01. Penasaran

23 3 0
                                    

"--berarti ini disebut kalimat tidak benar..."

Penjelasan materi dari guru matematika yang kini suaranya sudah samar-samar terdengar ditelingaku.

Bahkan lagi-lagi untuk kali ini, aku tidak memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guruku di depan papan tulis.

Aku menyandarkan sikuku di jendela, lalu menopang daguku disana. Melihat kakak kelas yang kini sedang bermain bola di lapangan bawah. Sepertinya mereka sedang pelajaran olahraga.

Bahkan melihat pertandingan sepak bola lebih menarik daripada mendengarkan penjelasan materi dari guru, menurutku. Untuk sekarang. Tidak tahu, besok.

Karena setiap hari moodku selalu berubah-ubah sesuai dengan suasana hati, mungkin?

Entah apa yang aku pikirkan akhir-akhir ini, aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian dan melakukan hal apapun yang ingin aku lakukan. Sesuai dengan mood.

Entah apa yang membuatku menjadi tidak semangat belajar pada hari ini. Entah karena Gery, gebetanku, yang selalu tidak menggubris perkataanku sama sekali, entah karena seorang lelaki bernama Anggi yang wajahnya menyerupai mantan pacarku, atau karena guru matematika yang tidak menarik saat menjelaskan? Atau memang moodku saja yang sedang tidak benar? Entahlah.

Rasanya ingin langsung pulang ke rumah, merebahkan diri di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu galau. Malah jadi tambah galau kalau kayak begitu ceritanya, ya? Hahaha tidak masalah, aku suka.

"Thalia! Ayo maju kedepan, kerjakan soal yang ada di papan tulis"

Seru guru matematika ku tiba-tiba, yang sontak membuatku berhenti melamun dan kembali dengan kenyataan bahwa aku tengah berada di kelas, saat ini. Bukan dirumah.

Mampus deh gue.

Mau tak mau, aku beranjak dari tempat duduk ku, mengambil spidol di depan papan tulis, lalu membaca soal yang diberikan oleh guru matematika ku itu.

Sungguh, sungguh aku tidak mengerti bagaimana cara aku harus menjawab soal yang sangat sulit ini.

Aku mengernyitkan dahiku, berusaha untuk tetap tenang dan tetap mencoba mengerjakan walaupun gagal. Yah, sok bijak.

Karena katanya, kegagalan adalah ibu dari kesuksesan. Yah, sok bijak lagi.

Aku menatap Rachel, sahabatku dari pantulan papan tulis. Berhubungan papan tulis di kelas kami berbahan kaca, aku bisa melihat wajah teman sekelas samar-samar walau aku membelakangi mereka.

Aku menatap Rachel dari papan tulis sambil berbisik pelan.

"Apa jawabannya?" Tanyaku.

Dan tentunya, Rachel tidak melihat wajahku. Ah, tidak peka.

Aku membuang napas kasar, lalu berusaha untuk mengerjakan soal matematika yang terpampang di depanku ini.

"Kamu dari tadi tidak memperhatikan, ya?" Tanya bu Maria, guru matematika ku.

Lagi-lagi, aku mengernyitkan dahiku. Aku tidak mau dimaki-maki apalagi dihukum untuk tetap berdiri di depan kelas sedangkan satu kelas yang berisikan 32 murid menatapku. Bisa-bisa aku menjadi bahan tawaan untuk mereka. Aku benci itu.

Aku memasang wajah pasrah tanpa berani menatap bu Maria dan teman sekelas. Kini yang aku tatap, hanya papan tulis yang berisikan angka.

"Kenapa tidak bisa? Padahal ini mudah banget," Lanjut bu Maria sambil menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan muridnya yang satu ini.

"Kalau begitu Eddi, tolong maju untuk membantu temanmu"

Ah.. Syukurlah..

Aku membalikkan tubuhku, ingin beranjak kembali menuju tempat duduk ku, tetapi Eddi menahan bahuku.

End to StartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang