BAGIAN 1

202 7 0
                                    

"Oh, Kakang Rangga.... Kenapa sampai saat ini kabarmu tak juga kudengar? Sudah sepuluh purnama kau mengembara. Dan biasanya, lewat telik sandi kau selalu mengirimi aku kabar. Hhh...," desah seorang gadis cantik berbaju biru yang tengah duduk di sebuah kedai yang tak begitu ramai.
Gadis berbaju ketat warna biru ini, agaknya tidak bisa dianggap sembarangan. Sebuah pedang bergagang kepala naga yang tersampir di punggung dan sebuah kipas baja yang terselip di pinggang, membuktikan kalau gadis ini berasal dari rimba persilatan. Dan memang gadis cantik berbaju ketat warna biru ini tak lain dari Pandan Wangi. Di kalangan kaum persilatan, dia dikenal sebagai si Kipas Maut.
Keberadaan Pandan Wangi di tempat ini, sebenarnya memang untuk mencari Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Setelah menunggu sekian lama di Istana Karang Setra, gadis itu memutuskan mengembara untuk mencari kekasihnya yang sampai saat ini tak jelas rimbanya. Itu bisa dimaklumi, karena Pendekar Rajawali Sakti selain sebagai Raja Karang Setra, juga sebagai pendekar yang suka mengembara.
Pandan Wangi terus duduk termangu menghadapi hidangan yang tersedia di depan meja. Meski perut lapar, namun mulutnya seperti enggan membuka. Diteguknya isi bumbung bambu sebentar, lalu mulai menyantap makanan sedikit demi sedikit. Namun baru beberapa kali kunyahan....
"Ehm! Ehm...!"
"Eh?!" Pandan Wangi langsung menoleh ke kiri mejanya. Rupanya, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun telah berdiri di samping kirinya. Tanpa mempedulikan gadis ini terus saja bersantap.
"Sendiri saja...?" tegur laki-laki berwajah kasar dengan bibir dower.
"Maaf, Kisanak. Aku tak ingin diganggu," ucap Pandan Wangi, halus,
"Bagaimana kalau kutemani?"
Belum juga Pandan Wangi menjawab, tiba-tiba laki-laki dower ini menarik kursi dan duduk di depannya. Bahkan dengan senyum yang lebih mirip seringai, laki-laki itu memandangi Pandan Wangi, seperti ingin menikmati kecantikannya. Kedua tangannya diletakkan di meja. Dan perlahan-lahan, tangan itu mendekat, hendak menggapai tangan Pandan Wangi.
Si Kipas Maut yang memang sudah kesal, tentu saja tak ingin diperlakukan demikian. Seketika kakinya terayun, menendang kursi yang diduduki laki-laki itu. Dan....
Brak!
"Aaakh...!" Tidak ayal lagi, laki-laki bermuka bulat itu terjungkal ke belakang. Begitu tubuhnya menghantam lantai kedai terdengar keluhan kesakitan dari mulut.
"Kurang ajar! Rupanya kau belum kenal Sangkuling, he?!" dengus laki-laki itu geram, seraya bangkit berdiri.
Laki-laki yang mengaku bernama Sangkuling melangkah gusar mendekati Pandan Wangi yang tetap melanjutkan santapan seperti tidak ada kejadian apa-apa. Begitu mencapai setengah tombak di depan gadis itu, Sangkuling langsung mencabut goloknya.
Srang!
Dan secepat itu pula golok itu berkelebat cepat. Dan...
Brak!
Meja di depan Pandan Wangi kontan hancur berantakan menumpahkan makanan dan minuman di atasnya, terhantam golok Sangkuling. Namun entah bagaimana caranya tahu-tahu Pandan Wangi telah hilang dari pandangan. Sangkuling kebingungan. Dan mendadak seseorang mencoleknya dari belakang.
"Heh?!" Saat Sangkuling berbalik....
Des!
"Aaakh...!" Tiba tiba satu sikutan keras menyodok dada Sangkuling, membuatnya terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak.
"Kau, benar-benar tak punya tata krama, Kisanak!" dengus si Kipas Maut ketus sambil berkacak pinggang.
"Kurang ajar! Gadis liar! Rupanya kau punya kepandaian juga, he? Baik! Akan kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" desis Sangkuling, melotot garang.
Setelah berkata, Sangkuling kembali melompat menyerang sambil menyabetkan golok ke sana kemari, mengancam keselamatan Pandan Wangi.
Bet! Bet!
Tapi si Kipas Maut memang bukan pendekar kemarin sore. Dengan lincah tubuhnya berkelit menghindar. Dan tiba-tiba diayunkannya satu tendangan tepat ke ulu hati
Desss...!
"Aaakh...!" Untuk kesekian kalinya, Sangkuling menjerit kesakitan begitu tendangan Pandan Wangi tepat mendarat di sisinya. Tubuhnya kontan terjungkal membentur tonggak ruangan kedai ini.
"Sial!" rutuk Sangkuling semakin geram. Dengan susah payah, dia berusaha bangkit kembali.
Meski perutnya sakit dan pandangannya sedikit berkunang, tapi Sangkuling kelihatannya belum kapok. Dengan bernafsu laki-laki itu kembali meluruk dengan sabetan goloknya.
"Rupanya kau terlalu keras kepala, Kisanak! Baiklah, kalau itu maumu!" desis Pandan Wangi, kesal. Secepat itu pula si Kipas Maut mengegoskan tubuhnya ke kanan, saat Sangkuling mengayunkan golok. Dan secepat kilat ditangkapnya pergelangan tangan laki-laki gemuk itu, kemudian dipelintir ke belakang.
Tap!
Bersamaan dengan itu, sebelah kaki Pandan Wangi menghantam pinggang.
Desss...!
"Aaakh...!"
Brakkk...!
Tak ayal lagi, tubuh Sangkuling terjajar ke depan dan langsung menghantam meja yang langsung ambruk bersamanya. Laki-laki gemuk itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi pinggang saat bangkit berdiri. Kali ini, kelihatannya dia mulai kapok. Dan tanpa banyak suara lagi dia meninggalkan kedai. Masih sempat matanya melirik dengan sorot mata mengancam sebelum akhirnya keluar dari kedai ini.
"Huh...!" Pandan Wangi mendengus sinis, lalu kembali mencari meja kosong dan duduk dengan tenang tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya. Bahkan para pengunjung kedai berdecak kagum melihat sepak terjangnya tadi.
"Hebat sekali! Bukan main...!"
Terdengar sebuah suara bernada pujian dari belakang Pandan Wangi. Gadis berjuluk si Kipas Maut ini menoleh. Ternyata suara tadi datangnya dari seorang pemuda cukup tampan berpakaian kuning gading.
Dengan senyum ramah, pemuda itu menghampiri Pandan Wangi yang justru memandang dengan sinar mata tajam. Seakan-akan gadis ini ingin menumpahkan kekesalannya lagi.
"Pergilah, Kisanak. Aku bisa bertindak lebih keras lagi daripada orang tadi!" ujar Pandan Wangi, bernada mengancam.
Namun belum lagi pemuda itu menjawab, seorang laki-laki tua yang ternyata pemilik kedai datang menghampiri. Wajahnya tampak ragu dan bingung. Dipandangnya sejenak pemuda itu. Lalu beralih pada Pandan Wangi.
"Ada apa?" tanya si Kipas Maut, keras.
"Eh! Anu..., ng.... Siapa yang akan mengganti kerusakan tadi, Nisanak? Sangkuling telah kabur begitu saja. Lagi pula, dia punya pimpinan yang menguasai tempat ini. Mana mungkin aku meminta ganti padanya...," ratap pemilik kedai, mengiba.
"Jangan khawatir. Biar aku yang akan menggantinya!" sahut pemuda berpakaian kuning gading itu seraya mengeluarkan empat keping uang emas yang langsung diberikan kepada pemilik kedai.
"Hah?!" Bola mata pemilik kedai itu berbinar-binar seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kenapa? Apakah jumlah itu tidak cukup?" tanya pemuda ini dengan kening berkerut.
"Cukup! Lebih dari cukup. Terima kasih, Den! Eh, mau pesan apa lagi?" sahut pemilik kedai ini kegirangan.
"Sediakan sebumbung arak buatku. Dan..., gadis ini terserah apa maunya!" ujar pemuda itu seraya duduk di depan.
"Nisanak, mau makan apa lagi? Apa..., makanan yang tadi dirusak Sangkuling?" tanya pemilik kedai itu.
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus. Lalu dia bangkit berdiri dan bergegas meninggalkan kedai.
"Eh, mau ke mana?! Tunggu dulu! Pesananmu belum disediakan!" tanya pemuda itu, berteriak.
Tapi percuma saja berteriak-teriak. Sebab Pandan Wangi terus saja keluar dari kedai itu. Pemuda itu agaknya tidak cepat putus asa. Dia langsung langsung bangkit dan mengejar.
"Den! Pesanannya bagaimana?!" tanya pemilik kedai itu berteriak mengingatkan.
"Tidak jadi!" sahut pemuda itu, langsung melangkah keluar.
"Ini..., eh! Uang ini?!"
"Tidak apa. Ambil saja semua!"
"Ohhh...!" Pemilik kedai itu kembali mendesah dengan wajah cerah. Baru saja dia merasa masygul karena kerusakan yang menimpa perabotan kedainya, dan tahu-tahu seseorang mengganti dengan empat keping emas. Jauh di atas harga kerusakan yang terjadi.
Sementara itu Pandan Wangi telah melompat ke punggung kuda putih yang tertambat di muka kedai. Sedangkan pemuda yang mengintilnya terus melangkah, dan juga menaiki kudanya yang berwarna coklat.
"Nisanak, maafkan aku. Namaku Pranaja. Aku sama sekali tidak bermaksud mengganggumu...," usik pemuda yang mengaku bernama Pranaja berusaha bersikap ramah.
Namun si Kipas Maut sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan gadis itu terus menggebah kudanya.
"Heaaa...!" Dan pemuda itu ternyata memang gigih. Secepat itu pula dikejarnya Pandan Wangi, langsung menjajari langkah kudanya sambil tersenyum-senyum. Namun baru saja hampir tiba di ujung desa, tahu-tahu berlompatan beberapa orang menghadang.
"Berhenti kalian!" Terdengar bentakan keras menggelegar bernada perintah dari salah satu dari penghadang yang berjumlah sebelas orang itu. Orang yang membentak barusan, berada paling depan. Dia adalah laki-laki tua kurus berbaju hitam. Matanya sayu. Kedua bahunya agak tinggi. Tampak sebilah golok panjang terselip di pinggang.
Sementara Pandan Wangi segera menghentikan laju kudanya, diikuti Pranaja.
"Siapa kalian?!" tanya si Kipas Maut tidak kalah garang.
Tapi ketika melihat kalau salah seorang penghadang adalah laki-laki yang dicundanginya di kedai tadi, Pandan Wangi sedikit mengerti apa yang diinginkan.
"Hm, boleh juga...!" gumam laki-laki kurus berbaju hitam sambil memandang Pandan Wangi dengan mata menyelidik.
"Hehehe...! Kau tengah berhadapan dengan Ki Tanggok, Cah Ayu! Seorang anak buahku mengatakan, ada bidadari yang tengah turun ke mayapada. Ternyata dia benar. Telah lama aku bermimpi tidur dengan bidadari. Dan agaknya, hari ini akan terlaksana!"
Sementara anak buah laki-laki berbaju hitam benama Ki Tanggok itu kontan terbahak-bahak, mendengar kata-kata pimpinannya.
"Bajingan-bajingan berotak kotor! Menyingkirlah! Aku masih bisa menahan sabarku kali ini!" kata Pandan Wangi lantang.
"Apa? Coba dengar! Tidakkah kalian lihat dia begitu garang? Bidadari yang galak! Ah, menyenangkan sekali! Hahaha...!" leceh Ki Tanggok tersenyum mengejek, sambil memandangi anak buahnya.
"Mungkin ingin cepat-cepat merasakan dekapan mesramu, Ki!" teriak seseorang yang berdiri di belakang Ki Tanggok.
"Ya! Kenapa mesti berlama-lama? Begitu kau perintahkan, maka kami akan menangkapnya untukmu!" timpal yang Iain.
"Hehehe...! Tangkaplah dia. Dan hati-hati! Jangan sampai sehelai rambutnya rontok!" ujar Ki Tanggok, disertai senyum menggiriskan.
Ki Tanggok lalu memandang pemuda yang berada di samping Pandan Wangi sambil menyipitkan mata.
"Dan singkirkan dia! Jangan sampai batang hidungnya kulihat lagi!" dengus orang tua itu dengan tudingan sinis.
"Beres, Ki!"
Segera anak buah Ki Tanggok membagi tugas. Enam orang meringkus Pandan Wangi. Sedang lima orang membereskan Pranaja di sebelahnya.
"Yeaaa!"
"Kurang ajar!" Si Kipas Maut mendengus geram. Seketika dia melompat tinggi dari punggung kuda, lalu berjumpalitan beberapa kali. Dan tiba-tiba kedua kakinya terentang. Lalu....
Pak! Buk!
"Aaakh...!" Dua orang yang jadi sasaran langsung terjungkal disertai jerit kesakitan. Dada mereka terasa remuk terkena jejakan kaki Pandan Wangi.
Sementara begitu menjejak tanah, si Kipas Maut langsung membungkuk, menghindari terjangan salah seorang pengeroyok. Lalu seketika tubuhnya berputar melepas sapuan kaki.
Begkh!
"Aaakh...!" Terdengar pekik kesakitan saat lambung orang yang menyerang Pandan Wangi terhajar sapuan kaki. Tubuhnya kontan terjajar dengan tangan memegangi perut.
"Heaaa...!" Sebelum ada yang menyerang lagi, si Kipas Maut telah lebih dulu menyerang. Dua orang yang jadi sasaran terkesiap. Sadar kalau gadis ini bukan orang sembarangan, mereka cepat mencabut golok dan siap menghadang.
Bet! Wut!
Kedua golok itu berkelebatan cepat. Sementara Pandan Wangi segera menarik serangannya dan langsung menyelinap di antara babatan golok. Tindakan si Kipas Maut membuat kedua pengeroyoknya terperangah, karena tak satu golok pun yang bisa menyentuh tubuh gadis itu. Bahkan tiba tiba....
Des! Des!
"Aaakh...!" Tahu-tahu kedua orang itu merasakan hantaman keras pada tengkuk masing-masing. Mereka menjerit tertahan, dan jatuh tak sadarkan diri!
Pandan Wangi melirik. Agaknya pemuda bernama Pranaja pun telah selesai pula membereskan lawan-lawannya. Begitu menoleh, pemuda itu memberi senyuman manis padanya. Entah kenapa, meski sedikit, dibalasnya senyuman itu. Dan Pandan Wangi tak mengerti, mendadak saja ada perasaan aneh menyeruak di hatinya. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang lagi saat pandangan mereka beradu.
"Eh...?!" Si Kipas Maut tersadar. Kepalanya menggeleng-geleng, seperti berusaha menghilangkan sesuatu yang aneh dalam kepalanya.
"Huh! Agaknya kalian memiliki kepandaian juga. Bagus! Akan kulihat, apa kepandaian kalian bisa diandalkan di depanku!"
Kesadaran Pandan Wangi makin pulih, ketika Ki Tanggok mendengus keras. Laki-laki tua ini benar-benar geram melihat anak buahnya tak mampu membereskan kedua anak muda itu.
Setelah berkata demikian, Ki Tanggok membuka jurus. Langsung diserangnya si Kipas Maut. Untung saja secepat kilat Pranaja berkelebat, langsung menangkis serangan.
Wut! Plak!
"Uhhh!" Ki Tanggok terkejut begitu terjadi benturan. Tangannya terasa kesemutan dan terasa nyeri, Bukan cuma itu. Dia melihat gerakan pemuda ini cepat bukan main. Kalau saja tidak segera melompat ke belakang, niscaya batok kepalanya akan jadi sasaran.
"Masih ingin melanjutkan persoalan ini, Kisanak?" tanya Pranaja sambil tersenyum.
"Huh! Siapa kau sebenarnya?!" tanya Ki Tanggok, mendengus.
"Bukan siapa-siapa. Dan sama sekali tidak ada urusannya denganmu," sahut Pranaja tenang.
"Baiklah. Kali ini kalian bisa bebas. Tapi lain kali, aku akan buat perhitungan!"
Pranaja hanya tersenyum mendengar ancaman orang ltu.
"Terserah kau saja. Kapan dan di mana pun, aku selalu siap menyambut tantanganmu,"
Ki Tanggok mendelik garang lalu bergerak melangkah. Dipandangnya beberapa anak buahnya yang masih belum bangkit atau yang tengah kesakitan. Kemudian ditinggalkannya kedua anak muda itu setelah memandang sinis. Hatinya kelihatan geram betul mendapat kekalahan menyakitkan.
"Huh! Dasar bajingan teri!" dengus si Kipas Maut, setelah para pengeroyoknya sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.
Pranaja tersenyum seraya melangkah mendekati.
"Ya. Orang-orang seperti mereka biasanya hanya banyak gertak. Tapi setelah tahu siapa yang dihadapi, nyali mereka akan ciut dengan sendirinya. Oh, ya! Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya Pranaja penuh perhatian.
"Tidak.... Aku tidak apa-apa," sahut Pandan Wangi.
"Maafkan.... Aku jadi merepotkanmu, Ni..., eh! Siapa namamu?"
"Aku Pandan Wangi."
"Pandan Wangi? Ah! Nama yang indah sekali!" puji Pranaja. "Cantik dan hebat!"
"Kau pun hebat, Pranaja...."
"Tidak. Itu hanya kebetulan karena menghadapi lawan yang memang tidak punya kemampuan. Oh, ya. Kalau boleh tahu, ke mana tujuanmu, Pandan? Boleh kusebut begitu?"
"Tidak apa.... Eh, sebenarnya aku tengah mencari seseorang...."
"Seseorang? Siapa? Saudara? Kerabat? Atau barangkali kekasih?"
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Mulutnya seperti terkunci. Dan hatinya berdebar tak karuan setiap kali beradu pandang dengan pemuda ini. Sungguh Gila! Apa yang dirasakannya saat ini, rasanya memang tidak karuan. Memang pemuda ini cukup tampan, rapi. Dan lagi pula, tutur bahasanya santun. Tapi tentu saja tidak mesti Pandan Wangi menyukainya. Tidak! Dan tidak akan!
"Tapi... Oh, Hyang Jagat Bhatara!" desah Pandan Wangi dalam hati.
"Kenapa, Pandan? Apa yang kau rasakan?" lanjut Pranaja, seperti bisa menduga apa yang dipikirkan gadis itu.
Entah mengapa Pandan Wangi sama sekali tidak menolak ketika Pranaja menggenggam jemari tangannya. Sepertinya ada kekuatan gaib yang seakan-akan melarangnya untuk menampik genggaman itu.
Pandan Wangi terdiam. Dipandanginya pemuda itu sekilas, lalu buru-buru menunduk. Debaran jantungnya terasa semakin cepat, tatkala pemuda itu meremas jemari. Bahkan kini Pranaja perlahan-lahan mendekat hampir merapat ke tubuhnya. Sebelah tangannya hendak meraih pinggang. Dan wajah mereka nyaris bersentuhan, tatkala sebelah tangan kiri Pranaja menaikkan dagu gadis itu.
"Kau cantik sekali, Pandan. Belum pernah kutemui gadis secantikmu selama ini...," desah Pranaja halus.
Sesaat Pandan Wangi terpukau. Namun ketika terasa hela napas pemuda itu mulai menyapu wajahnya....
"Oh...?!" Gadis itu tersentak kaget. Didorongnya keras-keras pemuda itu. Dan nyaris, Pranaja terjungkal kalau saja tidak sigap jungkir balik dan tegak berdiri di atas kedua kakinya.
"Kurang ajar! Apa yang coba kau lakukan padaku, he?!" hardik Pandan Wangi garang. Mata gadis itu melotot dengan wajah penuh amarah. Sebelah tangannya menuding sinis.
"Kalau kau coba-coba berbuat seperti itu lagi, kutebas batang lehermu!" desis si Kipas Maut mengancam.
Dan dengan membawa kesal, Pandan Wangi melompat ke punggung kudanya. Kemudian segera ditinggalkan tempat ini. Namun aneh. Tidak biasanya Pandan Wangi akan meninggalkan begitu saja orang yang hendak kurang ajar. Paling tidak orang itu akan babak belur dibuatnya. Tapi terhadap Pranaja? Entah kenapa, ada perasaan kasihan dan tidak tega. Dia marah dan kesal. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Maka jalan satu-satunya adalah meninggalkannya.
Toh, meski begitu, agaknya Pranaja tidak kapok. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu melompat ke punggung kudanya. Lalu dipacunya tunggangannya dengan kencang, mengikuti jejak Pandan Wangi.

***

169. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa Mata MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang