Bab IX

610 32 0
                                    

Kali ini gue balik lagi, dedikasi buat Ara. Anggap aja tadi kilasan singkat tentang Kay.

Ara-

Sore sudah berganti dengan malam. Namun, rasanya aku enggan untuk meninggalkan tempat ini. Sebuah gazebo kecil di belakang rumahku, yang langsung berhadapan dengan tanaman yang Bunda tanam, serta kolam renang.

"ARA MASUK! UDAH MAGHRIB, SHOLAT DULU!"

Teriakkan Bunda membuatku tersadar. Segera saja, aku bangkit dan berjalan masuk. Dan menaiki tangga menuju ke lantai 2 tempat kamarku berada. Memasuki kamar, dan menjalankan kewajibanku.

*
30 menit kemudian

"Ra?"

Pintu terbuka,dan memunculkan ka Ori.

"Kenapa?" Tanyaku, dan berjalan ke arahnya.

"Gue mau ke rumah Kay, lo ikut?"

"Ga ah! Gue lagi males," sahutku. Dan keluar dari kamar bersama ka Ori di belakangku.

Aku tidak tahu kemana orang rumah, sepertinya Bunda dan Ayah sudah pergi untuk makan malam bersama di luar, mungkin, Renan dan ka Ori ke rumah Kay . Sementara aku memilih untuk menonton film di home theater. Bukannya, aku tidak mau ke rumah Kay, tapi jujur saja rasanya tidak ada gairah untuk bermain ke sana.

Menonton film kungfu panda 1 dan 2, membuatku sedikit bosan menghabiskan waktu sekitar 3 jam. Tidak terasa juga, sudah menghabiskan beberapa bungkus snack, dan 3 kaleng softdrink. Aku pun beranjak dari sofa dan memilih membuka pintu belakang. Berjalan kembali ke arah gazebo, di mana tadi aku menghabiskan soreku.

Langit rasanya sangat gelap. Tidak ada bintang. Mungkin, juga karena sebentar lagi akan turun hujan. Melirik sebentar ke jam tangaku, 10:00 PM.

"Sayang?" Aku menoleh, ke arah Bunda yang berjalan menujuku. Di belakangnya ada Ayah. Mereka sangat serasi, walau guratan di wajahnya sudah sedikit tercetak.

"Kamu ngapain udah malam di sini?" Tanya Bunda, sembari merangkulku.

"Lagi mau duduk aja Bun, tapi Bintangnya ga ada. Hehehe," terkekeh kecil.

Tangan besar Ayah mengacak rambutku, dan meninggalkanku berdua dengan Bunda.

"Ra? Bunda mau tanya boleh?"

"Ya Bun?"

"Kamu yakin?"

Pertanyaan soal keyakinan itu pun membuatku sedikit tersentak. Ah, rasanya aku pun ga yakin, tapi memang ini yang terbaik.

"Yakin bun."

"Sebenarnya, Bunda ga rela kamu di sana. Kenapa kamu ga di sini aja? Satu kampus sama Kay. Setidaknya ada yang jagain kamu. Kalau kamu di sana, kamu susah ini itu, gimana mau minta tolong? Kamu itu permatanya Bunda sama Ayah, bunda ga mau kamu jauh. Rasanya---"

Aku menoleh ke arah Bunda, terlihat dia yang tertunduk. Ah rasanya, aku sangat mengecewakan.

"Bunda," panggilku, mencoba untuk memeluk Bunda. "Jangan takut. Ara pasti baik-baik aja, lagian Bunda sama Ayah kan bisa ke sana kalau kalian mau. Dan juga, sebenernya kampus itu yang udah Ara tuju selama ini bun. Aku harap Bunda ama Ayah ngerti."

"Kami selalu mengerti Ara, tapi harus seperti ini?" Suara Ayah membuatku menoleh. Dengan keyakinan penuh, aku mengangguk.

"Maaf selalu ngerepotin kalian, maaf ara buat Bunda nangis. Maaf, selama ini Ara manja sama kalian. Ara janji, saat nanti Ara kembali, Ara akan lebih baik. Maaf sama keputusan Ara yang---"

(Not) FriendzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang