya anak angkat. Sekarang dia bisa saja diadopsi meski harapannya masih belum pasti. Tapi dia tidak ingin melewatkan kesempatan langka ini. Ira pun mengangguk setuju dengan tawaran Alex.

Mereka pun meninggalkan gang yang menjadi saksi bisu pertarungan Alex untuk memperjuangkan kebebasan orang lain. Saat keluar gang Alex bisa melihat kalau bus yang ditunggunya sedari tadi baru saja pergi meninggalkan halte. Alex merengus kesal, tapi juga tampak lega. Jika dia pergi menggunakan bus umum, tentu akan semakin banyak orang yang curiga karena dia membawa Ira. Tidak ada pilihan lain kecuali dia berjalan kaki menuju rumah kakaknya yang lumayan jauh.

* * *

S

enja telah hilang digantikan malam saat Alex tiba di rumah kakaknya. Rumah kakaknya tidak terlalu besar dan tampak sederhana, tapi begitu bersih dan terawat. Tanaman hias di pot yang tersusun rapi di teras rumah memberi rasa tenang dan segar. Kicauan burung milik kakak iparnya selalu terdengar merdu, selalu berhasil membuatnya terlena. Alex pernah bertanya tentang harga burung yang eksotis itu. Ternyata harganya lebih dari sepuluh juta, pantas saja memiliki suara yang sangat indah.

Alex meminta Ira untuk istirahat di bangku panjang di teras. Ira tampak sangat kelelahan dengan air keringat tanpa henti mengalir membasahi dahi. Alex hanya tertawa kecil saat melihat gadis kecil itu membaringkan diri di bangku itu.

Tidak lama setelah mengetuk tanpa henti, akhirnya pintu terbuka. Terlihat seorang wanita berdiri dengan kesal dengan sendok sayur di tangan kanannya. Alex yakin kalau kakaknya itu tengah memasak makan malam.

"Sudah Kakak beritahu jika mengetuk pintu itu gak usah kayak gitu," ucap kakaknya kesal. "Kayak anak kecil."

Alex menyengir. "Hehehe, maaf, Kak. Kebiasaan soalnya," ucapnya beralasan.

"Lagipula dengan cara itu Kakak bisa tahu kalo gua yang datang," tambahnya.

Kakaknya mendelik. "Memang iya, tapi berisik."

Bukannya minta maaf, Alex malah tertawa melihat ekspresi kakaknya yang dibuat marah. Begitulah mereka berdua, selalu akrab meski kadang Alex suka usil. Hanya ada mereka berdua, jadi tentu mereka saling peduli satu sama lain. Meski begitu Alex juga tidak suka terbuka soal sesuatu yang bisa mengancam nyawanya. Dia tidak ingin kakaknya menjadi khawatir, apalagi soal pekerjaannya yang berbahaya.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu berantakan begitu?" tanya kakaknya begitu menyadari bahwa di wajah Alex terdapat memar.

Sebelum bercerita, Alex lebih dulu memperkenalkan Ira yang masih menunggu dengan sabar. Alex menceritakan tentang kemalangan yang menimpa Ira, juga tentang perkelahiannya dengan pria yang menjadi pengawas Ira. Saat di bagian panti asuhan, kakaknya seakan teringat sesuatu yang penting soal itu. Suaminya pernah bercerita padanya tentang kebobrokan panti asuhan yang harus dia lepaskan karena tidak ada bukti. Saat itu suaminya sangat depresi, bahkan hampir dipecat jika terus menyelidiki tentang panti asuhan itu secara diam-diam. Ira yang kelelahan dan lapar kembali membaringkan diri di kursi panjang. Melihat itu kakaknya Alex langsung mengajak Ira dan Alex masuk untuk beristirahat di dalam.

"Lebih baik kamu mandi dulu ya, Ra," ucap kakak Alex menyarankan. "Nanti soal pakaian biar Ibu yang siapkan."

"Terima kasih … Bu…," ucap Ira bingung harus melanjutkan kata-katanya.

"Panggil saja Bu Sarah," ucap kakaknya Alex mengerti kebingungan Ira.

Ira pun pergi menuju ke kamar mandi setelah Sarah memberitahukan letaknya. Tidak lupa gadis kecil itu mengambil salah satu handuk yang boleh digunakan olehnya. Langkah gadis itu tampak riang seakan kemalangan yang selama ini menimpanya telah menghilang.

Alex menyadari cara memandang Sarah saat melihat Ira tampak terharu. Dia yakin apa yang dipikirkan kakaknya itu sama seperti yang dia inginkan juga. Ira anak yang manis dan juga ramah. Selama mereka berdua berbincang di depan rumah, Ira sama sekali tidak ikut bersuara dan hanya menunggu. Dia yakin kalau Ira diajarkan sopan santun dan perilaku yang baik dari almarhum kedua orang tuanya.

"Kurasa Kakak harus mengadopsinya," ucap Alex yang membuat Sarah langsung melongo.

"Kamu juga setuju kalau dia juga jadi anggota keluarga kita?" tanya Sarah ingin memastikan.

Alex mengangguk. "Kenapa tidak? Lagipula Ira anak yang baik dan juga ramah," jawabnya.

"Itu juga alasan mengapa aku membawa Ira ke sini. Di samping dia tidak boleh kembali ke panti asuhan, dia juga berhak mendapatkan keluarga baru yang menyayanginya," tambah Alex.

Sarah terharu mendengar apa yang diucapkan oleh adik kandungnya itu. Selama ini mereka selalu berdua, hingga suami Sarah datang menambah kehangatan keluarga mereka. Beberapa tahun belum mendapatkan momongan membuat Sarah sedikit frustasi dan terguncang. Perasaan ingin menjadi seorang ibu meluap-luap malah membuat hatinya semakin sedih. Hari ini adiknya membawakan seorang gadis imut yang telah menjalani kerasnya kehidupan, bahkan di usia muda. Tidak ada alasan baginya untuk menolak kehadiran Ira di keluarga kecil mereka.

"Nanti aku akan membicarakan hal ini dengan Mas Ridwan begitu dia pulang," ucap Sarah memutuskan.

* * * * *


The True Light on NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang