BAGIAN 4

122 8 0
                                    

Baru saja Rangga dan Ki Somareksa tiba di pekarangan rumah Tabib Siluman, sudah terdengar teriakan-teriakan penuh amarah dari kerumunan orang-orang menuntut agar tabib itu keluar rumah.
"Ada apa ini, Ki?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Entahlah.... Mungkin mereka hendak membuat keonaran di desaku...," sahut Ki Somareksa.
"Mereka penduduk Desa Galuh?"
"Ada beberapa orang yang bukan penduduk desa ini...."
"Cepat redakan kemarahan mereka, Ki!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa diperintah dua kali, Ki Somareksa berlari dan langsung menyeruak kerumunan.
"Berhenti...! Ada apa ini?!" bentak Ki Somareksa sambil mengangkat kedua tangannya.
Melihat siapa yang datang, orang-orang yang mengenal Ki Somareksa langsung berhenti berteriak. Sebagian menggumam tak jelas, bagai kawanan lebah.
"Ki Soma! Kenapa kau melarang kami untuk menghukum iblis itu?!" teriak seorang penduduk.
"Ya, benar! Kenapa kau melarang kami?!" timpal yang lain.
"Siapa yang kau maksud iblis?!" Ki Somareksa malah balik bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan tabib keparat itu!" sahut beberapa penduduk, hampir berbarengan.
"Dia bukan iblis! Kalau benar tuduhanmu, maka tak seorang pun yang mau berobat padanya!" sergah Ki Somareksa.
"Tanya pada penduduk desamu! Juga katakan pada penduduk dua desa lainnya yang berada di sekitar sini! Mereka akan mengatakan bahwa tabib itu iblis betina! Dia penyebab kematian pemuda-pemuda di desamu. Dia juga penyebab kematian para pemuda di desa-desa yang berdekatan dengan Telaga Air Mata Dewa. Dan dia juga penyebab kematian adik kami!" teriak seorang laki-laki setengah baya dengan muka garang dan suara kasar.
Begitu selesai kata-katanya, para penduduk berteriak-teriak mendukungnya.
"Tuduhanmu tidak beralasan. Dan tidak ada bukti sedikit pun!" tangkis kepala desa itu.
"Apakah kebencian para pendudukmu terhadapnya bukan bukti nyata? Apakah mereka semua sepakat membencinya tanpa alasan?!" cecar orang ini, yang sepertinya bukan penduduk Desa Galuh.
"Ki Soma! Jangan ikut campur! Lebih baik menyingkir!" teriak seseorang.
"Mundur! Kau tidak pantas menjadi kepala desa!" timpal yang lain.
"Kalau dia tidak mau mundur, usir saja dari sini...!"
"Usir, usiiir...!"
Teriakan-teriakan itu berubah cepat menjadi kenyataan. Dan puluhan warga desa baik lelaki maupun wanita bergerak cepat menyerbu ke arah Ki Somareksa sambil mengacung-acungkan berbagai macam senjata. Bahkan batu-batu mulai menghujani kepala desa itu!
Agaknya para penduduk itu telah lama memendam kebencian pada Ki Somareksa. Sehingga ketika menemukan saat yang tepat, maka kebencian mulai dilampiaskan.
Ki Somareksa jadi ciut nyalinya. Sementara lemparan batu semakin banyak menyerangnya. Sedangkan para penduduk desa mulai rapat mengepungnya. Untung pada saat yang gawat, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala para penduduk dan hinggap di depannya. Seketika dihalaunya serangan batu itu, hingga tak ada satu pun yang mengenai sasaran.
"Berhenti...!" teriak Rangga keras menggelegar, membuat para penduduk yang terus maju jadi berhenti seketika.
"Tolong.... Tolong aku, Kanjeng Gusti Prabu...!" ratap Ki Somareksa, ketakutan sambil bersembunyi di belakang pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kisanak! Apa maksudmu melindunginya? Orang itu tidak layak dilindungi. Dia bersekutu dengan iblis betina itu, untuk menimbulkan kekacauan di desa ini!" bantah salah seorang penduduk dengan suara lantang.
"Aku tidak bermaksud melindunginya. Hanya saja menghindari kalian dari tindakan biadab...," teriak Rangga, tak kalah lantang.
"Orang itu seperti binatang. Dan dia patut menerima ganjaran yang setimpal!" sahut yang lain dengan suara bernada gusar.
Penduduk lain menimpali dengan nada sama. Mereka berteriak-teriak seraya memaki dan menyumpah-nyumpah Kepala Desa Somareksa.
"Berikan dia pada kami. Dan pergilah kau dari sini! Jangan campuri urusan kami!" teriak yang lainnya.
"Anak muda! Kau orang asing di sini! Tidak perlu campur tangan!"
"Pergi kau...! Pergiii...!"
Meski berteriak-teriak garang begitu, namun tak seorang pun yang berani melakukan pelemparan batu seperti tadi. Agaknya mereka merasa yakin kalau pemuda itu bukan orang sembarangan. Apalagi dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Dengan penampilan seperti itu Pendekar Rajawali Sakti jadi kelihatan wibawa sekali.
"Aku memang orang asing. Tapi aku paling tak suka melihat kalian bertindak semena-mena!" sahut Rangga, dingin.
"Kalau begitu, tangkap iblis betina itu. Dan enyahkan dia dari desa ini!"
"Ya! Bawa dia pergi. Dan jangan sampai datang ke desa ini lagi!" timpal yang lain.
"Diamlah kalian semua...!" teriak pemuda itu lantang.
Orang-orang itu terdiam. Mereka ingin mendengarkan, apa yang akan dikatakan.
"Aku akan bicara pada tabib itu. Dan kalau perlu, tinggal di desa ini barang beberapa hari untuk menyelidikinya. Sekarang bubarlah. Dan jangan buat kerusuhan disini! Ayo, bubaaar...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Meski menggerutu dan tidak puas, tapi perlahan-lahan para penduduk satu persatu meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...," ucap seorang gadis cantik, begitu Pendekar Rajawali Sakti yang ditemani Ki Somareksa telah berada di dalam rumah tabib itu.
Bibir gadis ini yang merah merekah menyungging senyum. Tangan kanannya terjulur. Jarak mereka dekat sekali, sehingga Rangga terpaksa mundur sedikit seraya menyambut jabat tangannya.
"Namaku Dewi Saraswati. Kau boleh memanggilku Dewi atau sesuka hatimu...," lanjut tabib yang bernama Dewi Saraswati ini.
"Rangga...," sebut Rangga, memperkenalkan diri.
"Hm, bagus sekali namamu!"
"Maaf, kejadian tadi membuat mereka yang hendak berobat padamu ikut pergi," ucap pemuda itu, tidak menanggapi pujian Dewi Saraswati.
"Tidak mengapa. Mereka mengerti keadaan. Silakan dicicipi kopi dan kue-kuenya. Maaf aku tidak punya sesuatu yang istimewa. Hanya sekadar kue-kue dan kopi hangat ini."
"Kau tidak perlu repot-repot, Dewi. Aku sudah dijamu Ki Somareksa. Dan bukan maksudku menolak hidangan yang kau suguhkan. Tapi aku punya pantangan untuk tidak makan dan minum dalam waktu yang dekat," kilah Rangga mencari alasan.
Bukannya tanpa alasan Pendekar Rajawali Sakti menolak halus hidangan yang disediakan tuan rumah. Sejak semula mata hatinya berkata kalau gadis yang dijuluki Tabib Siluman ini bukan orang baik-baik. Sikapnya yang terlihat sedikit genit, membuatnya jengah. Tadi saat bersalaman, pandangan matanya begitu tajam seperti hendak menghujam sanubarinya. Rangga bisa merasakan daya sihir kuat dari pandangan mata itu. Juga jabatan tangan yang membuat tubuhnya merinding dan sedikit gemetar. Wanita ini memang cantik. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya merinding dan gemetar.
"Hm.... Sayang sekali...," gumam Dewi Saraswati dengan wajah kecewa.
"Ya, sayang sekali...," Ki Somareksa membeo.
"Tapi bukan karena terpengaruh cerita orang-orang, bukan?" lanjut gadis ini sambil tersenyum kecil.
"Maksudnya?"
"Mereka yang berobat, lalu ditemukan mati di telaga itu. Kemudian kau mengira bahwa aku membubuhkan racun pada makanan dan minuman ini...," jelas Dewi Saraswati, terus terang.
"Hm, tidak...," sahut Rangga berdusta.
"Yaaah, syukurlah. Nah, kini apa yang bisa kubantu untuk mempermudah tugas penyelidikanmu? Orang-orang menuduh bahwa aku penyebab kematian beberapa orang pemuda. Juga penyebab mengapa banyak pemuda kabur dan meninggalkan desanya. Kau sudah lihat dan dengar sendiri, bukan? Semuanya menuduhku begitu. Padahal aku sama sekali tidak melakukannya. Kau bisa lihat sendiri. Aku mengobati dan menyembuhkan mereka yang datang ke sini dengan ikhlas, tanpa maksud apa pun selain ingin mengabdikan kepandaian yang kumiliki...."
Pendekar Rajawali Sakti tidak banyak bicara. Dan dia hanya mendengarkan wanita itu bicara panjang lebar tentang perlakuan-perlakuan buruk yang diterimanya dari penduduk desa-desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa.

***

172. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Tabib SilumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang