• 1 •

981 107 4
                                    


Seka tertawa, mendengar lelucon garing yang diucapkan Bian di hadapannya. Sambil sesekali dia memakan potongan kentang goreng dari meja di depannya.

"Hahaha, gak jelas banget, cuk!"

Di sebelah Bian, Tama menatap kekasihnya itu dengan tatapan tajam. Merasa kesal karena Bian mengeluarkan kata yang tidak baik.

Sedetik kemudian, Bian menutup bibirnya, "Eh sorry yank, nggak lagi, deh,"

"Nggak lagi, tapi lima menit lagi juga misuh lagi,"

"Namanya juga kebablasan, kan nggak sengaja,"

Tama menoyor kepala Bian, "Nggak sengaja ndasmu,"

(Ndas : kepala)

"Haduh yank, jahat banget sama pacar sendiri,"

"Biar nggak kebiasaan,"

Seka tertawa makin kencang, merasa terbiasa dengan pertengkaran kecil pasangan di depannya.

"Kalian itu loh, tiap hari berantem, kok bisa langgeng, ya?" celetuk Kai di sebelah Seka.

"Namanya juga bucin stadium akhir, Kai. Tiap hari gelut tapi ya tiap hari sayang-sayangan,"

Bian mendengus, "Ngaca, Kak! Kak Seka sama Kak Juna juga bucin, gak usah ngatain aku,"

Seka mendelik, "Lah tapi aku sama Kak Juna kan nggak pernah berantem,"

"Kak Seka soalnya kalem. Beda sama Bian, tiap hari mbacot, untung aku sabar,"

"Lambemu! Yang sabar itu aku ngadepin kamu tiap hari! " Bian membungkan bibir Tama dengan tangannya.

(Lambe : mulut)

"Kalian itu sama aja," Guman Kai, diangguki Seka.

Tama menarik tangan Bian dari mulutnya kemudian menggeggamnya erat. Membuat sang empu tangan terdiam dan malah mengeratkan genggamannya.

"Lagian ya, bucinnya Kak Juna ke Kak Seka udah ngelebihi stadium akhir, nggak bisa dijangkau manusia," ujar Bian.

Dari belakangnya, Arjuna menoyor kepala Bian.

"Maksudmu aku setan apa gimana?"

"Kaget jan- ehmm," ucapan Bian terpotong, akibat telapak tangan Tama menutupi bibirnya.

"Nggak usah misuh," gumam Tama dan dibalas tawa kecil Bian.

Arjuna mendengus. Dia berjalan menjauhi Tama dan Bian yang masih memegangi kepalanya, berpindah mendekati Seka dan duduk disampingnya.

Tepat setelah meletakkan pantatnya di kursi, Arjuna langsung menarik pipi Seka, "Aduh, Kak, kenapa mesti narik pipiku, seh?"

Arjuna ketawa, "Hehe, maap Dek, kalo liat pipimu nggak tahan buat narik, gembul,"

Seka mendengus kecil. Dia tidak kesal, kok. Senang malah.

"Pulang ayok? Udah sore," ajak Arjuna.

Seka menoleh ke samping, melihat jam yang ditempelkan di dinding kafe sudah menunjukkan pukul lima sore.

"Oh iya, nanti dicariin Bunda,"

Arjuna berdiri dari kursi yang baru saja dia duduki. Kemudian berdiri tegap sambil memainkan kunci sepeda motornya, menunggu Seka membereskan barang-barang -dan menghabiskan kentang goreng miliknya-.

"Kalian nggak pulang?" tanya Arjuna kepada tiga orang lain di depannya.

Kai mengangguk, "Ya pulang, masa' nginep disini? Tapi sek bentar, smoothie ku belum habis,"

Sedangkan Bian menyenggol Tama dengan sikutnya, "Aku sih ngikut Tama, nginep juga nggak papa,"

Tama memandang Bian sinis, "Nginep aja sendiri, aku tak pulang,"

"Tega kamu biarin aku nginep sendiri?!"

Tama mengangguk mantap.

"Jahat! Ya wes, tak pulang sendiri aja!"

(Ya wes : ya sudah)

Bian berdiri, sudah siap untuk pergi, namun tangannya di tahan oleh Tama.

"Nggak usah sok ngamuk, nanti kangen aku malah uring-uringan sendiri,"

"Nggak akan!" walaupun begitu, wajahnya terlihat memerah karena fakta yang dilontarkan Tama.

"Gak usah malu-malu, udah biasa malu-maluin," ujar Tama sambil menarik Bian agak kuat, membuat Bian menjadi duduk kembali di sampingnya.

"Kak Juna sama Kak Seka pulang aja dulu, aku masih download game," ujar Tama sambil menujukkan layar ponselnya.

Seka memutar bola matanya, "Kebiasaan,"

"Mumpung ada wi-fi gratis, kan? Hehehe,"

"Ya udah, terserah," Arjuna menoleh ke Seka yang sudah berdiri, "Ayo, Dek!" dan diangguki oleh Seka.

Arjuna dan Seka segera meninggalkan tiga orang yang masih sibuk mengobrol -dan bertengkar-. Mereka keluar dari kafe dan berjalan ke sepeda motor milik Arjuna.

"Ini, dipake," ujar Arjuna sambil memberikan helm yang langsung dipakai Seka setelah menerimanya.

Arjuna menaiki sepeda matic merahnya dan menyalakan mesin sambil mengutak-atik spion agar pas dalam pandangannya.

Arjuna menoleh ke Seka yang masih berdiri, menunggu sepeda motor Arjuna benar-benar siap untuk dikendarai.

"Nggak mampir kemana dulu? Beliin Bunda jajan atau apa?" tanya Arjuna.

Seka terdiam sejenak, "Nggak usah deh kayaknya,"

"Yakin?" tanya Arjuna memastikan.

Ponsel Seka tiba-tiba berbunyi. Bian membuka ponselnya dan mendapati pesan dari Bundanya.

|| martabak biasanya dek.
|| ayam.

Seka mendengus. Bagaimana Bundanya itu tau kalau dia sudah mau pulang?

"Bunda minta martabak,"

Arjuna tertawa, "Beres, yuk naik,"

Seka mengangguk dan segera menaiki bagian belakang sepeda Arjuna. Tanpa basa basi, Arjuna segera memutar stang dan melaju menembus jalan raya yang ramai lancar.

Di jalan, Arjuna dan Seka tidak banyak bicara.  Arjuna fokus menyeimbangkan sepedanya dan fokus memperhatikan jalanan. Sedangkan Seka fokus menatap Arjuna dari spion.

Seka tersenyum kecil. Mengingat kembali perkataan Bian soal kadar bucin Arjuna yang katanya sudah melebihi stadium akhir.

Seka tidak akan membantahnya, karena itu memang terbukti benar. Sayangnya, dia tidak bisa menyebutkan buktinya satu persatu karena itu sama saja dengan membuat essai dengan ratusan halaman.

Satu hal lagi, bahwa dirinya juga sama.

Seka kembali tersenyum.

Seka tiba-tiba teringat bagaimana dia bertemu sosok Arjuna. Sosok yang awalnya tak sengaja dia jumpai, sekarang menjadi sosok yang pertama kali dia ucapkan selamat pagi.

Memories [Yeonbin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang