BAGIAN 3

112 7 0
                                    

Wajah Ki Puger yang pernah dipecundangi Pranaja, kelihatan semakin pucat. Kedua kawannya yang bernama Braja dan Tukul merasa cemas kalau-kalau tidak bisa ke kampung halaman dengan membawa Ki Puger dalam keadaan selamat. Padahal mereka baru sampai di Desa Sumpyuh, yang berarti membutuhkan seharian perjalanan berkuda untuk mencapai Desa Gandekan, tempat tinggal mereka.
"Sebaiknya kita istirahat dulu, Ki...," usul Tukul ketika melewati sebuah perkebunan.
"Yah, terserah kalian saja...," sahut Ki Puger lemah.
Dengan hati-hati Tukul dan Braja menurunkan Ki Puger dari punggung kudanya. Dan mereka segera membopong ke sebuah pohon yang cukup besar di tepian perkebunan ini. Disandarkannya tubuh Ki Puger di bawah pohon itu. Tukul segera mencari sesuatu untuk diminum. Sedang Braja berjaga-jaga.
"Tidak usah terlalu dipikirkan soal ini, Ki. Nanti kalau kesehatanmu sudah membaik akan kita cari jalan keluarnya...," hibur Braja. Ki Puger mengangguk pelan.
"Bagaimanapun, keparat itu harus mati, Braja!" dengus Ki Puger, agak tersengal.
"Tentu saja, Ki! Dia manusia durjana. Dan sudah banyak kejadian, orang seperti dia tidak akan lama hidupnya!" sahut Braja.
Baru saja Ki Puger hendak buka suara lagi, mendadak terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu tidak begitu cepat. Tepat ketika lewat di depan mereka, penunggang kuda berbulu hitam mengkilat itu menoleh. Segera lari kudanya dihentikan.
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggungnya itu segera melompat turun. Langsung dihampirinya Ki Puger dan Braja.
"Apa yang terjadi dengan kalian, Kisanak? Kulihat, kalian seperti terluka?" sapa pemuda berbaju rompi putih ini.
Ki Puger tidak langsung menjawab. Segera diperhatikannya pemuda itu untuk sejurus lamanya. Dan dia sepertinya teringat dengan ciri-ciri seseorang walaupun belum pernah berjumpa sebelumnya.
"Kau..., bukankah Pendekar Rajawali Sakti?" duga Ki Puger setengah yakin.
Pemuda tampan yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum seraya mengangguk.
"Oh, syukurlah! Perkenalkan, aku Puger dari Desa Gandekan Dan yang berdiri di sisiku ini Braja, tetanggaku. Oh, tiada kusangka. Akhirnya, aku bertemu denganmu di sini!" desah Ki Puger.
"Maafkan aku, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tak bisa menyambutmu dengan semestinya. Aku sudah tak mampu berdiri!"
"Sudahlah, Ki. Tak perlu kau sungkan-sungkan denganku. Aku pun hanya manusia biasa, sama sepertimu. Jadi buanglah dulu segala peradatan...! Dan kumohon, panggil saja aku Rangga. Begitu lebih enak didengar...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti dengan budi bahasa halus.
"Sudah kuduga, kalau kau pendekar besar berilmu padi. Makin banyak isinya, kepalamu makin menunduk ke bawah. Makin banyak ilmumu, maka kau makin berusaha untuk merendah...," puji Ki Puger, halus.
"Oh ya, Ki. Sebenarnya apa yang terjadi? Hm, kelihatannya kau terluka...?" tanya Rangga, mengalihkan pembicaraan.
"Ya! Kami terluka karena berurusan dengan seseorang...," jelas Ki Puger.
"Apa persoalannya?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Orang itu telah menghamili putriku, kemudian kabur begitu saja. Putriku bunuh diri karena kecewa dan malu. Agaknya bukan hanya putriku yang menjadi korban. Tapi juga banyak penduduk desa kami yang anak gadisnya ikut menjadi korban," jelas Ki Puger lagi.
"Astaga! Siapa gerangan orang itu?!" desak Rangga, terkejut.
"Belakangan, dia dikenal sebagai Dewa Mata Maut. Lalu kami mencarinya ke mana-mana. Tapi setelah bertemu, kami tidak mampu berbuat apa-apa. Dia terlalu tangguh. Dan kami dihajarnya habis-habisan," papar laki-laki setengah baya ini.
"Keterlaluan!" desis Rangga.
"Kisanak! Kau akan terkejut kalau mendengar berita yang satu ini!" lanjut Ki Puger.
"Apa?"
"Bukankah Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut kekasihmu?" Ki Puger malah balik bertanya.
"Ya. Ada apa dengannya? Apakah kalian bertemu sebelumnya dengan dia?" desak Pendekar Rajawali Sakti. Dan mendadak jantungnya berdetak lebih kencang lagi.
"Ya."
"Di mana?"
"Dia bersama jahanam keparat itu!" desis Ki Puger.
"Apa?!" Bagai mendengar petir di siang bolong, Pendekar Rajawali Sakti kontan terlonjak kaget. Apa yang barusan didengarnya, terasa aneh di telinganya. Bahkan seakan sulit dipercaya.
"Ya! Dia bersama jahanam itu. Kelihatannya dekat sekali. Aku bahkan semula tidak yakin. Tapi gadis itu memang Pandan Wangi. Karena aku pernah melihatnya beberapa kali. Kisanak, kelihatannya gadismu itu telah kepincut dengan jahanam terkutuk itu!" papar Ki Puger menjelaskan lagi.
"Jangan main-main kau padaku, Kisanak!" desis Rangga mulai geram mendengar cerita itu.
"Tiada untung bagiku mempermainkanmu! Aku malah kasihan dan turut sedih. Pergilah kau ke selatan. Kalau beruntung, kau akan bertemu dengan mereka," tegas Ki Puger.
Kalau mau jujur, sebenarnya Rangga ingin berteriak saat itu juga. Amarahnya langsung terasa menggelegak dalam dada. Dan ini membuat aliran darahnya pun ikut berjalan cepat. Hela napasnya pun terasa cepat dan kasar. Meski begitu, dia berusaha menguasai diri. Dan tentu saja tidak ingin menunjukkan amarahnya di depan mereka.
"Baiklah. Kalau begitu akan kubuktikan ucapanmu itu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya berbalik menghampiri kudanya. Dan dengan gerakan ringan sekali, dia melompat ke punggung kudanya. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kuda sekencang-kencangnya pergi dari tempat ini.
"Heaaa...!"
"Tidak mungkin! Pandan Wangi tidak akan berbuat seperti itu!" desis Rangga beberapa kali untuk menghibur hatinya sendiri.
Pemuda yang merupakan kekasih Pandan Wangi ini memang terluka. Hatinya perih mendengar berita ini, meski berusaha meyakinkan diri untuk tidak percaya sepenuhnya dengan cerita yang dipaparkan Ki Puger.
"Heaaa...!" Kembali Pendekar Rajawali Sakti menggebah kuda hitam bernama Dewa Bayu dengan kencang. Dan bila bertemu seseorang, dia berhenti untuk menanyakan. Namun hatinya jadi kecewa, karena setiap orang yang ditanya selalu menggeleng tidak tahu-menahu. Dan ini membuatnya jengkel. Apa mungkin Ki Puger mengarang-ngarahg cerita?
"Berhenti, Dewa Bayu!" Mendadak saja Rangga menarik tali kekang kudanya ketika bertemu dua laki-laki berpakaian serba hitam dengan golok di pinggang. Dewa Bayu langsung memperlambat larinya, dan berhenti sama sekali. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat dari kudanya, dan menghampiri dua laki-laki yang berdiri di mulut sebuah desa.
"Kisanak berdua, maaf aku hendak bertanya!" sapa Rangga, seraya menjura.
"Apa yang hendak kau tanyakan?" sahut salah seorang yang berkumis lebat dengan mata dingin.
"Apakah kalian melihat seorang gadis berbaju biru muda, dengan pedang berkepala naga di punggungnya lewat daerah sini?"
Kedua orang itu saling pandang sejenak.
"Yang kau maksudkan si Kipas Maut?" kali ini yang berkepala botak yang berbicara.
"Benar!" sahut Rangga buru-buru.
"Hm, ya. Kami memang melihatnya...," kata laki-laki botak.
"Ke mana dia sekarang?" terabas Rangga.
Laki-laki botak itu tidak langsung menjawab. Dan matanya mengerling lebih dulu pada kawannya yang berkumis lebat sambil tersenyum sinis.
"Di sini ada peraturan. Siapa yang bertanya, maka mesti bayar!" kata si botak.
Rangga menghela napas panjang, menahan kesal di hati.
"Berapa?" tanya Rangga. Dalam keadaan begini, Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak mau banyak ribut.
"Satu pertanyaan, harganya sekeping uang perak!" kata laki-laki berkumis.
Rangga mengeluarkan kepingan uang. Dan dilemparkannya pada laki-laki berkumis. Dan mata orang itu langsung mendelik ketika melihat jumlah uang yang terhitung banyak.
"Sekarang katakan, ke mana dia pergi?" tagih Rangga.
"Kau lurus saja ikuti jalan ini, lalu berbelok ke kiri. Dia berjalan bersama seorang pemuda....'
"Ke mana tujuan mereka?!"
"Ini pertanyaan kedua?"
Kening Rangga jadi berkerut dalam. Hatinya mulai kesal. Namun, dia lebih membutuhkan keterangan tentang Pandan Wangi. Maka segera dikeluarkan sekeping uang perak lagi.
"Ini pertanyaan penting, Sobat. Harganya pun jadi penting...," kata yang berkumis lebat, sebelum Rangga melemparkan uang.
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, makin berkerut keningnya. Sementara alisnya pun bertautan.
"Harganya jadi lima kali lipat!"
"Hm, Kalian ingin memerasku, Kisanak?" desis Rangga, dingin.
"Ya, sudah.... Kalau kau tidak mau bayar, maka tidak ada jawaban. Kami harus buru-buru, karena ada urusan lain," sahut si botak seraya mengajak kawannya meninggalkan tempat ini.
"Tunggu!" tahan Rangga.
Kedua orang itu tersenyum sambil berbalik. Sementara, Rangga yang sudah mengeluarkan lima kepingan perak, tersenyum kecut. Segera dilemparkannya uang-uang itu. Namun....
"Aaakh...!"
Betapa terkejutnya kedua orang itu, ketika baru saja menangkap sekeping uang perak yang dilemparkan Rangga. Tangan masing-masing tiba-tiba merasa seperti memegang benda seberat ribuan kati. Dan mereka langsung jatuh terduduk, dengan telapak tangan kanan tetap menggenggam uang perak. Dan tangan mereka sendiri, seperti tidak bisa bergerak di tanah, seperti tertindih sebuah benda seberat ribuan kati.
"Bangun kalian!" desis Rangga, dingin.
"Ampun, ampuuun...!" ratap kedua orang itu berulang-ulang, tanpa mampu bangkit berdiri.
Sudah pasti mereka tidak mampu bangkit berdiri, karena tubuh mereka seperti tertahan oleh tangan yang bagai tertindih benda ribuan kati. Padahal yang menindih hanyalah kepingan uang perak! Dan memang, Rangga telah menyalurkan tenaga dalam amat tinggi pada kedua uang perak itu, hingga beratnya bagaikan sebuah besi baja yang amat besar!
"Aku tengah tidak berselera main-main. Tapi kalian malah membuatku jengkel!" dengus Rangga geram. "Katakan, ke mana mereka pergi?!"
"Kami tidak tahu...," sahut si botak.
"Jangan main-main! Atau, barangkali pelajaran ini belum cukup?!" hardik pemuda itu geram.
"Tidak, aku bersungguh-sungguh! Aku hanya bermaksud menipumu. Aku sungguh-sungguh tidak tahu ke mana mereka pergi. Kami memang berurusan dengan mereka. Khususnya gadis berbaju biru yang kini kuketahui berjuluk si Kipas Maut. Salah seorang kawan kami telah mengganggu. Tapi dia dihajarnya habis-habisan. Dan bersama seorang pemuda, akhirnya mereka melabrak kami pula, lalu pergi begitu saja. Sungguh aku tidak tahu tujuan mereka, Kisanak! Ampunilah aku...!" ratap yang berkumis lebat.
Rangga mendengus geram. Hatinya percaya kalau orang itu bersungguh-sungguh.
"Kapan itu terjadi?!"
"Tadi. Kira-kira menjelang siang..."
Pemuda itu mengerling. Dan matahari memang mulai condong ke barat. Berarti cukup lama juga.
"Kau yakin mereka melewati jalan ini?" Tanya Rangga lagi.
"Kami lihat sendiri, Kisanak!" kata si botak.
"Baik. Terima kasih."
Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tenaga dalamnya, lalu berkelebat ke arah Dewa Bayu. Dengan sekali melompat Pendekar Rajawali Sakti telah duduk di punggung kudanya.
"Hieeekh...!" Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ketika Pendekar Rajawali Sakti menggebahnya. Kemudian dia segera berlari kencang bagai sapuan angin.
"Kita harus bisa menyusul sebelum mereka jauh, Dewa Bayu!" ujar Rangga seraya menepuk-nepuk leher kuda hitam itu.
Dewa Bayu seperti mengerti apa yang diinginkan majikannya. Larinya semakin dipercepat. Bila di sebelahnya ada kuda lain, niscaya tidak akan mampu mengejar lari Dewa Bayu.
Sebentar saja Rangga telah melewati pinggiran sebuah hutan yang cukup luas sambil menggebah kudanya, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji Tatar Netra' untuk meneliti jejak-jejak yang terdapat di tanah yang dilalui. Dan bibir Rangga tersenyum, ketika melihat dua jejak tapak kuda yang masih baru. Sehingga tidak ada kesulitan baginya untuk mengikuti.
Setelah bertemu pinggiran sebuah desa, Pendekar Rajawali Sakti mulai melihat dua penunggang kuda yang berjalan tidak terlalu cepat di depannya.
"Ayo, Dewa Bayu! Kejar mereka...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung menggebah kudanya semakin kencang.
Sementara itu, kedua penunggang kuda di depan agaknya menyadari kalau seseorang tengah mengejar. Maka mereka segera memperlambat laju kuda.
"Berhenti, Dewa Bayu!" seru Rangga, ketika telah berjarak lima tombak di belakang buruannya yang juga telah berhenti dan berbalik.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat dari atas punggung Dewa Bayu. Dipandanginya kedua orang itu bergantian. Kemudian, matanya memandang kepada gadis berbaju biru muda yang memang Pandan Wangi.
"Pandan Wangi! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rangga.
"Aku hanya berjalan-jalan saja, Kakang!" sahut gadis itu enteng seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
"Hehehe...! Jadi kaukah pendekar kesohor itu, Kisanak? Selamat bertemu denganku. Orang-orang memanggilku Dewa Mata Maut...!" tukas pemuda yang berkuda bersama Pandan Wangi, yang tak lain Pranaja.
"Hm.... Dewa Mata Maut Kudengar kau telah membuat onar di mana-mana, dengan mengganggu gadis-gadis cantik. Apakah kau tidak bisa mendapatkan gadis cantik yang masih sendiri sehingga harus memperdaya gadis milik orang lain?" sindir Rangga, dingin.

***

169. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa Mata MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang