Lima tahun yang lalu. Awal musim semi.
Bel kuil berdentang nyaring ke seluruh sudut kota sebanyak enam kali, menandakan bahwa sekarang pukul enam pagi. Sinar mentari perlahan muncul, hangatnya membuat musim semi tahun ini terasa lebih menyegarkan. Walaupun begitu, salju belum juga meleleh sebab letak wilayah negeri ini yang berada di utara. Jadilah suhu dingin akan sedikit lebih lama durasinya dibandingkan suhu panas.
Pada awal musim semi pula hampir semua orang akan berbondong-bondong datang ke kuil untuk berdoa kepada para Dewa, meminta keselamatan, kesehatan, serta kemakmuran tanah ladang mereka agar hasilnya melimpah. Hal itu sudah menjadi tradisi bagi mereka secara turun-temurun setiap musim semi datang.
Selain itu, ada juga ritual pembaptisan untuk anak-anak yang sudah berusia delapan tahun. Ada dua waktu pembaptisan, yaitu pada saat musim semi dan musim gugur; waktu musim semi untuk anak yang lahir di musim gugur hingga musim dingin, sedangkan waktu musim gugur untuk anak yang lahir di musim semi hingga musim panas. Anak yang telah dibaptis kelak dianggap sudah dewasa dan diizinkan bekerja.
Kuil menjadi lebih sibuk sekarang sebab dua acara akan dilangsungkan secara bersamaan, tetapi dilakukan di ruangan yang berbeda. Oleh sebab itu, para pendeta berbagi tugas agar semuanya berjalan lancar.
Kedua ritual tersebut bukan hanya diikuti oleh rakyat biasa saja, bangsawan pun turut mengikutinya. Bedanya mereka lebih didahulukan satu jam lebih awal. Maka sebelum bel ketujuh berdentang, sudah banyak kereta kuda yang keluar-masuk kuil—mengantar para bangsawan untuk berdoa serta membaptis anak-anak mereka.
Dari banyaknya bangsawan yang datang, Tiv termasuk salah satu di antara yang akan dibaptis. Wajah cemerlang yang tercetak tak mampu dia sembunyikan saking antusiasnya. Dari tadi Tiv terus melihat ke arah luar, tak sabar untuk gilirannya turun dari kereta kuda.
"Tiv, jangan keluarkan kepalamu dari jendela. Itu berbahaya," tegur seorang wanita yang duduk di seberang Tiv—ibunya, Lin.
"Tapi, Ibunda, ini terasa menyenangkan! Aku hanya tidak sabar menjadi dewasa," balas Tiv setelah menoleh dan tersenyum lebar.
Tak ingin merusak kebahagiaan anaknya, Lin hanya mengembuskan napas dan balas tersenyum. "Baiklah, tapi sekarang kau harus duduk dengan benar karena kita akan segera turun," suruhnya.
Tiv menurut. Dia segera membenarkan duduknya karena sesaat setelahnya tibalah giliran mereka untuk turun dari kereta kuda. Yang pertama turun adalah Lin—dibantu dengan ksatria pribadinya, baru setelah itu Tiv. Mereka disambut langsung oleh kepala pendeta kuil, Pendeta Jang.
"Selamat datang di kuil, Yang Mulia Nyonya Linnar dan Pangeran Tivnar," sambut Jang dan beberapa pendeta lain yang bertugas menyambut para bangsawan di depan kuil sambil membungkuk.
"Pendeta Jang!" sapa Tiv sambil melambai—semakin antusias begitu melihat Jang. Dia paling senang bertemu dengan Jang karena baginya pria itu sangat baik.
"Tivnar, perhatikan sikapmu." Lin berdeham kecil agar anaknya mau mendengarkan.
"Oh, benar." Tiv segera berdiri tegap, meletakkan tangan kanan di dada kiri, dan tersenyum. "Senang bertemu dengan Pendeta Jangnim dan pendeta sekalian yang ada. Mohon bantuannya untuk hari ini," sapanya ulang yang kini lebih formal.
Jang balas tersenyum lembut sebelum menundukkan kepala dan berkata, "Suatu kehormatan untuk kami. Silakan masuk, Nyonya Linnar, dan untuk Tuan Tivnar bisa langsung menuju ruang pembaptisan."
Tiv dan Lin melangkah masuk ke dalam kuil dan berpisah karena ruangan pembaptisan yang terpisah. Namun sebelum itu, Lin menepuk pundak Tiv dan terdiam sejenak.
"Ada apa, Ibunda?" tanya Tiv.
"Kau bisa pergi sendiri, atau ingin ditemani Fedrick?" Daripada menawarkan, pertanyaan Lin lebih mengarah ke khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelstahl: The Truth
FantasyPangeran Lumpuh. Itulah panggilan yang sudah melekat pada dirinya, Tiv, sejak mereka tahu bahwa dia tidak punya bakat dalam banyak hal--bahkan berpedang sekalipun. Padahal seorang penerus takhta harus dan mampu menguasai segalanya agar kelak dapat m...