Bab 3

29 5 6
                                    

Angin sejuk berhembus masuk ke ruangan Jang sebab jendelanya terbuka. Beberapa burung terlihat hinggap di dahan pohon yang tumbuh tak jauh dari jendela itu. Cahaya mentari yang menyelip masuk juga menerangi seisi ruangan—pengganti lilin-lilin yang sudah dimatikan beberapa jam lalu, hangatnya menjadi penambah ketentraman walaupun kedua anak itu sedang serius berbincang.

Hening di antara mereka terjadi beberapa saat. Tiv terkejut mendengar jawaban gamblang Jun, tetapi memang salahnya untuk menyuruh anak itu berterus terang.

"Kalau tidak ada jawaban darimu, Tiv, berarti memang benar," kata Jun memecah keheningan.

Tepat setelah Jun selesai berucap, Tiv menemukan kalimat yang pas untuk dijadikan jawaban. "Yah, anggap saja begitu," ujarnya santai.

Jun tiba-tiba langsung berlutut patuh di hadapan Tiv dan berkata, "Saya siap menjalankan tugas dari Tuan kapan saja."

Tiv terperanjat, tanpa sadar nada bicaranya sedikit naik. "Astaga! Jun, bukan itu yang kumaksud!"

"Bukan?" Jun menengadah.

Tidak habis pikir dengan jalan pikir Jun, Tiv memegang kepalanya. "Hah ..., ternyata sulit juga menyuruhmu untuk bersikap santai," keluhnya.

"Maaf," ucap Jun menyesal.

"Yang tadi itu, jujur saja, membuatku kaget," aku Tiv.

"Maaf." Jun mengulang kembali bentuk penyesalannya.

"Dan berhenti meminta maaf, Jun. Aku tahu kalau kau sedang membiasakan diri, dan aku mulai bosan mendengar kata itu keluar dari mulutmu." Kali ini Tiv berkata lebih serius sambil menatap lurus netra lawan bicaranya.

"Ma—" Jun hampir saja mengucapkan kata yang baru saja dilarang, lalu dia menelannya bersama ludah untuk membasahi kerongkongan yang kering setelah ditatap Tiv seserius itu—ditambah wajah mereka yang berjarak dua jengkal orang dewasa membuatnya semakin gugup.

Dengan suara lirih sambil bersedekap, Tiv bergumam, "Bagaimana caranya agar dia mau jadi temanku ya?"

Begitu mendengarnya—suara Tiv masih bisa dia dengar karena kesunyian di ruangan itu membuatnya terdengar jelas—Jun berdiri. Tiv melihat perubahan raut wajahnya menjadi heran dan ingin tahu.

"Apa?" Tiv diam sejenak, lalu kembali melanjutkan, "Dengar, aku akan berterus terang saja padamu, Jun—sekaligus menjawab pertanyaanmu—karena aku tidak ingin kesalahpahamanmu lebih parah lagi. Ya, benar. Ada hal yang kuinginkan darimu, dan itu adalah berteman denganmu.

"Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada pula maksud tersembunyi. Aku ingin berteman denganmu, dan jangan tanya apa alasannya karena aku hanya mengikuti apa yang terus bergaung di dalam diriku." Tiv memungkasinya dengan satu tarikan napas.

Mereka terdiam. Perasaan tegang kini menyelimuti keduanya. Entah karena perbincangan mereka berubah menjadi serius atau canggung yang teramat sangat setelah semua yang terjadi tadi—memilih untuk bergelut dengan pikiran masing-masing.

Tanpa diduga, di saat itu pula pintu ruangan terbuka dan sosok Jang muncul dari baliknya. Dia heran mengapa kedua anak didiknya—di kemudian hari nanti—hanya diam seperti patung saling menatap satu sama lain.

"Apa yang kalian lakukan? Cepat, sekarang giliran kalian," interupsinya.

"Eh, waktu berdoa para rakyat sudah selesai? Cepat sekali." Tiv merasa terselamatkan dan langsung mengalihkan perhatiannya pada Jang.

"Ya, Uskup Eldgar menyuruhku untuk menyelesaikannya dengan cepat karena ada hal yang akan kami urus," jelas Jang. "Ayo, kita menuju altar utama."

Altar utama, ruangan paling besar di kuil yang—selain digunakan untuk tempat peribadatan—juga digunakan untuk acara penting lainnya yang mencakup banyak orang, seperti pernikahan, pemakaman, dan lain sebagainya.

Edelstahl: The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang