BAGIAN 4

115 7 0
                                    

"Ah! Sekarang, aku tidak heran. Sudah banyak kejadian seperti ini kualami. Dan Pandan Wangi pun tahu," desah Pranaja alias Dewa Mata Maut dengan senyum lebar.
"Tidak usah membawa-bawa namanya, Kisanak!" ujar Rangga, agak keras.
"Kisanak! Ada apa denganmu? Baru saja datang, tiba-tiba marah. Tuduhan apa yang hendak kau lontarkan padaku?" tukas Pranaja
"Maaf, aku bukan hendak menuduh macam-macam padamu. Tapi pergilah kau! Dan tinggalkan kami berdua!" ucap Rangga, berusaha menahan diri.
"O... Jadi kau hendak bicara penting dengan Pandan Wangi? Silakan saja. Tapi di antara kami tidak ada hal yang disembunyikan. Pandan Wangi bebas mengetahui persoalanku. Dan sebaliknya, dia pun mengatakan begitu padaku. Jadi kau tidak usah khawatir, Kisanak. Bicara saja padanya. Dan aku berjanji tidak akan mengganggu pembicaraan kalian," kata Dewa Mata Maut.
Rangga berusaha menahan geram yang memuncak. Dipandanginya orang itu sejurus lamanya. Dan yang dipandangi balas memandang sambil tersenyum-senyum. Tak lama pandangannya dialihkan pada Pandan Wangi.
"Siapa dia yang sebenarnya, Pandan Wangi? Ingat, dia termasuk orang asing bagimu. Dan tidak biasanya kau berbuat begini terhadap orang asing."
"Dia.... Dia kawanku, Kakang," sahut Pandan Wangi, pelan seraya menundukkan kepalanya.
Dan Rangga tadi sempat melihat ada tatapan aneh dalam sinar mata Pandan Wangi. Tapi dugaannya cepat ditepisnya, mengingat Pandan Wangi masih mengenalinya.
"Tidakkah kau berdusta, Pandan?"
Pandan Wangi terdiam.
"Apakah benar berita yang kudengar dan orang-orang itu, Pandan?" cecar Rangga.
Gadis itu tetap diam membisu.
"Hm. Kau tak ingin menjawabnya, Pandan? Baiklah.... Sekarang, begini saja. Maukah kau kuajak kembali ke Karang Setra?"
Lagi-lagi Pandan Wangi tidak menjawab. Dan ini membuat Rangga jadi geram. Bisa jadi Rangga jadi geram, karena dengan mengajaknya ke Karang Setra, berarti Rangga ingin bicara baik-baik. Atau bahkan Rangga ingin menghilangkan dugaan yang tidak-tidak terhadap gadis ini. Tapi apa yang didapat Rangga? Sepertinya Pandan Wangi menganggap remeh ajakannya.
"Jawab Pandan!" bentak Rangga.
Gadis itu tersentak mendengar bentakan menggeledek. Dipandangnya pemuda di hadapannya itu dengan sinar mata tajam.
"Kisanak! Rasanya kau tidak pantas memperlakukannya begitu rupa. Dia wanita halus budi. Dan kau sangat kasar. Tidak bisakah kau bicara lebih lembut?" sahut Pranaja menasihati.
"Jangan campuri urusan kami!" desis Rangga.
"Hm... jika menyangkut Pandan Wangi, kurasa sekarang juga jadi urusanku," sahut Pranaja tenang.
"O, begitu? Apa yang hendak kau urus? Mencampuri persoalan kami? Membelanya? Atau barangkali kau hendak merebut hatinya?!" dengus Rangga sinis.
"Tentu saja! Kenapa tidak? Dia toh, kekasihku."
"Kekasihmu?" tukas Rangga.
"Tanyakan saja padanya."
"Pandan! Benarkah yang diucapkannya?" bentak Rangga semakin gemas saja.
Gadis itu tidak menjawab. Malah kepalanya menunduk, tak mempedulikan pertanyaan Rangga.
"Dia malu mengutarakannya di depan banyak orang...," sahut Pranaja, enteng.
"Hm, ini semakin memuakkan!" dengus Rangga.
"Pandan, ayo kita pergi!"
Namun Pandan Wangi tidak beranjak dari tempatnya.
"Pandan, ayo!" desak Rangga.
Gadis itu kelihatan bingung. Dan itu membuat Rangga gusar. Segera kakinya melangkah bermaksud menyeret gadis itu. Namun sebelum dilakukan, Pranaja telah menahan dengan mencekal pergelangan tangannya.
"Kisanak, sudah kuperingatkan. Berlakulah sopan dan lemah lembut padanya," ujar Pranaja, keras.
"Jangan ikut campur urusan kami!" dengus Rangga, langsung menepis tangan Pranaja.
"Sudah kukatakan, bila urusannya menyangkut Pandan Wangi, maka itu urusanku juga. Dan kuminta kau jangan mendesaknya. Apalagi berbuat macam-macam kepadanya!"
"Kurang ajar! Kau semakin membuatku muak saja. Hei! Siapa pun kau, menyingkirlah. Dan jangan sampai aku gelap mata menghajarmu!" ancam Rangga.
"Hm.... Apa pun yang kau katakan, jangan harap bisa menyurutkan langkahku. Apalagi kau hendak mengusik kekasihku. Kau akan berurusan denganku, Sobat," desis Pranaja, tak kalah gertak.
"O, begitu? Kau bersungguh-sungguh menganggapnya kekasihmu, ya? Apa yang telah kau perbuat kepadanya? Kau apakan dia? Kau guna-guna? Kau sihir? Atau kau bius dengan bujuk rayu?"
Sambil berkata begitu, Rangga mendorong tubuh Pranaja beberapa kali. Dan sampai yang keempat kali, Dewa Mata Maut menangkis. Bahkan balas melayangkan pukulan.
Wut!
"Hih!" Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkis.
Plak!
Namun Pranaja cepat mengirim serangan berikut, lewat tangan yang satu lagi. Untung Rangga segera menunduk, sehingga pukulan itu luput dari sasaran. Bahkan tiba-tiba ujung kaki kirinya menyodok ke perut Dewa Mata Maut.
"Hup!" Pranaja alias Dewa Mata Maut mencelat ke belakang, lalu mendarat manis pada jarak lima langkah sambil tersenyum. Lalu seketika dia kembali bergerak cepat menyerang.
"Yeaaa...!"
Splak!
Rangga menangkis dengan tangan kiri, kemudian melompat ke samping tepat ketika kaki Pranaja yang sebelah lagi menyapu kepala.
"Hup!" Begitu menjejak tanah, saat itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat menyerang.
Wut! Wut!
Dengan menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' kedua kakinya bergerak lincah menghajar. Untuk sesaat Pranaja terkesiap. Namun selanjutnya dia berhasil menghindar dengan melenting ke belakang sambil jungkir balik beberapa kali.
"Hehehe...! Hebat! Benar-benar hebat!" puji Dewa Mata Maut. Sambil tersenyum begitu berhasil membuat jarak.
"Aku tidak butuh pujian!"
"Hehehe...! Sebenarnya kita bisa berkawan, Sobat. Soal perempuan itu bisa diatur. Bagaimana menurutmu? Yang jelas, aku tidak ingin merugikanmu," oceh Dewa Mata Maut.
"Omonganmu sudah melantur! Bahkan membuatku jengkel. Dan selamanya aku paling benci dengan laki-laki yang tak menghargai wanita. Hm.... Kau anggap wanita apa Pandan Wangi?"
"Hehehe...! Dia hanya wanita yang memang sudah antri untuk berkawan denganku!" sahut Dewa Mata Maut, makin kurang ajar.
"Bedebah!" Pendekar Rajawali Sakti berpikir tidak ada gunanya berdebat omong dengan penjahat pemetik bunga ini. Orang sepertinya harus dihajar baru kapok.
"Heaaat...!" Kemarahan agaknya sudah hampir meledakkan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Secepat itu pula Rangga meluruk ke arah Pranaja dengan satu tendangan.
"Hehehe...! Kau kelewat bernafsu, Sobat." Secepat itu pula, Dewa Mata Maut mengegos ke kanan, membuat tendangan itu luput dari sasaran.
Namun serangan Rangga tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya segera berputar cepat dan kembali melakukan tendangan. Namun Dewa Mata Maut lebih cepat mencelat ke belakang. Rangga tak putus asa segera dikejarnya Pranaja dengan pukulan bertubi-tubi. Kembali Pranaja membuat gerakan tak terduga, dengan kibasan tangan secara bertubi-tubi pula.
Plak! Plak!
Baru saja terjadi benturan Rangga berbalik. Langsung dikirimkannya satu tendangan dari jarak dekat ke ulu hati. Terpaksa Pranaja harus kembali bergerak menghindar dengan melenting ke belakang.
"Hiyaaa!" Rangga agaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun kepada lawan. Begitu Pranaja baru saja mendarat di tanah, maka secepat itu pula tubuhnya menerjang melepas tendangan terbang.
Namun meski dalam keadaan demikian, agaknya Dewa Mata Maut masih mampu bersiaga. Secepat kilat, ditangkisnya serangan Rangga dengan kibasan tangan.
Plak!
"Heh!" Pendekar Rajawali Sakti terkejut, melihat gerakan Dewa Mata Maut yang tampak dalam keadaan sempoyongan setelah manangkis. Tapi selanjutnya mulai disadari kalau Dewa Mata Maut tengah mengerahkan jurus yang membuatnya seperti orang mabuk. Sebentar Rangga seperti berdiri terpaku, setelah melepas tendangan tadi.
"Hehehe...! Kenapa diam saja? Ayo, seranglah aku lagi. Bukankah kau sangat bernafsu menghajarku?" ejek Dewa Mata Maut seraya tersenyum mengejek.
"Kuakui, kepandaianmu cukup tinggi. Tapi sayang, kau berjalan di arah yang salah, Kisanak!"
"Hehehe...! Itu urusanku, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi yang jelas, kepandaianku memang untuk menghadapi orang sepertimu," sahut Pranaja.
"Terimalah jurus 'Dewa Mabuk'ku!"
"Baik. Buktikanlah!" tantang Rangga. Sejenak Rangga memperhatikan jurus pembuka yang dimainkan Dewa Mata Maut. Sesuai namanya, jurus itu memang mirip gerakan-gerakan orang mabuk. Namun tak lama, bibir Rangga sudah mulai tersenyum.
"Hm.... Kalau begitu akan kucoba dengan jurus 'Sembilan langkah Ajaib' untuk menandinginya."
Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang lebih mengutamakan gerakan-gerakan gemulai dalam menghindar, agaknya memang pantas dikeluarkan untuk menandingi jurus 'Dewa Mabuk' Selain untuk menghindar, jurus yang dimiliki Rangga ini bisa digunakan untuk menyerang dengan gerakan juga mirip orang mabuk.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
Dengan gerakan sempoyongan, Dewa Mata Maut menyerang lewat kepalan tangan secara bertubi-tubi.
"Shaaa...! Uts!" Dan dengan gerakan sempoyongan pula, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindari setiap serangan. Maka saat itu pula terjadilah pertarungan aneh, bagai dua orang mabuk tengah bertarung memperebutkan sebumbung arak.
Terkadang kedua orang itu terhuyung seperti hendak jatuh, namun secepat itu pula tegak kembali dengan kuda-kuda kokoh. Pada satu kesempatan, Dewa Mata Maut menyorongkan satu gedoran lewat telapak tangan ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gemulai, Rangga mencondongkan dadanya ke bela-kang, sehingga pukulan itu lewat di atas dadanya.
Dan ternyata, serangan Dewa Mata Maut barusan hanya pancingan. Karena tiba-tiba tubuhnya berputar sambil melepas sapuan kaki. Gerakannya walau terlihat lambat, namun sesungguhnya tak dapat dilihat oleh mata biasa. Selanjutnya....
Plak!
Bruk!
Tepat sekali sapuan kaki Pranaja menghantam lutut belakang Rangga, sehingga terjerembab ke tanah. Dan secepat itu pula, Dewa Mata Maut akan menjejak kakinya pada dada Rangga. Namun....
"Hup!" Rangga langsung bergulingan ke kiri, membuat injakan Pranaja hanya menghantam tanah kosong. Namun, Dewa Mata Maut tak ingin melepas buruannya begitu saja. Tepat ketika Rangga berusaha melenting bangkit, tubuhnya sudah melepaskan tendangan bertubi-tubi. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! Des!
"Aaakh...!" Dua tendangan telak berturut-turut menghantam kepala serta dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menjerit tertahan. Tubuhnya kontan terjungkal beberapa langkah ke belakang.
"Hehehe...! Pertunjukan yang menarik! Dan kita akan membuat pertunjukan yang lebih menarik lagi!" ejek Pranaja, memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang susah payah bangkit berdiri.
Memang, dalam keadaan marah, Pendekar Rajawali Sakti tak bisa menggunakan akal sehatnya. Hawa marah, telah membuat jurus-jurusnya tak terarah. Tak heran kalau dia dengan mudah bisa dipecundangi.

169. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa Mata MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang