BAGIAN 2

118 7 0
                                    

"Maafkan aku, Pandan. Aku..., aku tidak sengaja. Maaf...!" ucap Pranaja berulang-ulang, ketika Pandan Wangi tidak berusaha menghindari dari kejarannya.
Pandan Wangi tetap diam dan tidak berpaling, di sisi pemuda itu.
"Kau tidak mau memaafkanku? Oh, alangkah hinanya aku! Semua orang memang membenciku. Tapi..., memang sudah biasa. Orang sepertiku agaknya ditakdirkan untuk menjadi hinaan bagi semua orang," keluh Pranaja berduka.
Pandan Wangi hanya menoleh sekilas. Itu saja sudah cukup membuat Pranaja kembali tersenyum di atas kudanya.
"Kau tidak marah padaku, bukan?" usik Pranaja lagi.
Gadis itu tidak menjawab. Ada perasaan jengkel di hatinya. Tapi entah kenapa, dia tidak ingin mengungkapkannya. Sepertinya setiap pandangan pemuda itu, membuat Pandan Wangi bagai terkena pengaruh gaib. Pengaruh yang membawanya ke dunia lain.
"Pergilah ke tujuanmu semula, Pranaja. Dan aku akan terus mengembara mencari...."
"Tidak!" potong Pranaja. "Aku tidak punya tujuan. Kalau tidak keberatan, biarlah aku menemanimu saja."
Pandan Wangi bingung menjawabnya. Ada kebimbangan di hatinya. Tapi kata-kata pemuda itu terasa memelas penuh permohonan. Dan sorot matanya, membuat bibir Pandan Wangi tak mampu berkata, tidak.
"Bolehkan? Izinkanlah aku, Pandan?" ulang Pranaja memelas.
"Baiklah...," desah Pandan Wangi, akhirnya.
"Ah, sudah kuduga! Kau adalah gadis baik yang pernah kutemui seumur hidupku," seru Pranaja girang. "Percayalah! Aku tidak akan menyusahkanmu."
Baru saja kata-kata pemuda berbaju kuning itu selesai, mendadak....
"Heh?!" Kedua anak muda ini tersentak kaget, ketika terdengar derap langkah kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh terlihat tiga penunggang kuda mengejar kencang. Pandan Wangi menghentikan laju kudanya, seperti hendak menunggu.
"Sebaiknya kita cepat pergi saja, Pandan. Tak perlu mengurusi mereka," ajak Pranaja seraya menghentikan laju kudanya.
"Tidak. Aku ingin tahu apa yang mereka inginkan dari kita," sahut Pandan Wangi mantap, seraya membalikkan arah kudanya.
Pemuda itu hanya menarik napas. Arah kudanya juga dibalik, ikut menunggu. Sementara itu ketiga laki-laki yang mengejar telah menghentikan lari tunggangannya. Mereka berdiri di depan Pandan Wangi dan Pranaja pada jarak tujuh langkah. Rata-rata mereka berusia antara empat puluh tahun sampai lima puluh tahun dengan tampang sedikit kasar. Apalagi dengan sorot mata tajam. Tapi dari gerak-geriknya, Pandan Wangi bisa menilai kalau mereka bukanlah termasuk tokoh-tokoh sesat.
"Pemuda busuk! Sekian lama dicari-cari, ternyata kau berada di sini! Bagus! Hari ini kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" hardik laki-laki yang berada di tengah.
Orang itu memiliki cambang bauk tebal, jenggot serta kumis. Di pinggang kirinya terselip sebilah golok panjang.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa begitu datang tiba-tiba memaki yang bukan-bukan padaku?" tanya Pranaja heran.
"Keparat! Kenapa kau masih mungkir lagi, he?! Aku Puger, ayah Ningsih yang kau nodai tiga bulan lalu. Kini anakku mengandung dan menanggung malu! Anakku bunuh diri. Dan kau akan menyusulnya di neraka!" desis laki-laki bernama Puger itu menggeram.
"Kurasa kau salah paham, Kisanak. Aku sama sekali tidak mengenalmu. Juga tidak mengenal perempuan bernama Ningsih!" sahut Pranaja bersungguh-sungguh, dengan kening berkerut.
"Kurang ajar! Kau masih mau mungkir juga rupanya! Mataku belum lamur dan ingatanku masih kuat. Tidak perlu kau menyangkal di depan gadis yang akan menjadi mangsamu. Sekarang juga, kau akan menerima akibat perbuatanmu itu!" Begitu lenyap gema suaranya, Ki Puger langsung mencabut golok panjangnya.
Srang!
Lalu secepat kilat, laki-laki setengah baya itu mencelat dari punggung kudanya menyerang Pranaja.
"Yeaaa...!"
"Kau terlalu memaksaku, Kisanak...!" keluh pemuda itu.
Sebelum serangan datang, Pranaja telah melompat dari punggung kuda. Dan baru saja pemuda itu menjejak tanah, serangan Ki Puger telah meluruk deras.
"Mampus kau!" desis Ki Puger sambil menyabetkan goloknya.
Wut!
Namun Pranaja telah berkelebat cepat bukan main, sehingga semua serangan Ki Puger luput dari sasaran. Dan itu tidak membuat orang tua ini sadar. Bahkan dia semakin kalap menyerang.
"Kisanak! Kuharap sudahi salah paham ini!" ujar Pranaja, mengingatkan.
"Persetan! Sebelum kau mampus, hatiku tidak akan tenang. Kau penyebab kematian putriku!" dengus Ki Puger, menuding dengan goloknya.
"Tidakkah kau mengerti bahwa aku sama sekali tidak mcngenalmu? Apalagi putrimu!" kata Pranaja, berusaha terus meyakinkan.
"Tutup mulutmu, Pemuda Jalang! Bukan hanya Ningsih yang kau nodai. Tapi empat gadis di desa kami juga telah kau nodai. Apa kau hendak mungkir, he?! Mulutmu manis merayu. Tapi hatimu busuk menyimpan bangkai! Heaaat...!"
Ki Puger tak dapat menahan kesabarannya lagi. Kembali tubuhnya meluruk dengan sabetan golok panjangnya. Pranaja hanya menghela napas pendek. Dan mau tidak mau, dia terpaksa harus balas menyerang. kalau ingin urusan ini cepat selesai.
Wut!
"Maaf!" Setelah berseru pendek, Pranaja mengelak dari tebasan senjata golok. Dan dengan gerakan mengagumkan ditangkapnya pergelangan tangan Ki Puger.
Tap!
Lalu secepat itu pula sebelah tangan Pranaja yang lain menggedor dada Ki Puger.
Des!
"Aaakh...!" Tak ayal lagi, Ki Puger tersungkur ke belakang disertai jeritan tertahan. Sebelah tangannya mendekap dada, merasakan sakit dan nyeri. Namun begitu matanya beringas memandang Pranaja. Meski goloknya telah berpindah tangan, Ki Puger kelihatan tidak peduli. Bahkan kini dia bangkit dan terus menyerang dengan tangan kosong.
"Yeaaa...!"
"Kisanak, kau hanya mempersulit dirimu sendiri...," desah Pranaja, halus.
"Tutup mulutmu, Jahanam!" bentak Ki Puger.
"Hiaaat...!"
Wut!
Tubuh Ki Puger meluruk dengan kibasan tangan berkali-kali, mengancam bagian-bagian mematikan di tubuh Pranaja. Namun semua serangan bisa dihindari Pranaja dengan egosan-egosan lincah. Bahkan tiba-tiba pemuda itu mengayunkan tendangan enteng, dan mendarat tepat di dada laki-laki itu.
Des!
"Aaakh...!" Untuk kedua kalinya Ki Puger menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang sejauh dua tombak, lalu jatuh terduduk.
"Ki Puger! Kau tidak apa-apa?!" tanya dua laki-laki lain seraya turun dari kuda. Mereka langsung menghampiri dan memeriksa luka Ki Puger.
"Kurang ajar! Muri, Tukul! Kita harus membalaskan sakit hatinya!" desis seorang dari mereka.
"Benar, Braja! Huh! Akan kutebas lehernya!" timpal yang seorang lagi dengan sikap tidak kalah garang. Seketika kedua laki-laki bernama Tukul dan Braja ini tegak berdiri memandang pemuda itu. Lalu....
Srang!
Masing-masing mencabut golok dan siap hendak menyerang.
"Hm.... Agaknya kalian pun sama saja. Tidakkah kalian bisa mengerti, bahwa orang itu salah alamat?!" kata Pranaja coba meyakinkan.
"Tidak perlu kau bersusah-payah menipu kami, Bocah! Siapa pun akan sakit hati dan terhina sekali, mengetahui aib yang menimpa. Dan kau adalah pembuat aib itu. Hanya satu cara untuk menghilangkannya. Kematianmu!" sahut orang yang bernama Tukul.
Sementara Braja agaknya sudah tidak dapat menahan diri lagi. Langsung saja diserangnya Pranaja dari sebelah kiri.
"Heaaa...!" Tukul pun seketika mengikuti. Diserangnya pemuda itu dari kanan.
"Orang-orang nekat!" desis Pranaja terdengar sinis. Secepat kilat pemuda itu meliukkan tubuhnya menghindari kedua tebasan. Dan seketika tubuhnya melenting dengan gerakan mengagumkan. Lalu tiba-tiba tubuhnya menukik tajam dengan kedua kaki terbentang.
Des! Duk!
"Aaakh...!" Tukul dan Braja langsung menjerit kesakitan ketika tendangan Pranaja tepat menghantam dada masing-masing. Tubuh mereka terpental dan jatuh mencium tanah dengan keras. Seringai kesakitan langsung menghiasi wajah mereka.
"Kurang ajar!" Meski terasa sakit dan sesak, namun keduanya cepat bangkit. Dan mereka siap menyerang pemuda itu kembali dengan sabetan golok.
"Yeaaa!"
Pranaja membungkuk menghindari dua sabetan sekaligus. Kemudian tubuhnya berputar sekali dengan sebelah kaki bergerak cepat menghantam pergelangan tangan Tukul dan Braja.
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Kedua orang itu menjerit tertahan Golok masing-masing terpental. Dan sebelum sempat berbuat apa-apa, tendangan yang dilancarkan pemuda itu telah menghantam telak dada masing-masing.
Begkh! Des!
"Aaakh...!"
Tukul dan Braja kontan kembali tersungkur disertai jerit kesakitan. Dengan tertatih-tatih, mereka bergerak bangkit. Tampak darah segar menetes dari sudut bibir mereka. Walaupun dalam keadaan sempoyongan, mereka menghampiri Ki Puger yang masih terduduk untuk mengumpulkan kekuatan.
Melihat ketiga orang itu tidak bermaksud menyerang, Pranaja pun tidak meneruskan serangan. Pemuda itu berdiri tegak sambil menyungging senyum.
"Kisanak bertiga! Karena ini salah paham, maka aku tidak akan memperpanjang urusan. Kalian yang membuat gara-gara. Dan aku sama sekali hanya sekadar membela diri. Pergilah. Dan jangan ganggu kami lagi!" ujar Pranaja.
"Dewa Mata Maut! Kau memang hebat dan licik!" desis Ki Puger. "Tapi aku tidak akan pernah melupakanmu seumur hidupku. Tunggulah saatnya, karena suatu hari nanti aku akan kembali da-tang untuk menagih nyawamu!"
"Aku tidak akan menanggapi ocehanmu, Kisanak. Kau salah menuduh orang. Dan aku sangat prihatin...!" kata Pranaja, halus.
Ki Puger mendengus. Kemudian matanya memandang gadis yang bersama Pranaja.
"Nisanak! Kulihat kau bukan gadis sembarangan. Kenapa orang sepertimu mesti bergaul dengan penjahat pemetik bunga seperti pemuda ini?!" tanya Ki Puger.
"Eh! Aku..., aku hanya kebetulan saja...," kata Pandan Wangi, berkilah.
"Pandan! Kau tidak perlu mempedulikan mereka!" tukas Pranaja.
"Pandan? Pandan Wangi?!" sebut Ki Puger dengan mata terbelalak.
"Aku kenal. Kau pasti si Kipas Maut. Bukankah kau kekasih Pendekar Rajawali Sakti? Astaga! Apa yang terjadi padamu? Apakah kau pun kepincut binatang jalang ini?!"
"Kisanak! Tutup mulutmu! Dan jangan lagi menyebar fitnah!" umpat Pranaja geram.
"Kau adalah binatang busuk yang menjijikkan, Dewa Mata Maut!" dengus Ki Puger. Kemudian mengajak laki-laki itu untuk segera angkat kaki. Namun sebelum itu kepalanya masih sempat menoleh lagi pada Pandan Wangi.
"Dan kau, Pandan Wangi! Kau akan jadi wanita murahan yang tidak punya malu bila terus bergaul dengannya!" tambah Ki Puger, seraya naik ke atas punggung kudanya, diikuti kedua temannya.
Pandan Wangi terkesiap. Hatinya kontan panas mendengar hinaan yang dilontarkan kepadanya. Kalau saja Pranaja tidak menahan, mungkin akan dilabraknya ketiga laki-laki itu.
"Sudahlah. Kita tidak perlu mengurusi orang-orang seperti mereka...," ujar Pranaja sambil mengawasi kepergian tiga laki-laki yang telah menggebah kudanya itu.
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus dengan wajah bersungut-sungut.
"Mereka hanya orang-orang yang putus asa. Kita patut kasihan dan tidak perlu menambah beban penderitaannya lagi...," tambah Pranaja.
"Tapi kulihat mereka bersungguh-sungguh...," kata Pandan Wangi, mencoba memancing.
"Apa?!" Pranaja pura-pura terperanjat.
"Hehehe...! Rupanya kaupun mulai termakan cerita mereka. Cerita kosong yang dikarang orang-orang putus asa, dan akhirnya menuduh sembarangan orang sebagai pelampiasan. Kau sungguh-sungguh mempercayai mereka?!"
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dipandanginya Pranaja untuk sejurus lamanya. Dan yang dipandangi ternyata balas memandang pula. Kembali, setiap pandangan pemuda itu selalu menimbulkan perasaan aneh pada diri Pandan Wangi. Entah bagaimana, gadis ini merasa percaya begitu saja pada Pranaja. Padahal dalam relung hatinya yang paling dalam, dia merasa ada sesuatu yang janggal pada pemuda di depannya.
Pada akhirnya Pandan Wangi tak ingin meneruskan dugaan-dugaan jelek pada diri Pranaja. Baginya hal itu bukan persoalan menarik ketimbang apa yang dirasanya di hati. Getaran-getaran aneh tatkala pertama kali bertatapan dengan pemuda ini, membuat kegalakannya seperti sirna. Bahkan hatinya tak mampu berontak. Pikirannya buntu. Dan saat itu, dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
"Hm.... Kudengar orang tadi mengenalmu...," kata Pranaja, membuka suara setelah sekian lama terperangkap kebisuan.
"Eh, apa?!" tanya Pandan Wangi, tersadar dari lamunannya.
"Kau si Kipas Maut, bukan?" tanya Pranaja.
"Ya."
"Berarti benar kalau kau kekasih Pendekar Rajawali Sakti?"
Pandan Wangi baru saja hendak mengiyakan, tapi entah kenapa mulutnya seperti terkunci. Dan meski begitu, dia pun tak berusaha mengelak.
"Kalau begitu kepergianmu ini untuk mencarinya?" lanjut Pranaja tanpa mau mendesak gadis itu pada pertanyaan sebelumnya.
Seolah-olah Pranaja begitu yakin apa yang diduga dan tidak perlu meyakinkan lagi dengan jawaban gadis ini.
"Ya...." Suara Pandan Wangi terdengar ragu dan pelan sekali.
"Boleh kutemani untuk mencarinya?"
Pandan Wangi menoleh. Dan Pranaja membalasnya sambil tersenyum. Buru-buru gadis ini memalingkan muka. Kelihatan jengah, tapi sedikit berbunga-bunga hatinya.
"Boleh...?" ulang Pranaja.
"Tidak! Eh, maksudku..., tidak perlu mencarinya."
"Kenapa? Kau tidak ingin mencarinya?"
Kembali Pandan Wangi terdiam. Dia seperti tak mengerti kenapa sejak pertama kali menatap Pranaja, sampai kini perasaan aneh selalu menyergapnya. Tujuan semula yang hendak mencari Rangga, seakan sirna begitu saja. Rasa rindunya pun sedikit demi sedikit terkikis terhadap Rangga. Kenapa ini terjadi?
"Kau tidak rindu padanya?" usik Pranaja.
Gadis itu masih terdiam.
"Dia pun sering rindu padamu?"
Pandan Wangi masih membisu.
"Apakah dia sering meninggalkanmu?"
"Sering juga...," sahut Pandan Wangi, akhirnya mengeluarkan suara.
"Sayang sekali. Gadis secantikmu mestinya jangan sering-sering ditinggal..," desah Pranaja seperti berbisik.
"Apa maksudmu?" tanya Pandan Wangi dengan kening berkerut.
"Yeaaah.... Maksudku..., mungkin dia sudah bosan dan ingin cari yang lain! Apa hubungan kalian sudah lama?" tukas Pranaja.
"Cukup lama juga...."
"Dan kau pernah mengikutinya atau diajaknya bepergian?"
"Sering."
"Nah, bisa jadi. Dalam petualangannya, bisa jadi dia banyak menemukan gadis cantik. Beberapa orang dari mereka pasti menarik perhatiannya."
Pandan Wangi sebenarnya hendak menjerit, mendengar kata-kata Pranaja. Dan dia juga tak suka melihat pemuda ini mengusik-usik pribadinya. Tapi entah kenapa, dia tak mampu marah. Bahkan bersuara pun tidak. Gadis ini terdiam. Bahkan pikirannya kini mulai membayangi kata-kata Pranaja barusan. Di mana Rangga saat ini? Apa yang dilakukannya? Benarkah Rangga sudah bosan? Beribu-ribu pertanyaan menggayut di benak Pandan Wangi.
"Kau harus pikirkan baik-baik. Bisa saja, dia berpura-pura baik di depanmu. Tapi sesungguhnya di belakangmu main dengan banyak gadis-gadis lain. Kau tidak akan mungkin mengawasinya terus, bukan? Nah! Itulah kesempatan yang digunakannya!" lanjut Pranaja.
"Kenapa kau begitu peduli pada hubungan kami?" tanya Pandan Wangi akhirnya.
Pranaja terkekeh. Tapi belum lagi menjawab,mendadak mencelat sesosok bayangan ke hadapan mereka. Dan tahu-tahu, telah berdiri sesosok gadis cantik berambut dikuncir.
"Hm, bagus! Jadi inikah urusan yang kau katakan itu, Pranaja!" dengus gadis yang baru datang pada Pranaja. Sementara, matanya melirik tajam pada Pandan Wangi.
Semula Pranaja terkejut melihat kehadirannya. Namun secepat itu pula bisa menguasai diri. Pemuda itu menggeleng lemah sambil tersenyum.
"Hm.... Ini pasti salah paham lagi...," gumam Pranaja.
"Kau coba menghindariku, Pranaja?!"
Pranaja memandang gadis berbaju kuning tua yang baru datang sambil tersenyum-senyum heran.
"Siapa kau, Nisanak? Agaknya kau kenal namaku. Padahal kita belum pernah bertemu sebelumnya!" kata Pranaja.
"Pranaja! Kau..., kau...?!" Gadis berbaju kuning itu memandang Pranaja dengan wajah tak percaya.
"Nisanak, ada apa denganmu?! Jangan merusak suasana kami. Aku sama sekali tak mengenalmu!" tandas Pranaja, keras.
Gadis itu tertegun. Lalu perhatiannya beralih pada Pandan Wangi untuk sejurus lamanya.
"Nisanak! Siapa namamu?" tanya gadis berbaju kuning ini.
"Eh! Aku..., Pandan Wangi," sahut Pandan Wangi sedikit kaget.
"Kau kekasihnya yang baru?"
Pandan Wangi tidak sempat menjawab karena....
"Kami tidak berurusan denganmu!" potong Pranaja. "Maka jangan suka mengurusi orang lain. Kuperingatkan padamu, Nisanak!"
Gadis berbaju kuning itu tersenyum. Lalu dipandangnya Pranaja dengan sorot mata sinis.
"Pranaja! Ingin kudengar jawabanmu sekarang juga. Apakah kau benar-benar kepincut dengan gadis ini?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Kau sungguh hendak mencampakkanku begitu saja?!"
"Dengar baik-baik, Nisanak! Aku tidak mengenalmu! Dan aku tak mengerti apa maumu. Jadi jangan ganggu urusan kami!" ujar Pranaja, tandas.
"Huh! Kau takut gadis ini menolak, karena rayuan mautmu belum berhasil?!" dengus gadis itu sinis.
"Nisanak! Kuperingatkan sekali lagi, jangan sampai hilang kesabaranku. Pergilah. Dan jangan ganggu kami. Atau, kau akan kuhajar!" bentak Pranaja garang.
"Huh! Kau memang bisa kapan saja menghajarku. Tapi ingatlah baik-baik. Siapa yan mengangkatmu sehingga menjadi tokoh terkenal? Ingat baik-baik! Kepada siapa kau berhutang budi?!"
"Kurang ajar!" Pranaja tampaknya geram sekali. Dan seketika dia hendak bergerak untuk menghajar gadis itu.
"Tidak usah repot-repot, Pranaja!" cegah gadis itu seraya mengangkat tangan kanannya. "Aku akan pergi sekarang juga. Cuma satu hal yang harus kau ingat! Aku yang membuatmu jadi begini. Maka kelak aku pula yang akan menjatuhkanmu sampai ke jurang kenistaan yang paling dalam!" Gadis itu berbalik lalu segera pergi dari tempat ini dengan berkelebat cepat.
"Huh! Ada-ada saja!" dengus Pranaja, begitu gadis tadi sudah tak terlihat lagi. Pemuda itu segera menghampiri kudanya. Lalu naik ke atas punggungnya. Sementara Pandan Wangi sendiri sudah berada di atas punggung kudanya.
"Kelihatannya gadis itu jujur. Kenapa kau tidak mau mengakui bahwa kau mengenalnya?" tanya Pandan Wangi, sambil menggebah kuda perlahan-lahan.
"Apakah aku harus mengakui hal yang semestinya tidak kualami? Aku tidak mengenalnya. Dan mestikah aku mengaku mengenalnya sekadar untuk menyenangkan hatinya? Tidak bisa! Lagi pula akan berakibat buruk bagiku...!" jelas Pranaja, juga menggebah kudanya perlahan-lahan.
Pemuda itu kelihatan hendak melampiaskan jengkel. Terasa dari nada bicaranya. Tapi tidak berlangsung lama, karena sebentar kemudian sadar dan berusaha memperbaiki sikap.
"Dia mungkin saja suruhan orang yang ingin menjatuhkan nama baikku. Dan ketika berhasil menemuiku, langsung saja main tuduh...," kilah Pranaja.
Pandan Wangi agaknya enggan berdebat lebih jauh soal gadis yang dibicarakan Pranaja. Makanya kini dia lebih memilih diam.
"Hm.... Ada-ada saja. Mimpi apa aku semalam? Dalam sekejap, dua kejadian telah membuat citra buruk bagiku...," gumam Pranaja.
"Kalau memang terbukti kau tidak bersalah, tentu saja tidak seorang pun yang beranggapan buruk padamu," hibur Pandan Wangi.
"Dalam keadaan seperti ini tampaknya akan sulit. Sebab semua akan menuduh bahwa aku pemuda buruk. Rasanya sulit mencari orang yang percaya bahwa aku tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka!"
"Aku percaya...," kata Pandan Wangi.
"Sungguh, kau percaya?!" sahut Pranaja bernada gembira.
Pandan Wangi mengangguk.
"Oh, Hyang Jagat Bhatara! Ini sudah cukup bagiku. Tidak perlu banyak orang yang mesti percaya. Satu orang sepertimu saja, sudah lebih dari cukup!" seru Pranaja girang.
Gadis itu tersenyum-senyum melihat kelakuan pemuda ini.
"Bagaimana kalau ternyata ada kejadian serupa yang menimpaku lagi?" tanya Pranaja, mencoba memancing.
Pandan Wangi hanya menoleh dan tersenyum.
"Kau masih percaya bahwa aku tidak ada sangkut-paut dengan mereka?" kejar Pranaja.
Gadis itu tidak menjawabnya. Dan kudanya digebah semakin kencang.
"Jawablah, Pandan! Apakah kau masih percaya?!" tanya pemuda itu, langsung ikut menggebah kudanya. Kelihatannya dia penasaran sekali.
"Kejarlah aku. Kalau kau bisa mengejar, maka akan kujawab," sahut Pandan Wangi.
"Apa?!" Pranaja terkesiap, sesaat dia tertegun. Tapi cuma sekejap. Karena selanjutnya dengan bersemangat kudanya digebah semakin kencang.
"Awas! Akan kutanggap kau!" teriak Pranaja.
"Kau tidak akan mampu!" sahut Pandan Wangi.
"Heaaa...!"

***

169. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa Mata MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang