BAGIAN 1

240 8 0
                                    

Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berjalan mondar-mandir di beranda rumahnya. Sepertinya hatinya sedang gelisah. Terutama ketika mendengar suara rintihan dari dalam rumah. Ingin rasanya dia pergi jauh agar rintihan itu tidak terdengar. Tapi sebelum kakinya melangkah, seorang perempuan berusia empat puluh lima tahun telah berada di belakangnya.
"Apa yang bisa kita lakukan, Kakang Jaladra? Apakah kau akan membiarkan Sentanu mati begitu saja?" tegur perempuan itu membuat laki-laki setengah baya ini menarik napas dalam-dalam.
Nada bicara perempuan itu terdengar sinis. Sementara laki-laki setengah baya yang bernama Jaladra kembali menarik napas seraya beringsut ke tiang teras. Dan dia bersandar di situ.
"Aku tidak tahu...," desah laki-laki setengah baya berpakaian sutera putih dengan rantai emas menjulur keluar dari sakunya.
Ki Jaladra yang di Desa Karang Welas ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatannya hanya bisa pasrah. Sementara perempuan di belakangnya yang tak lain istrinya, terus mendesak agar dia berbuat sesuatu.
"Apakah Kakang sama sekali tidak mau berusaha?" desak istri Ki Jaladra dengan raut wajahnya kelihatan memelas.
"Usaha apa lagi yang mesti kulakukan, Sakaweni?!" Ki Jaladra malah balik bertanya.
"Bawa anak kita ke tabib itu...."
Seketika laki-laki itu berbalik. Ditatapnya tajam-tajam penuh amarah pada istrinya yang bernama Sakaweni.
"Jangan kau sebut-sebut lagi nama itu! Dia bukan tabib, tapi pembawa malapetaka!" desis laki-laki kepala desa ini geram.
"Jadi kau akan membiarkan anak kita mati begitu saja?"
"Akan kudatangi tabib mana pun, asal Sentanu bisa sembuh. Tapi tidak ke tabib itu!"
Nyi Sakaweni menghela napas berat. Dipandanginya Ki Jaladra dengan tatapan lesu. Entah kenapa, suaminya pun termakan cerita-cerita orang. Tabib wanita yang berdiam di Desa Galuh telah banyak menyembuhkan orang sakit yang datang ke tempatnya. Bahkan boleh dikata, tabib itu amat istimewa. Sebab telah tersiar kabar sampai ke mana-mana bahwa orang sakit yang datang ke tempat itu pasti sembuh!
"Coba lihat anak Ki Rebung! Setelah dari sana, pulangnya seperti orang linglung. Memang penyakitnya sembuh. Tapi tidak berapa lama dia kabur tanpa berita. Apa kau mau anak kita seperti dia?" lanjut laki-laki itu.
"Si Kajar sakit karena ditinggal mati kekasihnya. Kata orang-orang, dia malah bunuh diri ke dalam telaga yang berada di pinggiran Hutan Belitung...."
"Apa pun alasannya, toh Kajar bukan malah sembuh sepulang dari tabib itu!"
"Masih banyak contoh lain. Pernah dengar anak Desa Margahayu? Katanya anak itu sembuh setelah berobat pada tabib itu. Padahal penyakitnya parah. Bahkan banyak tabib lain yang mengatakan nyawanya tak lama lagi," usik Nyi Sakaweni.
Ki Jaladra terdiam. Lalu kakinya melangkah menghampiri salah satu bangku berukir yang ada di beranda ini. Seketika pantatnya dihenyakkan di atas bangku ini. Istrinya mengikuti, lalu duduk di bangku yang satu lagi. Sebuah meja menjadi pembatas mereka berdua.
"Ayo, Kang! Kenapa percaya pada cerita yang buruk? Segala sesuatu ada baik dan buruknya. Kalau tidak mencoba, lalu bagaimana kita tahu? Ini harapan terakhir buat anak kita. Kalau didiamkan terus dia bisa mati dalam keadaan menderita," bujuk Nyi Sakaweni lagi.
"Lalu kalau setelah berobat dan ternyata Sentanu aneh-aneh seperti si Kajar, apa yang bisa kita lakukan?" tanya laki-laki ini.
"Sentanu tidak sama dengan Kajar. Dia tidak ditinggal mati kekasihnya. Bahkan kuperhatikan, Sentanu belum punya kekasih. Dia tidak akan patah hati!" tandas Nyi Sakaweni, berusaha meyakinkan suaminya.
Ki Jaladra sendiri terdiam, memikirkan kata-kata istrinya. Atau mungkin juga tengah berpikir kalau penyakit anaknya semakin parah bila tidak segera diobati. Dan selama ini, tidak seorang tabib pun yang bisa menyembuhkannya. Padahal tabib yang dikatakan istrinya tadi terkenal ampuh!
"Ayo, Kang! Apa lagi yang perlu dipikirkan?" desah Nyi Sakaweni.
"Kalau Sentanu makin parah?"
"Apa itu berarti kita harus pasrah dengan penyakitnya tanpa usaha? Padahal ada jalan untuk menyembuhkannya. Harapan anak kita untuk sembuh, tinggal tabib itu!"
Kepala Desa Karang Welas itu kembali diam. Tapi kali ini matanya memandang istrinya dengan sinar sayu. Raut wajahnya berbeda dengan tadi. Lebih lunak, dan berkesan pasrah.
"Bagaimana, Kang?"
"Terserahlah...."
Nyi Sakaweni langsung berubah berseri-seri. Buru-buru dia masuk ke dalam untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara Ki Jaladra masih termangu. Dan pikirannya tetap bingung, meski telah menyetujui saran istrinya.

172. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Tabib SilumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang