BAGIAN 3

118 8 0
                                    

Pagi berkabut bagai tirai tipis, perlahan-lahan terkuak oleh sinar matahari dan angin yang tertiup. Rangga yang telah berada di sekitar Telaga Air Mata Dewa melangkah menyusuri. Walaupun udara amat dingin merasuki tulang sumsum, namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tak pernah merasakannya. Jangankan terhadap hawa dingin. Menghadapi keangkeran telaga ini saja, hatinya tak pernah ciut sedikit pun.
Rangga berjalan sambil menuntun Dewa Bayu pelan-pelan. Sejauh ini belum ada sesuatu hal aneh yang ditemukannya. Bahkan hampir dua kali pinggiran telaga itu dikitari, tidak ada kejadian apa pun. Di dekat sebuah pohon yang cukup besar, Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Matanya tajam memandang seperti hendak menikam sampai ke dasar telaga.
"Hieee...!" Mendadak Dewa Bayu meringkik kasar sambil menghentak-hentakkan kakinya untuk beberapa kali.
"Tenang, Dewa Bayu. Tidak akan kubiarkan sesuatu menyerangmu...," bujuk Rangga sambil mengelus-elus leher tunggangannya yang dapat berlari secepat kilat.
Dibujuk demikian, Dewa Bayu yang memang bukan kuda sembarangan malah mendengus-dengus liar seraya meringkik kecil beberapa kali. Namun begitu, Rangga berusaha terus membujuknya, dan Rangga yang sudah mengenal watak Dewa Bayu langsung mengerti isyarat-isyarat yang diberikan. Jelas, Dewa Bayu gelisah. Padahal sejak pertama Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetrapkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' yang membuat telinganya tajam, setajam telinga rajawali. Bahkan suara semut berjalan pun mampu didengar telinganya. Namun....
Kali ini ajian itu tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Dan membuat hatinya semakin diliputi tanda tanya. Apa yang membuat Dewa Bayu mendengus kasar seperti terusik oleh kehadiran sesuatu yang asing di dekatnya!
Sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Tatar Netra' yang membuat matanya mampu melihat sesuatu yang jauh, walaupun dalam kegelapan. Namun tetap saja hasilnya nihil.
Terakhir Rangga membenamkan pandangan ke dasar telaga. Juga tidak ada apa pun yang dilihatnya. Dasar telaga itu sendiri keruh dan airnya kotor berwarna hitam pekat.
Setelah mendesah pelan, Pendekar Rajawali Sakti menaiki kuda lalu menggebahnya perlahan-lahan. Wajahnya tampak keruh dan otaknya terus berpikir. Kini Rangga mulai menyusuri Telaga Air Mata Dewa.
"Hm.... Sebaiknya aku kembali ke Desa Karang Welas," gumam Rangga.
Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya dengan kencang. Namun kali ini arah yang ditempuh tidak melewati jalan semula. Jalan ini lebih singkat dan mudah dilalui ketimbang harus lewat jalan saat kedatangannya tadi.
"Sebaiknya, aku langsung ke rumah mendiang Kepala Desa Karang Welas. Hm..., kalau tak salah, namanya Ki Jaladra...," gumam Rangga lagi sambil terus memacu kudanya yang berlari bagai sambaran kilat.
Dengan kecepatan lari yang luar biasa, sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di mulut Desa Karang Welas sebelah utara. Rangga memperhatikan dengan cermat keadaan di desa ini. Dan agaknya, cerita Ki Salika memang tidak bohong. Desa ini sepi. Dan sejak tadi tak seorang pemuda yang dilihatnya. Hanya orang-orang tua, para wanita, dan anak-anak. Dan sebaliknya, kehadirannya di tempat itu menarik perhatian para penduduk. Sepanjang perjalanan, mereka memperhatikannya dengan pandangan heran.
Setelah bertanya ke sana-sini, Rangga telah tiba di depan rumah Ki Jaladra, dan langsung bertemu dengan istrinya. Dan Rangga langsung menjelaskan kedatangannya, sekaligus menanyakan perihal kematian Ki Jaladra.
Namun istri mendiang Ki Jaladra ini kelihatan tidak begitu suka peristiwa kematian suaminya diusik. Dia hanya menjawab sepatah atau dua patah kata saja saat pemuda itu bertanya.
"Siapa kau, Anak Muda? Dan punya maksud apa menanyakan musibah yang menimpa keluargaku?" tanya perempuan tua bernama Nyi Sakaweni ini setelah merasa bosan menjawab pertanyaan-pertanyaan Rangga.
"Aku bermaksud membereskan persoalan ini...," tandas Rangga.
"Huh! Persoalan tidak akan beres sebelum Tabib Siluman itu mati!" desis Nyi Sakaweni.
Rangga terdiam. Entah berapa kali sudah didengarnya wanita ini mengumpat-ngumpat tabib yang telah menyembuhkan penyakit putranya, sekaligus diyakininya sebagai penyebab kematian Sentanu dan Ki Jaladra.
"Kalau kau mau membereskan persoalan ini, bereskan iblis wanita itu! Karena dia, suami dan anakku mati! Karena dia pula beberapa pemuda desa yang berobat kepadanya meninggal. Karena dia pula pemuda-pemuda desa ini minggat entah ke mana!" lanjut Nyi Sakaweni menumpahkan amarahnya.
"Baiklah.... Kalau begitu permisi dulu, Nyi." Rangga menjura hormat, lalu berbalik. Dihampirinya Dewa Bayu. Dan dengan lompatan indah, Rangga naik ke atas punggung kudanya, lalu menggebah perlahan-lahan.
Tidak banyak yang diperoleh Pendekar Rajawali Sakti dari wanita itu. Tidak jauh berbeda dari apa yang didengarnya semula. Namun begitu Rangga tidak putus asa. Dan dia kembali melanjutkan perjalanan menuju jalan yang tadi dilalui. Namun arahnya terus ke barat, menuju Desa Galuh!
Namun tanpa disadari sesosok bayangan mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari tempat yang tersembunyi. Agaknya orang itu memang pintar mengatur jarak, sehingga Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak sadar dibuntuti seseorang.
Dengan menggebah kudanya perlahan-lahan, Pendekar Rajawali Sakti memasuki Desa Galuh yang terasa lengang. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan dua desa yang telah dilaluinya. Penduduk jarang keluar dari rumahnya. Padahal hari telah menjelang siang. Rangga segera menghentikan kudanya, tepat di depan sebuah rumah kecil.
Seorang perempuan tua yang sedang menyapu halaman segera menghentikan pekerjaannya ketika pemuda berbaju rompi putih ini telah melompat dari punggung kudanya dan melangkah menghampiri. Dengan senyum ramah Pendekar Rajawali Sakti membungkuk hormat, setelah berada dua tombak dari perempuan tua itu.
"Maaf, Nyisanak.... Kalau boleh tanya, di manakah tempat tinggal tabib yang konon telah menggegerkan sekitar Telaga Air Mata Dewa?" tanya Rangga.
Bukannya menjawab, perempuan tua itu malah tersentak kaget. Wajahnya seketika berubah.
"Apakah kau akan pergi berobat, Anak Muda?" tanya perempuan tua ini.
"Ah, tidak. Hanya ingin beranjangsana saja," sahut Rangga dengan senyum ramah.
"Sebaiknya memang tidak usah. Tabib itu memang hebat. Namun juga membawa malapetaka. Para pemuda yang berobat padanya bisa dipastikan akan menemui ajalnya beberapa hari kemudian!" kata perempuan tua itu, penuh kekhawatiran melihat pemuda tampan di depannya ini seperti mencari mati.
"Ya.... Kegemparan itu memang kudengar...."
"Tidak perlu dekat-dekat dengannya! Kau akan celaka...!"
"Begitu jahatnyakah tabib itu?"
"Huh! Dia bukan sekadar tabib tapi juga iblis wanita yang amat jahat! Tak heran kalau kemudian orang-orang menjulukinya Tabib Siluman!" umpat wanita yang berusia enam puluh tahun ini.
"Dari mana Nyisanak bisa begitu yakin?" pancing Rangga.
"Di desa ini sudah tidak ada seorang pemuda pun yang tinggal. Beberapa orang menemui ajalnya, setelah berobat pada tabib itu. Dan yang lainnya sudah pergi jauh-jauh meninggalkan desanya!"
"Apakah kepala desa tidak bertindak terhadap tabib itu?"
"Apa yang bisa dilakukannya? Kami sudah tidak mempunyai bukti. Tidak ada alasan menuduh tabib itu. Meski demikian, bukan hanya penduduk desa ini saja yang percaya kalau tabib wanita itu adalah pembunuh keji!"
"Siapa nama kepala desa ini, Nyisanak?" tanya Rangga, mengalihkan pembicaraan.
"Ki Somareksa. Apakah kau akan menemuinya? Untuk apa?"
"Ya! Ada beberapa hal yang mungkin akan kubicarakan dengannya sehubungan peristiwa ini...."
"Huh! Kami tidak butuh bicara, Anak Muda! Satu-satunya yang kami perlukan adalah mengusir wanita iblis itu dari sini!" cibir perempuan tua itu, sinis.
"Lalu kenapa tidak kalian lakukan?" pancing Rangga kembali.
"Siapa yang berani? Setiap mereka yang bermaksud jahat kepadanya, pasti gagal. Orang itu kemudian sakit dan tidak berapa lama mati tanpa diketahui sebabnya!"
Rangga mengangguk perlahan mendengarkan penjelasan itu.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa kepentinganmu mengurusi persoalan ini? Kalau memang kau tak ada urusan apa-apa, sebaiknya lekas menjauh sebelum dirimu celaka. Tapi kalau memang berkepentingan dalam hal ini maka usirlah wanita iblis itu! Berjalanlah kau ke arah sana. Bila kau menemukan pohon mahoni yang cukup besar, maka akan menemukan rumah yang paling besar pula. Di sanalah dukun iblis itu tinggal!" tunjuk perempuan tua ini, ke arah kanan.
"Aku memang punya kepentingan. Dan akan kulakukan sebisaku! Setiap kebusukan selalu akan tercium meski serapat mungkin disembunyikan. Demikian pula halnya kejahatan!" tandas Rangga.
"Oh, ya. Di mana tempat tinggal Kepala Desa Galuh itu, Nyisanak?"
"Sama arahnya, namun kau harus berbelok ke arah kiri. Lima puluh tombak dari pohon mahoni itu, ada belokan ke kiri. Dan bila kau menemukan rumah yang cukup besar dan apik, itulah rumah kepala desa ini...."
"Ciri-ciri kepala desa itu?"
"Usianya sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya gagah, tinggi besar. Wajahnya bercambang bauk dan berjenggot lebat...," urai perempuan tua ini.
"Wah..., terima kasih banyak, Nyisanak. Aku telah terlalu banyak mulut," ucap Rangga, halus.
"Aku tak keberatan kau tanya-apa saja, selama bisa menjawab. Asalkan bantulah kami melenyapkan Tabib Siluman itu," kata perempuan tua ini penuh harap.
"Mudah-mudahan Nyisanak. Aku hanya manusia belaka. Semuanya hanya karena pertolongan Yang Maha Kuasa. Lain, tidak!" sahut Rangga merendah. "Aku mohon pamit, Nyisanak."
Tanpa mengharapkan jawaban lagi. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Kakinya melangkah cepat ke arah kudanya yang berdiri tenang. Dengan gerakan indah sekali Pendekar Rajawali Sakti naik ke atas punggung Dewa Bayu, lalu menggebahnya.
"Hm.... Aku harus ke rumah kepala desa ini lebih dulu. Setahuku, seluruh desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa berada di wilayah Karang Setra. Dan aku paling benci bila rakyatku hidup dalam ketidaktenangan, sementara kepala desanya, tenang-tenang saja!" gumam Rangga yang juga Raja Karang Setra ini, sambil terus menggebah kudanya.

172. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Tabib SilumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang