Permintaan Tiv itu tentu saja mengejutkan mereka, termasuk Jang yang tidak menyangka itu akan keluar dari mulu seorang putra mahkota. Dia memang mengenal betul pribadi Tiv, salah satunya kepeduliannya terhadap sesama tanpa memandang status seseorang. Namun, rasanya sikap Tiv barusan tidak dilakukan di waktu yang tepat.
"Maaf, Tuan Tivnar, tetapi itu tidak bisa," tolak Jang sopan.
"Oh, benarkah? Tapi bukankah akan lebih cepat kalau dilakukan bersama?" Tiv tetap tidak ingin menyerah dengan idenya.
"Itu benar, Tuan Tivnar. Namun, ritual pembaptisan ini sudah menjadi prosedur yang ditetapkan oleh para pendeta terdahulu dan kami tidak bisa mengubahnya begitu saja," terang Jang.
"Tapi, Pendeta Jang—"
"Apa yang kau pikirkan sih, Tiv?! Kalau Pendeta Jang berkata tidak bisa, ya tidak bisa!" Far sangat geram dan tidak bisa menahan emosinya sebab sikap Tiv yang dirasa keras kepala. Hanya dia yang berani berkata seperti itu karena yang lain tidak bisa berbuat banyak.
"Ugh, bisakah kau tidak berteriak, Far? Tanpa kau berbicara dengan keras pun aku masih bisa mendengar suaramu dengan jelas," protes Tiv.
Tidak peduli dengan itu, Far kembali melanjutkan dengan nada bicara yang lebih tinggi. "Lagi pula, apa-apaan permintaanmu tadi? Kau pikir bisa berbuat seenakmu sendiri hah? Aku juga belum dibaptis, jadi jangan membuatku menunggu lebih lama!"
"Farnim, cukup." Jang segera mengakhiri perdebatan itu alih-alih dia marah dengan Far yang sudah berbicara tidak sopan.
Far tersentak mendengar suara Jang yang terdengar menakutkan baginya. "Tapi, Paman ...." Dia terdiam. Kalimat yang ingin dia keluarkan seolah tersangkut di tenggorokan, merasa segan untuk mengutarakannya.
"Sebaiknya kau paham kepada siapa kau berbicara tadi. Ini peringatan terakhir untuk hari ini," tegur Jang begitu tegas sehingga membuat suasana di sana terasa menegangkan. Namun, begitulah seharusnya yang dilakukan oleh seorang kepala pendeta sekaligus bangsawan yang sudah dewasa.
"Baik, Pendeta Jang," lirih Far.
"Dan untuk Tivnar," Jang kini mengarahkan pandangannya pada Tiv dan berbicara bukan hanya sebagai kepala pendeta, tetapi juga sebagai seorang Jang, "jika kau tetap pada keinginanmu, aku akan memberimu pilihan. Kau bisa dibaptis sekarang—sendirian, atau menunggu bersama Junhan di luar sampai ritual doa dan baptis untuk rakyat biasa selesai dilaksanakan."
Bila memilih pilihan yang kedua, itu artinya Tiv akan pulang terlambat dan membuat ibunya menunggu karena mereka juga akan pulang bersama. Tidak ada pilihan yang bagus memang, tetapi hatinya terus berseru untuk memilih pilihan kedua saja.
"Aku akan memilih yang kedua, Pendeta Jang," jawab Tiv tanpa ragu.
Permasalahan selesai. Jang menyuruh bawahan kepercayaannya untuk mengantar Tiv dan Jun keluar dan menunggu di ruangannya, kemudian melanjutkan pembaptisan untuk anak-anak yang tersisa.
Sementara itu, saat kedua anak itu berjalan menuju ruangan Jang, Jun terus merasa berat hati karena sudah menganggu waktu Tiv—berpikir bahwa semua ini adalah salahnya. Padahal Tiv sendiri merasa tidak keberatan, justru senang karena keinginannya diterima oleh Jang. Wajahnya jelas sekali terlihat ceria, berbeda dengan Jun yang terus menunduk dan berjalan di belakang Tiv.
Ketika melihat kondisi Jun, Tiv jadi tidak sesemangat dan seceria sebelumnya. Dia mendadak berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. Tentu saja itu membuat Jun tersentak karena hampir menabrak tubuh anak itu karena tidak memperhatikan ke depan.
"Ah, maafkan saya, Tuan—"
"Jangan membuatku menyesal sudah memilih pilihan ini, Jun," potong Tiv datar. "Bersikaplah sebagaimana seorang bangsawan lakukan. Tegakkan badanmu, arahkan pandanganmu ke depan, jangan pernah rendahkan dirimu sekalipun pada bangsawan yang lebih tinggi derajatnya darimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelstahl: The Truth
FantasyPangeran Lumpuh. Itulah panggilan yang sudah melekat pada dirinya, Tiv, sejak mereka tahu bahwa dia tidak punya bakat dalam banyak hal--bahkan berpedang sekalipun. Padahal seorang penerus takhta harus dan mampu menguasai segalanya agar kelak dapat m...