Tiv masih bertanya-tanya tentang suhu tubuhnya yang mendadak panas tadi. Namun, untungnya dia mampu mempertahankan kesadarannya dan mendapat pertolongan cepat dari Fed.
Sekarang dia masih terbaring di kasurnya. Tatapan matanya kosong melihat langit-langit, melamun. Namun, sebenarnya di dalam kepalanya sedang memikirkan hal-hal yang sudah terjadi hari ini.
Kondisinya sudah membaik sejak beberapa jam yang lalu setelah tidur, makan untuk mengisi perutnya serta meminum obat dari tabib kerajaan. Hanya saja napasnya masih sedikit berat dan tubuhnya masih terasa panas. Tiv pikir dia hanya terserang demam, tapi yang dia herankan adalah dia tidak merasa kedinginan—tidak seperti demam pada umumnya. Justru badannya terasa sakit hampir di sekujur tubuh, seperti ada yang menusuknya dengan jarum.
Bocah laki-laki itu menoleh ke kanan, melalui jendela dia bisa melihat sebagian besar matahari sudah tertutupi horizon dan langit jadi berwarna jingga kekuningan dengan awan-awan tipis menyertainya. Tiba-tiba Tiv teringat dengan ibunya. Seharusnya Lin sudah berada di istana di waktu-waktu sekarang.
Terdengar suara ketukan pintu di tengah dia menyaksikan detik-detik tenggelamnya matahari. "Masuklah," kata Tiv memberi izin. Sosok Fed muncul bersama seorang bocah yang tanpa ragu langsung menerobos masuk begitu pintu terbuka dan memeluknya. Hal itu membuat Tiv terkejut karena tidak siap.
"Wah, wah, lihat siapa yang datang," ucapnya senang begitu melihat pucuk kepala anak itu. "Santai saja, Rey—"
"Tapi tubuhmu masih panas, Kak. Aku sungguh khawatir saat mendengarnya dari Fed. Obatnya sudah diminum? Apakah masih terasa kedinginan? Kau tidak tercebur ke kolam lagi, 'kan, Kak?" Rey langsung mencecar kakaknya dengan berbagai pertanyaan.
Kekehan Tiv memenuhi seisi kamarnya karena pertanyaan terakhir Rey. "Tentu saja tidak," balasnya.
Dia jadi teringat kembali dengan kejadian itu—saat Tiv sibuk mengejar Rey yang iseng menjambak pelan rambutnya. Karena tidak memperhatikan sekitar, dia lupa mengerem larinya sampai tercebur ke kolam ketika Rey tiba-tiba berbelok, dan air saat musim gugur di sana sudah dingin sehingga keesokan harinya Tiv demam dan flu.
Rey juga terkikik saat mengingatnya kembali. "Lagi pula, waktu itu Kakak tidak cepat-cepat berbelok sih," candanya.
"Itu karena kau, Rey. Dasar." Wajah Tiv semula sedikit cemberut, sesaat kemudian berubah bersahabat. "Selamat datang kembali di rumah, Rey. Bagaimana perjalananmu ke Kerajaan Elorein?"
Baru saja Rey akan membuka mulut—bersemangat untuk menceritakan semua yang dia lihat dan rasakan, seorang wanita kemudian muncul di ambang pintu memperhatikan kedua kakak-beradik tersebut. Matanya menatap Tiv sekilas, tatapan yang membuat anak itu langsung diam. Rey berbalik setelah merasakan perubahan dari kakaknya.
"Oh, Ibu. Apa Ibu juga ingin menjenguk Kak Tiv?" tanya Rey.
"Ya, Rey," jawab sang ibu, Yoh. Tak lupa seulas senyum terukir di wajahnya. "Rey, bukankah kau lelah setelah perjalanan tadi? Lebih baik kau istirahat dulu di kamarmu sembari bersiap diri untuk makan malam. Ayo, sudah hampir waktunya, Sayang," sambungnya sambil mengusap lembut rambut Rey.
"Baik, Ibu." Rey tersenyum menurut dan beralih menatap Tiv. "Kak, kita lanjutkan ini nanti ya! Aku masih ingin berbicara denganmu," katanya antusias.
Tiv ikut tersenyum. "Ya, Rey. Sekarang pergilah ke kamarmu."
Sebelum pergi, Rey mengepalkan tangan kanan dan menyodorkannya ke depan Tiv agar salam yang mereka buat dibalas oleh si kakak. Tiv tersenyum dan membalasnya sebelum Rey meninggalkan kamarnya sambil bersenandung pelan.
"Dan kau." Yoh kini berbicara pada Tiv. Bibirnya yang tadi tersenyum untuk Rey kini sirna, digantikan oleh tatapan tajam sehingga Tiv merasa takut membalas pandangan tersebut. "Tidak ada waktu bersantai untukmu—aku tidak peduli mau kau sakit atau tidak. Segeralah persiapkan dirimu juga untuk makan malam. Jangan sampai telat," pungkasnya dan langsung pergi tanpa perlu repot menunggu balasan Tiv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelstahl: The Truth
FantasyPangeran Lumpuh. Itulah panggilan yang sudah melekat pada dirinya, Tiv, sejak mereka tahu bahwa dia tidak punya bakat dalam banyak hal--bahkan berpedang sekalipun. Padahal seorang penerus takhta harus dan mampu menguasai segalanya agar kelak dapat m...